Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Jugband Blues: Ayah Penulis Surat Kabar Terkejut Jadi Bagian dari ‘Sonic Mayhem’ Pink Floyd

Budaya Asli Amerika Dirayakan di Discovery Park 2025

Api Osaka: Cerminan Krisis Sosial Jepang Kian Membara

Dotonbori, Osaka, Jepang. Sebuah nama yang biasanya langsung diasosiasikan dengan papan reklame neon raksasa, jajanan kaki lima yang menggoda, dan keramaian yang tak pernah padam. Tapi, pada 18 Agustus 2025, distrik ini justru jadi saksi bisu sebuah “glitch” serius dalam sistem keselamatan, yang sayangnya, tidak bisa di-reset dengan mudah. Alih-alih merayakan kemegahan lampu-lampu, publik justru dikejutkan dengan berita dua pahlawan pemadam kebakaran yang gugur saat memadamkan api. Jadi, bagaimana bisa distrik seikonik ini mendadak berubah dari magnet turis menjadi semacam level ‘boss fight’ yang fatal?

Senin pagi yang seharusnya tenang di Dotonbori berubah menjadi drama mengerikan ketika api mulai melahap sebuah toko di lantai dasar sekitar pukul 09:50. Api tersebut, seolah punya dendam pribadi, dengan cepat merambat ke dua struktur bertingkat di sebelahnya—satu gedung tujuh lantai, satu lagi lima lantai. Butuh waktu sembilan jam perjuangan heroik bagi para petugas pemadam kebakaran untuk akhirnya menjinakkan si jago merah. Ini bukan sekadar insiden, melainkan ujian nyata bagi sistem yang seharusnya menjaga keamanan warga.

Para korban jiwa dalam tragedi ini adalah Takashi Mori, seorang veteran berusia 55 tahun, dan Mitsunari Nagatomo, seorang rekrut berusia 22 tahun, keduanya dari Stasiun Pemadam Kebakaran Naniwa. Mereka ditemukan terjebak di lantai enam gedung berlantai tujuh dan dinyatakan meninggal di rumah sakit. Kematian mereka menandai pertama kalinya petugas pemadam kebakaran Jepang gugur dalam tugas sejak tahun 2023. Selain itu, empat petugas pemadam kebakaran lain dan seorang wanita berusia dua puluhan mengalami luka ringan.

Dotonbori, yang dikenal sebagai jantung hiburan Osaka, mungkin terlihat berkilau di permukaan, namun di baliknya tersimpan jaringan padat bangunan tua, renovasi ala kadarnya, dan koridor sempit. Sebuah “tinderbox” yang siap meledak kapan saja. Ibarat game yang tampilannya menipu, di mana grafisnya ciamik tapi _bug_-nya di mana-mana. Sayangnya, kali ini _bug_ tersebut bukan hanya _game over_, tapi juga nyawa yang melayang.

## Ketika Kode Api Cuma Jadi Hiasan Dinding

Penyebab pasti kebakaran masih dalam penyelidikan, tapi pejabat berwenang sudah mengonfirmasi sesuatu yang bikin dahi mengernyit: dua bangunan di Osaka yang ludes terbakar itu punya riwayat panjang pelanggaran kode api yang tak pernah dituntaskan. Sebuah inspeksi pada Juni 2023 bahkan menemukan enam pelanggaran, termasuk tanda _emergency exit_ yang lenyap entah ke mana. Ibaratnya, punya petunjuk jalan keluar tapi GPS-nya error parah.

Pemerintah memang sempat memerintahkan perbaikan, namun empat pelanggaran tetap mangkrak. Beberapa area tidak memiliki alarm kebakaran otomatis, dan latihan evakuasi wajib—yang seharusnya diadakan setidaknya dua kali setahun—tak pernah terlaksana. Ini seperti menyiapkan pasukan tanpa latihan simulasi, lalu kaget saat musuh tiba-tiba datang. Kelalaian ini jelas membuka jalan bagi bencana.

Saat baku hantam dengan api, sebagian struktur bangunan runtuh antara lantai lima dan enam, menjebak Mori dan Nagatomo. Kematian mereka, alih-alih kecelakaan, lebih tepat disebut sebagai _outcome_ dari membiarkan bangunan berbahaya beroperasi di salah satu distrik tersibuk Jepang. Api yang hanya melalap 110 meter persegi, ukuran yang sebenarnya kecil, bisa menyebar begitu cepat melalui lorong sempit dan _shaft_ vertikal. Dari tiga petugas yang masuk, hanya satu yang berhasil selamat, menyoroti kegagalan komunikasi atau protokol keselamatan yang amburadul.

## Bukan Sekadar Insiden, Ini Glitch dalam Sistem

Tewasnya dua petugas pemadam kebakaran dalam api yang relatif terkendali ini mengarah pada kegagalan sistemik. Meskipun layanan pemadam kebakaran Jepang secara internasional dianggap sangat ketat dan jarang ada korban jiwa, kasus ini justru menampakkan retakan berbahaya. Bangunan-bangunan tua di Dotonbori memang sudah lama _infamous_ karena _ogah_ mematuhi kode api modern, di mana standar _fireproofing_, pengendalian asap, dan rute evakuasi seringkali dikorbankan demi profit. Renovasi ilegal dan kabel listrik yang tidak aman, seperti bom waktu yang bertebaran, dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan ketat, seolah diberi _green light_ oleh otoritas lokal yang melindungi bisnis-bisnis menguntungkan.

Tragedi ini seperti _deja vu_ dari bencana sebelumnya, termasuk kebakaran Kabukicho di Tokyo tahun 2001 yang menewaskan 44 orang, di mana pintu keluar terkunci dan modifikasi ilegal juga ditemukan. Kematian Mori dan Nagatomo mengungkap pola mematikan yang terus berulang: profit dan regulasi yang longgar selalu diprioritaskan di atas nyawa manusia. Wali Kota Osaka, Hideyuki Yokoyama, memang sudah menyampaikan belasungkawa dan menjanjikan penyelidikan, sementara departemen pemadam kebakaran berjanji membentuk panel peninjau. Ritual-ritual ini, yang diulang setiap kali bencana, seolah menutupi kelalaian sistemik.

## Ketika “Safety Culture” Cuma Mitos Belaka

Setelah kemarahan publik mereda, profit kembali menjadi prioritas dan kondisi tetap tak berubah. Kematian Mori dan Nagatomo bukanlah kecelakaan, melainkan hasil langsung dari sebuah sistem yang menomorduakan keselamatan demi keserakahan komersial, mentolerir bangunan berbahaya, dan mengirim pekerja serta petugas darurat ke dalam perangkap kematian yang sebenarnya bisa dicegah. Kebakaran Osaka ini adalah bagian dari pola yang lebih luas mengenai menurunnya keselamatan kerja di seluruh masyarakat Jepang.

Statistik resmi menunjukkan peningkatan stabil dalam cedera dan kematian di tempat kerja, terutama di kalangan pekerja paling rentan. Tahun lalu, lebih dari 6.000 pekerja asing tewas atau terluka di tempat kerja, peningkatan tahunan ke-13 berturut-turut. Pekerja magang teknis dan pekerja terampil tertentu _especially at risk_, seringkali dipaksa melakukan pekerjaan berbahaya tanpa pelatihan atau tindakan perlindungan yang memadai, dan terhambat oleh kendala bahasa. Budaya kerja lembur yang parah juga memperparah bahaya. Hampir satu dari sepuluh pekerja mencatat lebih dari 80 jam lembur sebulan, meningkatkan risiko kecelakaan fatal, stroke, dan bunuh diri. Fenomena _karoshi_—kematian karena kerja lembur—tetap merajalela meskipun ada janji resmi selama puluhan tahun untuk mengatasinya.

Budaya “keselamatan” yang selama ini dibanggakan Jepang kini terungkap sebagai mitos, terkikis oleh krisis ekonomi yang makin dalam dan ketegangan global yang meningkat. Ekonomi Jepang menyusut 0,2 persen _year-on-year_ pada awal 2025, dengan Bank of Japan memproyeksikan hanya 0,5 persen pertumbuhan untuk tahun ini. Pemilik bangunan secara rutin memotong _safety corners_ demi menjaga margin keuntungan, dibantu oleh regulator yang terbebani oleh penghematan dan terikat pada kepentingan bisnis.

## Memadamkan Api Kapitalisme, Bukan Cuma Gedung

Bencana seperti kebakaran Osaka terus berulang karena dinamika kapitalisme Jepang. Distrik hiburan seperti Dotonbori adalah pusat profit vital, mendorong bisnis untuk memangkas biaya dengan kabel ilegal, pintu keluar terkunci, dan modifikasi tidak aman. Regulator, yang memprioritaskan keuntungan pemilik properti yang punya koneksi politik, secara rutin mengabaikan pelanggaran. Negara, dalam hal ini, tidak berfungsi untuk menjamin keselamatan publik, tetapi untuk membela kepentingan bisnis, meninggalkan petugas pemadam kebakaran, pekerja, dan publik untuk menanggung konsekuensinya. Sembilan jam yang dibutuhkan untuk memadamkan api, meskipun penyebarannya terbatas, mengisyaratkan sistem pemadam kebakaran yang tidak efektif dan kegagalan kompartementalisasi.

Kematian dua petugas pemadam kebakaran di Osaka adalah sebuah peringatan. Ini mengungkap betapa rapuhnya perlindungan bagi pekerja, bahkan di negara yang membanggakan budaya keselamatannya. Setiap janji politisi untuk “menyelidiki” atau “mencegah terulangnya” bertentangan dengan terus memburuknya kondisi di lapangan. Sama seperti pekerja asing yang dikorbankan di pabrik berbahaya, dan pekerja yang _overworked_ tumbang di meja mereka, petugas pemadam kebakaran—yang juga pekerja—diperlakukan sebagai instrumen yang bisa dibuang, dilemparkan ke dalam struktur tidak aman sementara akar penyebabnya tetap tak tersentuh. Apa yang menyatukan fenomena-fenomena ini adalah subordinasi nyawa manusia terhadap keuntungan dan penolakan negara kapitalis untuk menantang kepentingan orang kaya. Tragedi Osaka membuktikan bahwa bahkan dalam ekonomi maju, pekerja tidak aman. Kematian para petugas pemadam kebakaran yang gugur harus menjadi titik kumpul bagi perjuangan internasional melawan sistem kapitalisme itu sendiri.

Previous Post

Styx Blades of Greed: Ketamakan Hadir di Future Games Show 2025

Next Post

Fokus Setajam Silet: Tempa Mental, Taklukkan Gangguan

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *