Dark Mode Light Mode

Apakah Merek Akan Membeli: Aktivis Tahu Cara Hentikan Kekerasan Seksual di Rantai Pasok Garmen

Industri fashion, glamor di depan, keringat di belakang. Pernahkah kamu bertanya-tanya siapa yang menjahit pakaian yang kamu pakai sehari-hari? Di balik label branded dan diskon flash sale, ada cerita pilu tentang pekerja garmen, terutama perempuan, yang berjuang melawan kekerasan dan pelecehan. Ini bukan sekadar masalah #MeToo industri, tapi isu sistemik yang perlu kita bongkar bersama.

Mengungkap Fakta Kelam Industri Garmen Asia

Realita di pabrik garmen di Asia Tenggara dan Selatan seringkali jauh dari kata ideal. Asia Floor Wage Alliance (AFWA) dan Global Fashion Justice (GLJ) bersama serikat pekerja meluncurkan kampanye “Violence Out of Fashion” untuk menuntut perubahan nyata. Mereka memperjuangkan solusi yang mengikat dan dapat ditegakkan, seperti Dindigul Agreement dan Central Java Agreement for Gender Justice. Tujuannya? Melindungi kebebasan berserikat, memperkuat kepemimpinan perempuan, dan menciptakan mekanisme pengaduan yang dipimpin oleh serikat pekerja. Intinya, suara pekerja harus didengar.

Sultana Begum, presiden Green Bangla Garments Workers’ Federation, yang sudah lebih dari 25 tahun berjuang, mengatakan bahwa perubahan yang berarti hampir tidak ada. Perempuan setiap hari harus menangkis pelecehan seksual, serta kekerasan verbal dan fisik. Mereka seringkali takut melapor karena bisa berujung pada pengangguran. Double whammy banget, kan?

Menurut Ashley Saxby, koordinator Gender Justice dan Asia Tenggara dari AFWA, kekerasan berbasis gender (GBVH) adalah “realitas sehari-hari” bagi jutaan perempuan yang membuat pakaian untuk merek fashion ternama. Ini bukan cuma masalah di Bangladesh, Kamboja, atau Indonesia saja. Ini masalah global.

Akar masalahnya? Ketidakseimbangan kekuasaan. Perempuan mendominasi tenaga kerja garmen (hingga 80% di beberapa negara), sementara posisi supervisor dan manajer didominasi laki-laki. Kekerasan menjadi "alat kontrol" untuk mempercepat produksi dan mendisiplinkan pekerja. Mirisnya, ini bukan bug, tapi feature dalam sistem.

Merek-merek besar memang jauh dari lantai pabrik, tapi mereka mendorong kekerasan ini dengan terus menekan pemasok untuk produksi yang lebih cepat dan murah tanpa pengawasan yang memadai. Yang membayar harga? Tentu saja pekerja perempuan.

PR Stunt atau Solusi Nyata? Membongkar Taktik Merek Fashion

Merek fashion seringkali membuat program-program "superficial" tentang kesetaraan gender. Tapi, apakah ini benar-benar membantu? Atau hanya sekadar aksi PR untuk menjaga citra? Akuntabilitas yang sesungguhnya berarti mengakui bahwa inisiatif sukarela yang dipimpin merek telah gagal melindungi perempuan.

Curhatan Pilu di Balik Kain: Kisah Para Pekerja Garmen

Kampanye “Violence Out of Fashion” memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan kisah-kisah pilu para pekerja garmen. Ada perempuan dari Bangladesh yang ditampar dan dipukul kepalanya karena pelanggaran kecil. Ada pekerja dari Sri Lanka yang harus menanggung pertanyaan tidak pantas dari supervisornya. Di Indonesia, ada yang terpaksa bersembunyi di kamar mandi saat auditor datang, hanya untuk kembali merasakan kekejaman supervisor setelah mereka pergi.

Yang Sophorn, presiden Cambodian Alliance of Trade Unions, mengatakan bahwa para pekerja seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: menderita pelecehan atau memberi makan keluarga mereka. Bicara? Bisa jadi kehilangan pekerjaan. Merek-merek besar bisa dengan mudah memindahkan produksi ke negara lain jika pemasok tidak memenuhi standar mereka, meninggalkan pekerja tanpa pekerjaan. Ini masalah sistemik, bukan individu.

Melawan Ketakutan: Gerakan Kolektif Lintas Batas

Ketakutan dan kerahasiaan adalah masalah tersendiri. Itulah mengapa kekuatan kolektif harus melampaui batas negara. Pemasok perlu memastikan bahwa merek tetap memesan, sehingga mereka mendisiplinkan pekerja dengan kekerasan dan menggunakan ancaman untuk membungkam mereka. Sistem ini bekerja dengan membungkam pekerja untuk melindungi keuntungan, bukan hak-hak pekerja.

Dindigul dan Central Java Agreement: Secercah Harapan, tapi Belum Cukup

Dindigul dan Central Java Agreement memang dianggap sebagai cerita sukses, tetapi skalanya masih sangat terbatas. Baru didukung oleh segelintir merek di satu atau dua pabrik. Mereka harus menjadi blueprint untuk upaya sistemik yang lebih luas.

Safety Engagement for Women Workers (SEWW): Framework untuk Perubahan

AFWA dan GLJ, bersama serikat pekerja di India dan Indonesia, mengembangkan Safety Engagement for Women Workers (SEWW) Commitment Framework. Mereka akan meminta merek untuk mengadopsinya. Framework ini didasarkan pada pelajaran dari Dindigul dan Central Java, dan mencakup komponen-komponen yang diketahui efektif dan dapat diskalakan di rantai pasokan garmen di seluruh dunia.

SEWW mencakup standar tempat kerja yang kuat untuk GBVH dan kebebasan berserikat, pengawas pekerja perempuan yang berwenang melaporkan pelecehan dan kekerasan, mekanisme pengaduan, komite pengawas yang melibatkan masyarakat sipil, merek, dan pemasok, serta pelatihan untuk pekerja, manajer, dan supervisor. Kerangka kerja ini juga bergantung pada komitmen merek untuk menggunakan pengaruh rantai pasokan mereka untuk memperjuangkan keselamatan perempuan dengan menciptakan insentif pasar untuk partisipasi pemasok dan memungkinkan pekerjaan yang dilindungi untuk pekerja melalui stabilitas pesanan.

Saatnya Bertindak: Mengakhiri Kekerasan dalam Industri Fashion

"Solusinya ada di sini," kata Sahiba Gill, wakil direktur hukum GLJ. "Sekarang kami bersedia bekerja sama dengan merek untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender melalui kerangka kerja SEWW. Dengan peluncuran kampanye ‘Violence Out of Fashion', kami akan menarik perhatian merek-merek yang gagal melindungi keselamatan perempuan, karena tidak ada lagi alasan untuk tidak bertindak. Merek akan menandatangani kerangka kerja SEWW atau membiarkan kekerasan terhadap perempuan yang membuat produk mereka."

Ratna, seorang pekerja di PT Semarang Garment Indonesia, ingin melihat perjanjian seperti yang disetujui Fanatics ada "di mana-mana." Perjanjian Jawa Tengah, katanya, bukan "hanya kata-kata di atas kertas." Tetapi memantau dan mencegah GBVH di lini produksi sebelum meningkat. Dan jika pelecehan terjadi, manajemen pabrik akan dimintai pertanggungjawaban oleh pembeli terbesarnya.

Kesimpulan: Pilihan Ada di Tangan Kita

Sebelum ada perjanjian, perempuan takut berbicara. Setelah ada program ini, keluhan mereka ditanggapi dengan serius dan mereka mendapat dukungan dari serikat pekerja. Perjanjian ini mengubah tempat kerjanya, dan itu menunjukkan bahwa keselamatan nyata itu mungkin. Setiap pekerja perempuan pantas mendapatkan perlindungan itu. Kita perlu merek untuk berhenti berpura-pura peduli tentang keselamatan kita dan mulai mendaftar ke perjanjian ini. Singkatnya, jangan cuma beli bajunya, tapi juga perhatikan siapa yang membuatnya. Ini bukan cuma tentang fashion, tapi tentang kemanusiaan.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Kapal Ikan Indonesia Manfaatkan AI Startup Jepang: Ancaman bagi Sumber Daya Laut?

Next Post

<p><strong>Pertarungan Lintas Semesta Ys vs Trails in the Sky Ungkap Daftar Karakter Jelang Rilis Musim Panas di PS5 dan PS4</strong></p>