Pernah nggak sih merasa terjebak dalam lingkaran setan lupa password? Atau mungkin lebih parah, lupa identitas diri sendiri saking banyaknya tuntutan zaman? Nah, kayaknya kita perlu belajar dari kisah seorang penulis Kyrgyz yang karyanya justru jadi pengingat buat seluruh umat manusia. Siapa dia? Chinghiz Aitmatov, sang maestro literasi yang namanya menggema hingga kantor pusat UNESCO di Paris.
Sebuah konferensi internasional bertajuk “Chinghiz Aitmatov dan UNESCO: Warisan Bersama yang Menyatukan Dunia” baru saja digelar di Paris. Acara ini bukan sekadar seremoni nostalgia, tapi lebih dari itu. Ini adalah pengakuan atas kontribusi Aitmatov dalam menjembatani perbedaan budaya dan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Diprakarsai oleh Delegasi Tetap Kyrgyzstan untuk UNESCO, bekerja sama dengan TÜRKSOY dan Institut Chinghiz Aitmatov, acara ini dihadiri oleh para diplomat senior, cendekiawan, dan tokoh budaya dari berbagai penjuru dunia. Semua sepakat bahwa karya-karya Aitmatov adalah warisan berharga yang melampaui batas negara.
Sekretaris Jenderal TÜRKSOY, Sultan Raev, bahkan menyebut Aitmatov sebagai “humanis hebat yang membangun jembatan antar bangsa.” Konsep “mankurt” yang digagas Aitmatov menjadi pengingat agar masyarakat tidak kehilangan memori dan identitasnya. UNESCO pun mengakui bahwa karya Aitmatov adalah jembatan unik untuk saling memahami antar budaya.
Mankurt: Ketika Ingatan Jadi Barang Mewah
Istilah “mankurt” mungkin terdengar asing di telinga kita. Tapi, konsep ini sebenarnya sangat relevan dengan kondisi masyarakat modern. Mankurt adalah sosok yang kehilangan ingatan dan identitasnya, sehingga mudah dimanipulasi dan dikendalikan oleh orang lain. Bayangkan, kita jadi kayak karakter NPC (Non-Player Character) di game, cuma jadi figuran yang mengikuti alur cerita orang lain.
Di era digital ini, kita seringkali dibombardir dengan informasi yang berlebihan. Notifikasi media sosial, berita viral, dan iklan yang terus-menerus muncul di layar smartphone kita. Tanpa sadar, kita jadi kehilangan fokus dan lupa akan nilai-nilai penting dalam hidup. Kita jadi mankurt modern yang kehilangan jati diri.
Lalu, bagaimana caranya agar kita tidak menjadi mankurt? Kuncinya adalah dengan menjaga memori dan identitas kita. Kita harus terus belajar, berdiskusi, dan merenungkan pengalaman hidup kita. Jangan biarkan diri kita hanyut dalam arus informasi yang menyesatkan. Ingat, ingatan adalah harta karun yang tak ternilai harganya.
Literasi: Senjata Ampuh Melawan Lupa
Dalam pidatonya, Duta Besar Türkiye untuk UNESCO, Gülnur Aybet, menekankan bahwa novel-novel Aitmatov adalah “utusan kuat” dari kekayaan budaya Turkic. Karya-karya tersebut menyampaikan pesan universal tentang hak asasi manusia dan tanggung jawab moral. Aitmatov membuktikan bahwa literasi adalah senjata ampuh untuk melawan lupa dan ketidakadilan.
Literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi adalah kemampuan untuk berpikir kritis, memahami informasi, dan mengambil keputusan yang tepat. Dengan literasi, kita bisa membedakan antara fakta dan hoaks, antara kebenaran dan kebohongan. Kita bisa menjadi warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab.
Namun, sayangnya, tingkat literasi di Indonesia masih tergolong rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara. Ini adalah ironi yang menyedihkan. Padahal, literasi adalah kunci untuk kemajuan bangsa. Kita harus berbenah diri dan meningkatkan minat baca kita. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang bodoh dan mudah dibodohi.
Warisan Aitmatov: Pesan Abadi untuk Generasi Z
Putra Aitmatov, Eldar Aitmatov, menekankan relevansi pesan ayahnya tentang tanggung jawab manusia terhadap alam, sejarah, dan sesama. Pesan ini sangat penting di era krisis global seperti sekarang ini. Kita harus sadar bahwa tindakan kita memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan dan masyarakat.
Generasi Z adalah generasi yang paling terpapar dengan teknologi dan informasi. Namun, generasi ini juga rentan terhadap masalah mental dan krisis identitas. Oleh karena itu, pesan Aitmatov sangat relevan untuk generasi Z. Kita harus belajar dari masa lalu, menghargai alam, dan peduli terhadap sesama.
Aitmatov mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang utuh, yang memiliki ingatan, identitas, dan tanggung jawab. Kita harus menjadi agen perubahan yang positif, yang berkontribusi untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Jangan biarkan diri kita menjadi mankurt modern yang kehilangan arah dan tujuan hidup.
UNESCO: Panggung Dunia untuk Warisan Budaya
Konferensi di UNESCO ini adalah bukti bahwa warisan budaya memiliki nilai yang universal. UNESCO adalah panggung dunia untuk mempromosikan perdamaian dan persatuan melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya. Aitmatov adalah salah satu tokoh yang diakui oleh UNESCO sebagai penjaga warisan budaya dunia.
Indonesia juga memiliki banyak warisan budaya yang berharga. Dari Sabang sampai Merauke, kita memiliki beragam bahasa, adat istiadat, dan seni budaya. Kita harus bangga dengan warisan budaya kita dan menjaganya agar tetap lestari. Jangan biarkan warisan budaya kita hilang ditelan zaman.
Kita sebagai generasi muda harus berperan aktif dalam melestarikan warisan budaya kita. Kita bisa belajar bahasa daerah, mengikuti kegiatan seni budaya, dan mempromosikan warisan budaya kita melalui media sosial. Dengan begitu, kita bisa menjadi duta budaya yang memperkenalkan Indonesia ke dunia.
Jadi, mari kita jadikan konferensi ini sebagai momentum untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh Aitmatov. Mari kita jaga ingatan, identitas, dan tanggung jawab kita. Mari kita lestarikan warisan budaya kita. Dengan begitu, kita bisa menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Atau, setidaknya, kita nggak gampang lupa password akun Netflix.