Dunia video game itu memang penuh drama, ya? Ibarat sinetron, ada saja plot twist yang bikin kita geleng-geleng kepala. Tapi, di balik segala drama layoff dan game gagal, selalu ada secercah harapan. Seperti kata pepatah, “Habis gelap terbitlah terang,” atau dalam kasus ini, “Habis AAA, terbitlah indie.”
Industri game AAA memang lagi kurang oke. Bayangkan saja, game dengan budget selangit malah berakhir jadi meme. Sebut saja Suicide Squad: Kill the Justice League atau Concord, yang kayaknya lebih cocok jadi pelajaran marketing daripada game seru. Ditambah lagi, banyak PHK di mana-mana. Bikin merinding, kan? Tapi tenang, gamers! Kita masih punya harapan.
Game indie dan AA justru lagi naik daun. Sebut saja Silksong (kapan rilisnya, ya?) dan Hades II yang bikin hype. Lalu ada Clair Obscur, game AA yang sukses besar dan dipuji banyak orang. Jadi, sementara AAA lagi batuk-batuk, indie dan AA malah joged-joged di atas panggung. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kita semua.
Kejayaan dan Kemerosotan: Sejarah Kelam AAA Games
Kalau kita kilas balik, fenomena ini sebenarnya bukan barang baru. Industri game pernah mengalami masa kelam di tahun 1983. Banyak yang bilang penyebabnya adalah E.T.: The Extra-Terrestrial, game yang konon saking jeleknya sampai dikubur di gurun pasir. Padahal, masalahnya lebih kompleks dari itu.
Atari, si raja console kala itu, terlalu percaya diri dengan E.T.. Mereka produksi kaset game lebih banyak dari jumlah console yang ada di pasaran. Mereka pikir semua orang bakal beli console cuma buat main E.T., padahal… zonk!
Fenomena ini menjalar ke perusahaan game lain. Activision, yang didirikan oleh David Crane, melihat banyak perusahaan ikut-ikutan setelah kesuksesan mereka. Alhasil, pasar kebanjiran game jelek dan murahan. Konsumen jadi malas beli game, dan banyak perusahaan bangkrut. Mirip banget sama kondisi sekarang, ya?
Meskipun sekarang game kebanyakan digital, masalahnya masih sama. Online storefront penuh dengan asset flips berkualitas rendah yang menutupi game indie berkualitas. Belum lagi budget produksi game yang makin gila-gilaan.
Anggaran Selangit: Antara Ambisi dan Bencana Concord
Contohnya, Concord, hero shooter besutan Sony yang gagal total di tahun 2024. Anggaran pengembangannya mencapai 200 juta dolar AS! Mereka berharap pemain bakal jatuh cinta sama IP baru dan karakternya. Padahal, pasar sudah penuh sesak dengan hero shooter seperti Overwatch. Alhasil, Concord gagal total, studionya ditutup, dan game-nya dilupakan. Sad.
Sony bukan satu-satunya yang pasang ekspektasi ketinggian. Banyak yang berharap GTA VI bakal bikin orang rela beli PlayStation 5 atau Xbox Series X cuma buat main game itu. Akibatnya, harga game makin mahal, dan pengembang berusaha cari untung dari DLC dan microtransaction. Ujung-ujungnya, yang sengsara ya kita, para gamers.
Banyak gamer yang merasa terbebani dengan harga game yang makin mahal. Ada yang keberatan, ada juga yang memang tidak mampu beli banyak game seharga 70 dolar AS per tahun. Apalagi kalau kesan pertama yang didapat adalah harga, bukan kualitas game-nya.
Analisis pasar berharap GTA VI bakal memecahkan batasan harga dan membuat game lain bisa dijual lebih mahal. Tapi, 80 dolar AS tampaknya jadi titik batas bagi banyak orang. Switch 2 dan Mario Kart World memang sukses, tapi The Outer Worlds 2 malah turun harga dari 80 dolar AS menjadi 70 dolar AS karena protes dari penggemar. Itu pun masih mahal bagi sebagian orang.
Bukan Sekadar Kualitas: Faktor Lain di Balik Kegagalan AAA
Jangan salah sangka, game AAA tidak selalu gagal karena kualitasnya jelek. Bahkan, studio di balik game sukses seperti Oblivion Remastered pun bisa kena PHK. Kalau game populer saja tidak bisa menghasilkan cukup uang untuk mempertahankan staf, bagaimana nasib game niche yang target pasarnya lebih kecil?
Salah satu penjelasannya adalah biaya produksi game yang sangat mahal. Bahkan game sukses pun mungkin tidak bisa mencapai target penjualan dan membenarkan budget yang dikeluarkan. Akibatnya, PHK tidak terhindarkan.
Selain game, hardware untuk main game juga makin mahal. Game zaman sekarang butuh ruang penyimpanan besar dan PC dengan spesifikasi tinggi. Console juga makin mahal. Nintendo sempat kaget berat saat harga Nintendo Switch 2 pertama kali diumumkan. Bahkan, harga console generasi sebelumnya pun ikut naik.
Switch Lite, versi handheld yang lebih murah dan cocok untuk anak-anak, sekarang juga lebih mahal. Sementara itu, harga Switch OLED hanya 50 dolar AS lebih murah dari Switch 2. Mungkin ini karena tarif impor di Amerika Serikat, tapi tetap saja, gaming jadi hobi yang makin mahal.
Banyak orang mulai main game sejak kecil. Bagaimana kalau keluarga tidak mampu membeli console seharga 450 dolar AS untuk anak mereka? Akibatnya, saat dewasa nanti, mereka tidak tertarik membeli console atau PC seharga 500 dolar AS. Ini buruk untuk industri game dalam jangka panjang. Kalau tidak ada cara yang hemat biaya untuk mengajak orang masuk ke dunia game, AAA tidak mencapai tujuan akhir mereka.
Bangkitnya Indie dan AA Games: Saatnya Bersinar!
Kabar baiknya, kekosongan yang ditinggalkan oleh game AAA diisi oleh game indie dan AA yang lebih kecil. Game seperti *Clair Obscure Expedition 33 membuktikan bahwa game dengan budget kecil pun bisa menemukan audiens yang besar.* Sementara itu, game indie* seringkali lebih murah dan menawarkan pengalaman yang sama serunya.
Karena budget mereka lebih kecil, tim pengembang indie dan AA bisa membuat pengalaman yang lebih fokus, unik secara visual, dan menarik bagi audiens yang lebih kecil. Donkey Kong Bananza memang lagi populer, tapi ada juga game seperti Kitsune Tails yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan komunitas dan gaya bermain tertentu.
Date Everything! adalah contoh lain game yang mungkin tidak punya daya tarik pasar yang luas, tapi berhasil membangun basis penggemar yang setia. Penggemar yang menunggu perilisan Persona 6 punya banyak pilihan dengan memainkan seluruh backlog game yang dikembangkan oleh studio Jepang, Furyu.
Budget besar memaksa game untuk menarik perhatian audiens yang luas, yang bisa menghalangi pengembang untuk mengambil risiko atau menjelajahi ide-ide baru. Memang ada aspek trend chasing, seperti Metroidvanias yang meledak setelah perilisan Hollow Knight dan popularitas roguelike yang abadi, tetapi mereka semua berupaya untuk permainan dan estetika yang berbeda. Rasanya tidak seperti mereka semua bermain mengikuti pemimpin.
Ada begitu banyak game indie yang luar biasa di luar sana, dan penerbit besar dapat saja tidak merilis game baru selama setahun, dan para gamer tidak akan kekurangan hal untuk dimainkan. Saat ini, mungkin lebih baik jika industri AAA menghilang untuk sementara waktu. Tidak ada yang benar-benar mati dalam hal hiburan, tetapi sementara itu, lebih banyak perhatian dapat diberikan pada sejumlah besar game indie dan AA yang ada yang telah diabaikan hingga saat ini. Kemudian, mudah-mudahan, pemain utama di kancah AAA akan dapat mempertahankan diri mereka sendiri.
Intinya, industri game itu dinamis. AAA mungkin lagi lesu, tapi indie dan AA justru lagi panen raya. Jadi, jangan khawatir, gamers! Masih banyak game seru yang bisa dimainkan. Mungkin inilah saatnya kita lebih menghargai game dengan budget terbatas, tapi kaya akan ide dan kreativitas. Siapa tahu, justru dari game indie kita bisa menemukan masterpiece baru yang bakal menemani kita selama bertahun-tahun.