Siapa bilang cuma drama Korea yang bikin deg-degan? Ternyata, Sabah punya potensi bikin kita gigit jari juga, lho. Bukan soal cinta segitiga, tapi soal ancaman wabah penyakit menular. Jangan panik dulu, kita bahas lebih lanjut.
Sabah: Surga Biodiversitas, Neraka Penyakit Tersembunyi?
Sabah, dengan kekayaan alamnya yang luar biasa, menyimpan potensi masalah kesehatan yang serius. Profesor Dr. Vijay Kumar dari Universiti Malaysia Sabah (UMS) Biotechnology Research Institute memperingatkan bahwa keanekaragaman hayati yang melimpah ini justru bisa menjadi pintu masuk bagi penyakit menular yang berbahaya. Ini seperti punya koleksi mobil mewah, tapi garasinya bocor – keren sih, tapi bikin pusing.
Kita sering mendengar istilah zoonosis, yaitu penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Di Sabah, masalah ini semakin nyata dengan meningkatnya interaksi manusia dengan satwa liar. Dari malaria monyet hingga virus corona dari kelelawar, risikonya terus meningkat dan semakin mengkhawatirkan. Kebayang kan, lagi asyik liburan di hutan, eh malah bawa pulang ‘oleh-oleh' yang nggak diinginkan?
One Health: Solusi Jitu atau Sekadar Mimpi di Siang Bolong?
Menghadapi ancaman ini, pendekatan One Health dianggap sebagai solusi yang paling tepat. Pendekatan ini mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk mengatasi penyakit zoonosis secara terkoordinasi dan proaktif. Intinya, kita harus kerja sama lintas sektor, bukan cuma ngurusin kesehatan manusia doang.
Sabah sedang mengalami peningkatan kasus penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Contohnya, malaria dari monyet, virus corona dari kelelawar, penyakit pada unggas, dan infeksi dari tikus. Ini semua disebabkan oleh aktivitas manusia yang semakin merambah ke wilayah alam. Jadi, kita sendiri yang membuka pintu bagi masalah ini.
Profesor Vijay menyoroti bahaya Plasmodium knowlesi, parasit malaria yang disebarkan dari monyet melalui nyamuk. Parasit ini menjadi penyebab utama kasus malaria di Sabah. Selain itu, para peneliti juga menemukan beberapa virus corona baru pada populasi kelelawar, setelah merebaknya SARS dan Covid-19. Cukup bikin merinding, ya kan?
Ancaman penyakit menular juga merambah ke sektor pertanian. Ingat wabah flu burung H5N1 tahun 2018? Ribuan unggas dimusnahkan akibat wabah ini. Meskipun tidak ada kasus pada manusia yang dikonfirmasi, antibodi yang terdeteksi pada beberapa individu menunjukkan adanya paparan sebelumnya. Ini bukti bahwa risiko penyakit dari hewan itu nyata dan dekat dengan kita.
Hutan dan Kota: Dua Front Pertempuran Melawan Penyakit
Masalah kesehatan hewan di Sabah tidak hanya terbatas pada spesies darat. Di perairan sekitar Pulau Mabul, kasus fibropapillomatosis pada penyu laut, tumor yang disebabkan oleh herpesvirus, semakin meningkat dan mengancam kehidupan laut yang terancam punah. Ini seperti double kill – penyu terancam, ekosistem juga ikut kena imbasnya.
Selain itu, African Swine Fever telah memusnahkan populasi babi hutan dan babi ternak, mengganggu ekosistem dan memengaruhi perburuan tradisional di kalangan masyarakat adat. Bayangkan kalau kita kehilangan salah satu sumber makanan dan mata pencaharian utama. Tentu bikin pusing tujuh keliling.
Ancaman dari lingkungan perkotaan juga tidak kalah penting. Infeksi yang ditularkan melalui tanah dan air, seperti melioidosis dan leptospirosis, masih endemik di Sabah. Bahkan, tikus di perkotaan ditemukan membawa bakteri Bartonella, menimbulkan risiko yang seringkali tidak disadari oleh warga kota. Jadi, jangan anggap remeh kebersihan lingkungan, ya!
Aktivitas Manusia: Biang Kerok Sebenarnya?
Profesor Vijay menekankan bahwa banyak dari risiko ini muncul akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali. Perburuan liar, perdagangan satwa liar ilegal, ekspansi pertanian, dan deforestasi meningkatkan kontak kita dengan hewan yang mungkin membawa patogen yang tidak dikenal. Kita seperti main Russian Roulette dengan alam – sekali salah langkah, akibatnya fatal.
Proyek pembangunan skala besar seperti ibu kota baru Indonesia, Nusantara, di Kalimantan Timur, juga dapat memperburuk fragmentasi ekosistem Borneo, meningkatkan konflik manusia-satwa liar, dan mempercepat penyebaran penyakit baru. Ini seperti membuka kotak pandora – siapa tahu penyakit apa lagi yang akan muncul?
Untuk mengatasi ancaman ini, Profesor Vijay dan rekannya, Profesor Madya Dr. Zarina Amin, menyerukan penguatan kerangka kerja One Health. Mereka merekomendasikan peningkatan surveilans genomik, penggunaan Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi patogen baru secara dini, dan peningkatan kesadaran di kalangan masyarakat pedesaan dan adat.
Investasi di Biosurveillance: Bukan Pilihan, Tapi Keharusan!
Mereka juga merekomendasikan promosi kebijakan penggunaan lahan yang berfokus pada konservasi untuk mengurangi gangguan ekologi. Pemerintah juga didesak untuk memprioritaskan investasi jangka panjang dalam biosurveillance. Biosurveillance itu penting banget, guys! Ini kayak punya early warning system buat kesehatan.
“Investasi dalam biosurveillance bukan lagi pilihan. Ini penting jika kita ingin melindungi tidak hanya kesehatan masyarakat tetapi juga ekonomi, keamanan pangan, dan upaya konservasi Sabah,” kata Profesor Vijay. Bayangkan kalau kita bisa mencegah wabah sebelum terjadi. Tentu akan jauh lebih baik daripada mengatasi dampak setelahnya.
Profesor Vijay juga menyerukan pembentukan gugus tugas interdisipliner yang menyatukan ahli virus, konservasionis, spesialis AI, pakar kesehatan masyarakat, dan pembuat kebijakan untuk mendorong kolaborasi One Health di negara bagian tersebut. Ini kayak tim Avengers, tapi bukan buat lawan Thanos, melainkan lawan penyakit.
Pelajaran Penting: Jaga Alam, Jaga Diri!
Pada akhirnya, kita semua punya peran dalam menjaga kesehatan Sabah. Dengan menjaga alam, kita juga menjaga diri kita sendiri. Jangan sampai keindahan Sabah justru menjadi sumber masalah bagi kita. Jadi, mari kita berpikir dan bertindak lebih bijak demi masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Ingat, kesehatan itu mahal harganya, bahkan bisa lebih mahal dari tiket konser idola K-Pop!