Bayangkan begini: kamu lagi asyik scroll TikTok, tiba-tiba muncul trailer film indie yang visualnya bikin merinding sekaligus penasaran. Nah, itu mirip-mirip perasaan saya pas pertama kali dengerin musik Mark William Lewis. Lebih tepatnya, pas tahu kalau dia adalah musisi pertama yang bukan bikin soundtrack film, tapi justru dikontrak sama A24 Music. Agak absurd, tapi justru di situlah letak keajaibannya.
Dari London ke A24: Sebuah Odyssey Musikal yang Aneh Tapi Nyata
Mark William Lewis, sosok yang mungkin belum terlalu familiar di telinga banyak orang, adalah anomali yang menyenangkan di industri musik. Lahir dan besar di scene DIY (Do It Yourself) London yang keras, Lewis menawarkan kombinasi unik antara lirik puitis, suara serak yang khas, dan melodi yang melankolis. Bayangkan kalau King Krule punya sepupu yang lebih suka main harmonika daripada nge-rap, kira-kira begitu lah musiknya.
Tapi, tunggu dulu. Kenapa A24, studio film yang terkenal dengan film-film arthouse horornya (Hereditary, Midsommar, dan lain-lain), tiba-tiba tertarik buat bikin label musik? Apakah ini strategi diversifikasi bisnis yang cerdas? Atau jangan-jangan, mereka cuma pengen punya band yang bisa mengisi playlist kantor dengan lagu-lagu galau yang estetik?
Mungkin sedikit dari keduanya. A24 Music memang sudah eksis sebelumnya, tapi fokusnya lebih ke soundtrack film-film mereka. Nah, dengan merekrut Mark William Lewis, mereka seolah pengen bilang, “Oke, kita nggak cuma jago bikin film yang bikin susah tidur, tapi juga jago cari musisi yang bikin susah move on.” Sebuah pernyataan yang absurd sekaligus ambisius.
Harmonika, Puisi, dan Deptford: Resep Rahasia Mark William Lewis
Salah satu daya tarik utama dari musik Lewis adalah penggunaan harmonika yang nggak biasa. Di tengah dominasi gitar elektrik dan synthesizer, suara harmonika Lewis terdengar seperti angin segar yang bertiup di tengah kota yang penuh polusi. Katanya, inspirasinya datang dari Bob Dylan, idola sang ayah. Tapi, Lewis nggak cuma meniru, dia berhasil menemukan cara unik untuk memadukan harmonika dengan musiknya yang gelap dan melankolis.
Selain harmonika, latar belakang Lewis sebagai anak seorang penulis juga punya pengaruh besar terhadap lirik-liriknya. Ayahnya adalah penulis buku tentang linguistik dan metafora, dan Lewis mengaku bahwa buku-buku ayahnya sangat memengaruhi cara dia berpikir dan menulis lirik. Nggak heran kalau lirik-liriknya terasa puitis, kompleks, dan penuh dengan lapisan makna.
Ambil contoh lagu “Tomorrow Is Perfect”, salah satu single dari albumnya. Lewis bilang bahwa lagu ini adalah “potret magis-realis” dari kehidupannya di Deptford, sebuah kawasan di London Selatan. Bayangkan, kamu lagi jalan-jalan di Deptford, terus tiba-tiba semua orang mulai ngomong pakai bahasa puitis dan semua bangunan berubah jadi lukisan surealis. Kira-kira begitu lah suasana yang ingin diciptakan Lewis dalam lagunya.
Kenapa A24? Lebih dari Sekadar Label Musik
Lantas, kenapa Lewis memilih bergabung dengan A24 Music? Katanya, sih, karena dia merasa ada kecocokan visi dengan orang-orang di sana. Mereka paham musiknya, mereka percaya padanya, dan mereka nggak ragu untuk langsung tancap gas. Di industri musik yang penuh dengan janji palsu dan keputusan konservatif, A24 menawarkan sesuatu yang berbeda: keberanian untuk mengambil risiko dan mendukung visi artistik seorang musisi.
Tapi, ada faktor lain yang mungkin nggak kalah penting: branding A24. Sebagai studio film yang punya reputasi kuat di kalangan anak muda, A24 punya daya tarik tersendiri. Bergabung dengan A24 bukan cuma soal dapat kontrak rekaman, tapi juga soal jadi bagian dari sebuah komunitas, sebuah brand yang diasosiasikan dengan kualitas, inovasi, dan keberanian.
Menjadi yang Pertama: Beban atau Berkah?
Sebagai musisi pertama yang bukan bikin soundtrack yang dikontrak A24 Music, Lewis punya tanggung jawab besar di pundaknya. Dia adalah garda depan dari label musik baru ini, dan dia punya peran penting dalam menentukan arah dan identitasnya. Apakah ini beban yang terlalu berat? Mungkin saja. Tapi, Lewis memilih untuk melihatnya sebagai sebuah kesempatan.
“Pada akhirnya, ini cuma musik,” katanya. “Nggak ada yang bakal mati kalau ada orang yang nggak suka albumnya.” Sebuah pernyataan yang terdengar sederhana, tapi juga mengandung kebijaksanaan yang mendalam. Di tengah hiruk pikuk industri musik yang penuh dengan tekanan dan ekspektasi, Lewis memilih untuk tetap fokus pada apa yang penting: membuat musik yang jujur dan otentik.
Album Self-Titled: Sebuah Pernyataan Identitas
Album terbaru Lewis diberi judul Mark William Lewis, sebuah pilihan yang mungkin terdengar klise, tapi sebenarnya punya makna yang mendalam. Bagi Lewis, album ini adalah sebuah pernyataan identitas, sebuah cara untuk memperkenalkan dirinya kepada dunia. Ini bukan cuma sekadar kumpulan lagu, tapi juga sebuah refleksi dari perjalanan artistiknya selama ini.
“Saya merasa seperti ini adalah ruangan di mana saya akhirnya menemukan suara saya,” katanya, merujuk pada sebuah pameran retrospektif Philip Guston yang pernah dia kunjungi. Bayangkan, kamu lagi jalan-jalan di museum, terus tiba-tiba kamu masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan lukisan-lukisan yang kamu kenal. Kamu merasa seperti akhirnya menemukan apa yang selama ini kamu cari. Kira-kira begitu lah perasaan Lewis saat membuat album ini.
Musik sebagai Mainan: Menemukan Kebebasan dalam Berkarya
Salah satu hal yang menarik dari Lewis adalah pendekatannya terhadap musik. Dia nggak menganggap musik sebagai sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan dengan serius dan kaku, tapi lebih sebagai sebuah mainan yang bisa dimainkan dengan bebas dan tanpa batasan. Baginya, semua instrumen, bahkan piano grand sekalipun, adalah mainan yang bisa digunakan untuk menciptakan musik yang menyenangkan dan orisinal.
Pendekatan ini tercermin dalam cara dia menggunakan harmonika. Dia nggak terpaku pada konvensi atau tradisi, tapi lebih memilih untuk bereksperimen dan mencari cara-cara baru untuk mengeksplorasi potensi instrumen tersebut. Hasilnya adalah suara harmonika yang unik dan nggak bisa dibandingkan dengan siapa pun. Lebih absurd dari harimau yang main Mobile Legend.
Di dunia yang serba serius dan kompetitif ini, pendekatan Lewis terhadap musik adalah pengingat yang menyegarkan bahwa berkarya seharusnya menyenangkan. Bahwa kita nggak perlu terlalu terpaku pada aturan atau ekspektasi, tapi lebih fokus pada menemukan kebebasan dan kegembiraan dalam prosesnya.
Jadi, kalau kamu lagi cari musik yang beda dari yang lain, musik yang bisa bikin kamu mikir sambil ketawa, musik yang absurd tapi juga jujur, coba dengerin Mark William Lewis. Siapa tahu, kamu bakal nemuin sesuatu yang baru dan nggak terduga.