Dark Mode Light Mode

Aceh Protes Transfer Pulau Sengketa ke Sumut: Ancaman Konflik Baru

Jangan kaget kalau tiba-tiba peta Indonesia sedikit berubah. Empat pulau cantik di lepas pantai barat Sumatera lagi jadi rebutan nih. Bukan rebutan jodoh, tapi rebutan wilayah administratif. Drama perebutan pulau ini lebih seru dari reality show!

Empat Pulau, Dua Provinsi: Awal Mula Drama Pulau

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) baru-baru ini membuat keputusan yang cukup menghebohkan. Mereka mereklasifikasi empat pulau, yaitu Mangkir Besar (atau Mangkir Gadang), Mangkir Kecil (Mangkir Ketek – lucu juga namanya ya), Lipan, dan Panjang, dari yang tadinya masuk wilayah Aceh, kini resmi menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Dalam Negeri No. 300.2.2-2138/2025, tertanggal 25 April 2025. Dulunya, pulau-pulau ini di bawah administrasi Kabupaten Aceh Singkil. Sekarang, selamat datang di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara!

Menurut Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, keputusan ini diambil berdasarkan kajian geografis lintas instansi yang mendalam. Tim penilai melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, dan pihak-pihak berwenang lainnya. Prosesnya panjang, rumit, dan pasti banyak rapat yang bikin ngantuk.

“Kami memahami ada pihak yang mungkin tidak setuju. Opsi hukum seperti gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tersedia, dan kami terbuka untuk itu,” ujar Tito kepada wartawan, 10 Juni 2025 lalu. Artinya, siap-siap aja drama ini bakal berlanjut di pengadilan.

Keputusan ini langsung menuai kontroversi dan penolakan keras dari pemerintah dan masyarakat Aceh. Mereka berpendapat bahwa pulau-pulau tersebut memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan Aceh. Ini bukan sekadar soal peta, tapi soal identitas dan sejarah.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (atau yang akrab disapa Mualem), menyatakan kekecewaannya yang mendalam. Ia menegaskan klaim Aceh yang sah atas keempat pulau tersebut. "Kami punya alasan kuat, bukti sejarah yang jelas, dan data resmi yang membuktikan bahwa pulau-pulau ini selalu menjadi bagian dari Aceh," tegasnya saat acara International Conference on Infrastructure (ICI) di JICC, Jakarta.

Warga lokal dan pemilik tanah adat juga ikut protes. Mereka menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut, meski secara geografis lebih dekat ke Sumatera Utara, sudah dihuni, dikelola, dan dilestarikan oleh komunitas Aceh selama beberapa generasi. Ini adalah rumah mereka, bukan sekadar angka di peta.

Di Balik Peta: Aroma Minyak dan Gas Bumi?

Namun, di balik polemik administratif ini, ada bisikan-bisikan yang lebih menarik. Kelompok masyarakat sipil di Aceh mencurigai bahwa reklasifikasi ini mungkin terkait dengan Singkil Offshore Working Area (OSWA), sebuah blok minyak dan gas bumi yang terletak dekat dengan pulau-pulau yang dipersengketakan. Blok ini, yang dioperasikan oleh Conrad Energy, diyakini mengandung cadangan hidrokarbon yang signifikan.

“Ada kecurigaan yang berkembang bahwa ini bukan hanya soal administrasi, tapi tentang pengendalian sumber daya alam,” ungkap Nasir, seorang jurnalis dari harian Serambi Aceh, kepada Indonesia Business Post. Hmmm… semakin menarik saja.

Perusahaan energi asal Inggris, Conrad Energy Asia Ltd., saat ini sedang dalam tahap eksplorasi di wilayah lepas pantai dekat pulau-pulau tersebut. Klasifikasi wilayah administratif pulau-pulau ini sangat penting karena menentukan distribusi Dana Bagi Hasil (DBH) Migas.

Jika wilayah tersebut secara resmi menjadi bagian dari Sumatera Utara, pemerintah pusat akan menerima 85 persen dari pendapatan di bawah skema cost recovery, sementara hanya 15 persen yang dialokasikan ke pemerintah provinsi. Bandingkan dengan Aceh yang bisa dapat 70% sesuai MoU Helsinki.

Sebaliknya, jika wilayah tersebut tetap berada di bawah yurisdiksi Aceh, pembagian hasil mengikuti formula yang berbeda yang ditetapkan dalam MoU Helsinki: 70 persen dari pendapatan minyak dan gas bumi masuk ke pemerintah provinsi Aceh, dan hanya 30 persen yang ditahan oleh pemerintah pusat. Jelas, angka ini signifikan.

Drama Sejak Zaman Belanda: Akar Perselisihan Pulau

Menurut Kemendagri, sengketa wilayah ini sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1928. Wah, sudah lama juga ya. Kedua provinsi ini memang punya klaim historis atas pulau-pulau tersebut. Proses verifikasi oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (TP2NR) pada tahun 2008–2009 menjadi dasar teknis untuk keputusan saat ini.

Saat itu, Aceh melaporkan 260 pulau, tidak termasuk empat pulau yang dipersengketakan. Belakangan, Aceh mengajukan daftar revisi, mengubah nama pulau dan menyesuaikan koordinatnya. Secara paralel, Sumatera Utara memverifikasi 213 pulau, termasuk empat yang dipermasalahkan, yang kemudian diakui dalam pengajuan resmi ke PBB pada tahun 2012.

Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, mengatakan bahwa langkah-langkah ini menjadi dasar hukum untuk keputusan menteri. "Tapi kan, semua orang bisa berubah pikiran, ya kan?"

Masa Depan Pulau: Antara Peta dan Identitas

Sementara pemerintah bersikeras bahwa keputusan ini final, mereka mengindikasikan keterbukaan untuk dialog lebih lanjut atau ajudikasi hukum. Artinya, masih ada harapan untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Untuk saat ini, masa depan keempat pulau tersebut masih menjadi kontroversi, mencerminkan ketegangan yang lebih dalam antara identitas lokal, tata kelola sumber daya alam, dan manajemen teritorial nasional. Ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana kompleksnya urusan administrasi dan identitas di negara kepulauan kita. Jangan sampai rebutan pulau ini malah bikin kita lupa kalau kita semua satu Indonesia.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

H1-KEY Buka Kenangan Indah Musim Panas dalam Teaser 'Lovestruck'

Next Post

Odyssey: Plugin Animasi 2D Gratis untuk Unreal Engine, Buka Potensi Kreatifmu