Di New York City, ada satu nama yang berhasil bikin semua orang terhipnotis, dan dia bukan pesulap jalanan, melainkan Sombr. Musisi berusia 20 tahun ini baru saja naik panggung dadakan di Canal Street, disambut jeritan histeris dari para penggemar. Album debutnya, I Barely Know Her, dijadwalkan rilis dalam hitungan jam, tetapi Sombr punya ide gila: memperkenalkan lagu-lagu itu langsung di jalanan yang jadi inspirasi liriknya. Penonton berjejer dari balkon hingga jendela, sementara bus dan mobil melintas, menyisakan pandangan penasaran pada pertunjukan rock dadakan yang sukses bikin jalanan macet. Pemandangan itu adalah representasi sempurna dari albumnya: penuh cinta, tanpa batas, dan dibalut nuansa sonder yang mendalam.
Ketika Canal Street Berubah Jadi Panggung Konser (Bukan Lagi Cuma Buat Nego Harga)
Performa Sombr di Canal Street bukan sekadar konser biasa. Itu adalah deklarasi, perayaan, dan penegasan bahwa musiknya berakar kuat di jantung kota New York yang selalu berdenyut. Suasana yang tercipta pada malam itu, dengan lampu kota sebagai latar dan kerumunan yang meluap, memancarkan energi tak tertandingi. Ini adalah cara Sombr menunjukkan bahwa I Barely Know Her bukan hanya kumpulan lagu, melainkan sebuah pengalaman imersif tentang kota yang dicintai dan segala kompleksitasnya.
Album I Barely Know Her berhasil menemukan keseimbangan antara realitas keras New York dan versi romantis yang sering dibayangkan banyak orang. Ini adalah narasi jujur yang tidak malu-malu mengeksplorasi sisi gelap maupun terang. Dengan kepiawaian Sombr sebagai produser bersama Tony Berg, setiap trek dirancang untuk membawa pendengar masuk ke dalam dunianya.
Di lagu andalan “12 to 12,” Sombr menciptakan adegan yang memabukkan, disokong bassline yang mendalam dan synth yang meliuk-liuk dengan sentuhan perkusi tajam. Lagu ini berhasil membuat patah hati terdengar begitu menggiurkan, seolah menjadi bagian dari petualangan yang tak bisa dihindari. Lirik “I know you wanna see me in hell, my love,” dinyanyikan dengan nada yang justru mengisyaratkan bahwa perjalanan ke neraka pun tak jadi masalah baginya. Sebuah pengakuan jujur tentang konsekuensi dari sebuah hubungan.
Namun, Sombr juga tahu kapan harus membawa pendengar kembali ke kenyataan. Pada bagian bridge “12 to 12”, realitas kembali menampar dengan lirik, “Maybe, I’m delusional/And the way you act is usual.” Ada momen di mana ia merenungkan, “Maybe in another world/I won’t feel so unlovable,” sebuah kilasan kerentanan yang jujur. Album ini penuh dengan kejutan emosional semacam itu, membuat pendengar ikut merasakan pasang surutnya.
Sombr dengan cerdik menebar pengungkapan diri yang mengejutkan ini di sepanjang album. Pengakuan-pengakuan tajam tersebut terasa seperti terjun ke air dingin di tengah teriknya aransemen instrumental yang memukau. Layaknya tetesan air tak dikenal yang jatuh dari unit AC di seluruh kota, kejutan lirik ini menyegarkan sekaligus menusuk. Di lagu penutup, “Under the Mat,” ia bernyanyi, “I learned to read her eyes and know when she would lie,” dan diakhiri dengan, “I watched her start to hate me.”
Sombr tampil dengan kepercayaan diri internal yang khas dan pesona eksternal yang terasa absen dari banyak rilisan musisi pop pria kontemporernya. Terkadang, ini membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya. Namun, sisi mudanya terlihat jelas ketika ia menyajikan hasil dari pelajaran-pelajaran pahit dalam cinta. “Is it a crime to care so much for another, you’re left with nothin’ for yourself?” ia bertanya di “Dime,” sebuah pertanyaan yang mungkin pernah terlintas di benak banyak Gen Z dan milenial.
Formula Pop yang Bikin Hati Ambyar, Tapi Tetap Bangkit Lagi
“Dime” dan “We Never Dated” mungkin menjadi satu-satunya titik yang terasa agak canggung di album berisi 10 lagu ini, sedikit kurang tajam dibandingkan lirik-lirik Sombr yang lebih halus di tempat lain. Kedua lagu ini juga kurang beruntung karena muncul setelah “Canal Street”, jantung emosional dari I Barely Know Her. Ballad ini adalah knockout melankolis dan melodi yang memukau.
“Canal Street” menampilkan solo gitar blues yang menggelegar di klimaks lagu, mengingatkan pada kehancuran emosional ala “Traitor” dari Olivia Rodrigo. Kedua artis ini adalah juara bangga dari struktur lagu pop tradisional yang kuat. Setiap trek di album Sombr melewati batas tiga menit dan dibangun menuju bridge yang monumental, memberikan ruang bagi emosi untuk berkembang. “Come Closer” hampir menjadi puncak dengan harmoni paling merdu di album, tetapi sulit untuk mengalahkan kekuatan “12 to 12” yang memang pop dalam bentuk paling memikatnya.
“Canal Street” sendiri berdurasi lima menit dan berhasil membuat setiap detiknya berarti. “Do you still smoke on the patio? Is your brother still in the hospital? Do you hear me crying out for you on the radio?” Sombr bertanya di pre-chorus (ingat bagian ini?). Kemudian ia melanjutkan dengan pengakuan yang meresap: “I’ve got everything I thought I’d need now/But I’m still smoking cigarettes on my couch/And it kills my mom, but it brings me back to you.” Penempatan radio yang ia sebutkan itu bisa jadi merujuk pada salah satu dari banyak hits yang ia raih selama rentetan single sebelum I Barely Know Her.
Sebelum album ini rilis, Sombr sudah memanaskan panggung dengan single evocatif “Back to Friends” dan “Undressed” yang bernuansa Fleetwood Mac. Bahkan, lagu pembuka album yang penuh perkusi, “Crushing,” dengan segala keunikan instrumentalnya, berpotensi besar untuk melanjutkan rekor hot streak-nya. Ini menunjukkan bahwa Sombr bukan nama baru yang muncul tiba-tiba; ia sudah membangun pondasi kuat dengan lagu-lagu yang relatable dan berkualitas.
Rock & Roll Mungkin Sudah ‘Tewas’, Tapi Pop Justru Naik Kasta
Selama acara peluncuran album, Sombr sempat bercerita tentang seseorang yang merusak salah satu poster promosinya di Lower East Side. Pelaku tersebut menulis, “Rock & Roll is dead and you killed it.” Dengan gaya yang terlalu keren untuk terlalu peduli, Sombr hanya menepisnya dengan ucapan singkat, “fuck that person,” lalu lanjut ke lagu berikutnya. Momen ini langsung mengingatkan pada pengaruh yang tampaknya selalu ada pada penyanyi-penulis lagu dan produser ini.
Meski tidak secara dramatis dalam suara, tetapi dalam gaya, Sombr memiliki kemiripan dengan musisi yang populer di era soft-grunge Tumblr awal 2010-an. Hal ini tak bisa disangkal oleh siapa pun yang tumbuh sebagai remaja di masa itu. Pada tahun 2019, lampu menyilaukan berkedip di belakang Matty Healy di atas panggung Coachella. “Rock & Roll Is Dead,” demikian tulisan di layar. “God Bless The 1975.” Sebuah pernyataan berani yang kini seolah dijawab oleh generasi berikutnya.
Jika memang rock & roll sudah mati, biarlah begitu. Tapi satu hal yang pasti: musik pop masih hidup dan terus berkembang. Dengan I Barely Know Her, Sombr tidak hanya merayakan New York City dan patah hati, tetapi juga menegaskan bahwa pop, dengan segala kerentanan dan kejujurannya, adalah medium yang kuat untuk bercerita. Jadi, God Bless Sombr, yang berhasil membuat kita semua menari di tengah badai emosi.