Jangan kaget kalau tiba-tiba kamu mendengar Justin Bieber ngerap tentang Tumblr love stories sambil mengenakan snapback #BEENTRILL di tahun 2025. Dunia memang penuh kejutan, kan? Album terbarunya, SWAG, baru saja dirilis dan langsung jadi buah bibir. Bukan karena kontroversi, tapi karena sound-nya yang… yah, beda dari ekspektasi.
Album ini digadang-gadang sebagai evolusi Bieber. Selama beberapa bulan terakhir, dia terlihat nongkrong di studio bareng Lil B, bermain-main dengan beat Clams Casino, dan bahkan membuat snippet improvisasi yang mengingatkan kita pada Soulja Boy era MySpace. Apakah ini upaya Bieber untuk merangkul kembali akar rumputnya? Atau hanya sekadar eksperimen iseng?
Meski berjudul SWAG, jangan harap menemukan dentuman bass ala era ringtone. Bieber justru menggandeng produser seperti Eddie Benjamin dan Carter Lang untuk menciptakan nuansa 80-an yang reverb-nya kebangetan. Ada sentuhan eksperimental dari Mk.gee dan Dijon juga, menjanjikan perpaduan antara keintiman akustik dan hook sebesar stadion (atau mungkin, gereja mega).
Suara Baru Bieber: Sophisti-pop SWAG?
Produksi di SWAG cenderung luas dan megah, tapi bukan dalam artian glossy ala The Weeknd. Album ini lebih mengutamakan timbre yang dusty, drum yang meledak, dan instrumentasi live yang beresonansi tak terhingga. Sentuhan Mk.gee terasa kental di sepanjang album, bahkan di lagu-lagu di mana namanya tidak secara eksplisit tercantum sebagai produser. Ini memberikan tekstur yang unik dan nggak terduga.
“First Place”, misalnya, memadukan pemrograman drum yang dikompresi dengan synth lead yang cocok diputar di food court mal terlantar. Sementara itu, “Daisies” sepenuhnya menyelami jiwa blue-eyed soul yang kental dengan gitar. “Go Baby” bahkan sekilas mirip dengan karya-karya Bon Iver, berkat penggunaan keys yang watery dan vocal stacks yang dreamy. Kolaborasi Dijon di sini juga semakin memperkuat aura tersebut. Sepertinya Bieber benar-benar ingin menjelajahi wilayah musik yang baru.
Kolaborasi Cinematic, Siapa Sangka?
Bahkan kolaborasi marquee Bieber dengan para rapper pun tunduk pada palet suara yang moody dan lapang. Hasilnya? Aneh, tapi menarik. Dalam “Way It Is,” Gunna bercerita tentang belanja barang branded di atas pad ala Vangelis. Ada daya tarik tersendiri ketika mendengar verse Sexyy Red yang freaked-out bergema di tengah synth work yang sinematik.
Kolaborasi di akhir album dengan Cash Cobain bahkan nyaris chillwave, dengan snare roll yang gemerincing dan arpeggio yang luntur. Pertanyaan yang lebih penting, apakah Eddie Benjamin mencoba menirukan suara bayi ala Playboi Carti di lagu yang sama? Jawabannya mungkin akan membuatmu tertawa, atau mungkin bingung. Intinya, album ini penuh kejutan yang layak diulik.
Bukan Sekadar Swag: Apa yang Bisa Dipelajari?
Album SWAG membuktikan bahwa Justin Bieber tidak takut mengambil risiko. Ia meninggalkan zona nyamannya dan bereksperimen dengan suara-suara yang tidak terduga. Album ini adalah pengingat bahwa evolusi adalah kunci untuk tetap relevan di industri musik yang terus berubah. Kita semua, termasuk para content creator dan marketer, bisa belajar dari keberanian Bieber untuk keluar dari pakem dan mencoba hal-hal baru.
Meskipun hasilnya mungkin tidak memuaskan semua orang, SWAG menunjukkan bahwa authenticity dan artistic exploration lebih penting daripada sekadar mengikuti tren. Ini adalah pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin membangun brand yang kuat dan tahan lama. Ingat, menjadi diri sendiri (dengan sedikit sentuhan eksperimen) adalah kunci utama.