Tragedi 1998, sebuah luka mendalam dalam sejarah bangsa, kembali mencuat ke permukaan setelah pernyataan kontroversial seorang pejabat publik. Luka yang belum sepenuhnya mengering ini, diusik kembali, menimbulkan amarah dan kekecewaan di berbagai kalangan, terutama aktivis perempuan dan korban kekerasan seksual. Kita, sebagai generasi yang peduli akan keadilan dan kebenaran, perlu memahami duduk perkaranya.
Gelombang protes muncul setelah Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, meremehkan tragedi kekerasan seksual massal 1998 sebagai rumor belaka. Pernyataan ini dilontarkan dalam sebuah wawancara yang membahas tentang penulisan ulang sejarah Indonesia, sebuah topik yang sensitif dan membutuhkan kehati-hatian ekstra. Alih-alih memberikan klarifikasi yang konstruktif, pernyataan Fadli Zon justru memperdalam luka para korban dan keluarga mereka.
Aliansi Perempuan Indonesia, yang terdiri dari berbagai organisasi aktivis anti kekerasan terhadap perempuan, dengan tegas mengecam pernyataan tersebut. Mereka menuntut permintaan maaf secara terbuka dari Fadli Zon dan menolak segala bentuk penulisan ulang sejarah yang meremehkan sejarah kekerasan seksual terhadap perempuan. Pernyataan ini dianggap sebagai bentuk penyangkalan terhadap kebenaran yang telah diakui secara historis.
Tuba Fallopi, perwakilan dari Forum Aktivis Muda Perempuan (Famm) Indonesia, mengungkapkan kekecewaannya. Sebagai penyintas kekerasan seksual, Tuba merasa pernyataan Fadli Zon merupakan penghinaan terhadap penderitaan para korban. Ia juga menyayangkan permintaan bukti atas kekerasan seksual massal, padahal peristiwa tersebut telah diakui sebagai fakta sejarah di bawah pemerintahan mantan Presiden B.J. Habibie, didukung pula oleh temuan para peneliti. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga, begitu mungkin yang dirasakan para korban.
Menurut Tuba, kekerasan seksual yang terjadi pada tahun 1998 bukanlah insiden acak atau spontan, melainkan bagian dari pola kekerasan yang telah terjadi sejak tahun 1965. Tubuh perempuan digunakan sebagai alat politik untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. "Dan itulah yang dilakukan Fadli Zon dengan pernyataannya," tegas Tuba, menunjukkan bahwa kemarahan aliansi perempuan saat ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba.
Perempuan Mahardhika, melalui anggotanya Nur Suci Amalia, juga menyampaikan kecaman serupa. Pernyataan Fadli Zon dinilai mencerminkan arah yang diambil oleh pemerintahan Prabowo dan kurangnya minat dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Dengan seorang pejabat negara menuduh kekerasan seksual massal sebagai rumor belaka, Suci khawatir pemerintah berupaya mempertahankan impunitas "dengan sengaja menghilangkan dan tidak mengakui kekerasan seksual massal Mei 1998."
Penting untuk diingat bahwa trauma akibat kekerasan seksual dapat berlangsung seumur hidup. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh korban secara langsung, tetapi juga oleh keluarga dan komunitas mereka. Pernyataan yang meremehkan atau menyangkal peristiwa kekerasan seksual sama saja dengan membuka kembali luka yang sedang berusaha disembuhkan. Bayangkan jika Anda sedang berusaha melupakan kenangan buruk, lalu seseorang terus mengingatkannya. Menyebalkan, kan?
Mengapa Pernyataan Fadli Zon Sangat Menyakitkan?
Pernyataan Fadli Zon bukan sekadar masalah opini. Ini adalah masalah kebenaran sejarah dan keadilan bagi para korban. Meremehkan atau menyangkal kekerasan seksual massal sama dengan mengabaikan penderitaan para korban dan meniadakan pengalaman mereka. Ini juga mengirimkan pesan berbahaya bahwa kekerasan seksual dapat ditoleransi atau bahkan diabaikan. Padahal, setiap kasus kekerasan seksual harus ditangani dengan serius dan pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Lebih lanjut, pernyataan ini dapat menghambat upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Jika pemerintah tidak mengakui atau bahkan menyangkal terjadinya pelanggaran tersebut, maka sulit untuk mencapai rekonsiliasi dan memberikan keadilan kepada para korban. Kita tidak bisa membangun masa depan yang lebih baik jika kita terus menutup mata terhadap kesalahan masa lalu.
Dampak Jangka Panjang: Ancaman Bagi Korban Kekerasan Seksual
Pernyataan kontroversial seperti ini dapat menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpercayaan bagi para korban kekerasan seksual. Mereka mungkin menjadi enggan untuk melaporkan kasus mereka karena takut tidak dipercaya atau bahkan disalahkan. Hal ini dapat memperburuk kondisi psikologis mereka dan menghambat proses pemulihan.
Selain itu, pernyataan ini dapat menginspirasi pelaku kekerasan seksual untuk melakukan tindakan serupa. Jika mereka merasa bahwa kekerasan seksual dapat diabaikan atau bahkan dibenarkan, maka mereka mungkin merasa lebih bebas untuk melakukan tindakan tersebut tanpa takut dihukum. Ini adalah lingkaran setan yang harus kita hentikan.
Penulisan Ulang Sejarah: Antara Klarifikasi dan Distorsi
Ide penulisan ulang sejarah memang bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, hal ini dapat membantu meluruskan kesalahpahaman dan memberikan perspektif yang lebih akurat. Di sisi lain, hal ini dapat digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang salah di masa lalu dan menghilangkan jejak kejahatan. Jadi, intinya, sangat krusial.
Penting untuk memastikan bahwa penulisan ulang sejarah dilakukan dengan transparansi, akuntabilitas, dan berdasarkan bukti yang kuat. Semua pihak yang terlibat harus memiliki kesempatan untuk memberikan pandangan mereka, dan proses tersebut harus dilakukan dengan menghormati para korban dan keluarga mereka. Jangan sampai niat baik malah berujung pada bencana baru.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai bagian dari generasi yang peduli, kita memiliki peran penting untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan bagi para korban kekerasan seksual. Kita dapat melakukan beberapa hal, di antaranya:
- Menyuarakan dukungan untuk para korban dan keluarga mereka.
- Menuntut akuntabilitas dari para pelaku kekerasan seksual.
- Mendorong pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
- Meningkatkan kesadaran tentang isu kekerasan seksual di masyarakat.
- Menolak segala bentuk penyangkalan terhadap kebenaran sejarah.
Dengan bersatu, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan aman bagi semua orang. Mari bersama-sama membangun masa depan di mana tidak ada lagi tempat bagi kekerasan seksual dan impunitas.
Intinya, pernyataan yang meremehkan tragedi kekerasan seksual 1998 adalah pengingat yang menyakitkan bahwa perjuangan untuk keadilan dan kebenaran masih panjang. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa suara para korban didengar dan keadilan ditegakkan. Jangan biarkan sejarah kelam ini terulang kembali.