Zaman dahulu kala, di dunia yang jauh… tepatnya di Catalonia, ada sebuah misi raksasa yang mungkin terdengar lebih ambisius daripada membangun istana di Minecraft dengan tangan kosong. Misi ini bukan tentang mencari harta karun tersembunyi, melainkan membangun kembali fondasi kebudayaan yang nyaris terhapus dari peta. Bayangkan saja, untuk melakukannya, mereka bahkan rela ‘berperang’ dalam setiap rapat dan ‘memamerkan’ setiap ide, meskipun anggaran selalu tipis, nyaris seperti mencari Wi-Fi gratis di tengah gurun.
Dulu, Kebudayaan Adalah Misi Pembangunan Bangsa
Pada suatu masa yang bisa disebut krusial dan mendasar, kebijakan budaya di Catalonia benar-benar memiliki bobot yang signifikan. Meskipun, seperti yang sudah lumrah, dana yang tersedia tidaklah banyak, area ini menjadi medan pertempuran sekaligus panggung pertunjukan yang penting. Suasana di sana dipenuhi dengan gairah dan memicu berbagai kontroversi di kalangan warga, menunjukkan betapa sentralnya isu ini.
Kebutuhan akan pembangunan ini sangat mendesak; negara Catalonia harus didirikan kembali setelah rezim Franco menghapus banyak identitasnya. Proses ini bukan sekadar membangun dari nol, melainkan melanjutkan estafet yang sudah dimulai oleh Mancomunitat dan Generalitat Republik sebelumnya. Mereka bertekad menghidupkan kembali jaringan perpustakaan, museum, arsip, dan teater yang sempat mati suri.
Kebijakan budaya ini bukan hanya tentang pembangunan fisik, tetapi juga tentang restorasi jiwa sebuah bangsa. Para visioner pada masa itu memahami bahwa identitas dan kebanggaan nasional bisa dipupuk melalui institusi-institusi budaya. Oleh karena itu, setiap proyek, sekecil apa pun, dianggap sebagai bagian integral dari narasi besar tersebut.
Gerakan ini, yang sarat dengan semangat kebangsaan, memerlukan arahan yang jelas dan kepemimpinan yang kuat. Pujolisme, sebagai ideologi politik dominan saat itu, berhasil memberikan cap nasionalnya pada seluruh proses pembangunan budaya ini. Mereka memastikan bahwa setiap langkah yang diambil selaras dengan visi besar untuk Catalonia yang kuat dan berbudaya.
Era tersebut merupakan bukti nyata bahwa kebijakan budaya bukan sekadar pelengkap, melainkan tulang punggung dalam pembangunan kembali sebuah negara. Melalui upaya kolektif, bahkan dengan sumber daya terbatas, mereka berhasil menciptakan landasan yang kokoh bagi masa depan budaya Catalonia. Ini adalah cerita tentang bagaimana seni dan ilmu pengetahuan bisa menjadi alat paling ampuh untuk merajut kembali identitas yang tercerai berai.
Para Dalang Kebudayaan: Bukan Cuma Seniman, Tapi Juga Pemikir Strategis
Di balik layar panggung pembangunan budaya Catalonia, ada beberapa sosok kunci yang perannya tak bisa diabaikan. Nama-nama seperti Oriol Bohigas dan Ferran Mascarell, yang berasal dari Dewan Kota Barcelona, bersama dengan almarhum Eduard Carbonell, sangat menentukan dalam desain kelembagaan budaya yang bersifat “batu”. Istilah ini mengacu pada pembangunan institusi-institusi fisik yang monumental dan langgeng.
Eduard Carbonell, khususnya, berada dalam puncak kejayaannya selama bertahun-tahun lamanya, berkarya dengan intensitas tinggi. Meskipun tidak memiliki profil publik setinggi Bohigas atau Mascarell yang seringkali menjadi sorotan media, pengaruhnya sangat besar. Ibarat analogi Prat de la Riba, dia adalah “seny computer” atau bisa kita artikan sebagai “komputer bijak” dari pemerintah Catalan.
Carbonell bukan sekadar seorang birokrat, melainkan seorang arsitek ideologis yang bekerja tanpa lelah di belakang layar. Dirinya adalah orang kepercayaan utama Pujol, pemimpin yang memiliki visi besar untuk Catalonia. Perannya sebagai “seny computer” menunjukkan bahwa dia adalah otak cerdas yang memproses data, merancang strategi, dan menemukan solusi untuk setiap tantangan pembangunan budaya.
Eduard Carbonell: Otak Bijak di Balik Layar Bangunan Megah
Sosok Eduard Carbonell sangat krusial dalam membentuk banyak “batu” institusi budaya secara diam-diam. Pekerjaannya seringkali tak terlihat publik, namun dampaknya luar biasa dalam menciptakan kerangka kerja yang solid bagi berbagai lembaga seni dan budaya. Ia adalah seorang master di balik layar, menggerakkan roda tanpa perlu sorotan lampu panggung.
Hingga akhirnya, kerja kerasnya yang gigih membuahkan hasil berupa sebuah penghargaan pribadi yang sangat diidam-idamkan banyak orang. Dirinya berhasil meraih posisi direktur di Museum Nasional Seni Catalonia (MNAC), sebuah institusi budaya paling prestisius di negara tersebut. Posisi ini adalah puncak karier bagi seorang visioner sepertinya.
Di MNAC, Eduard Carbonell mengambil alih kepemimpinan dari Xavier Barral, nama lain yang juga sangat penting pada masa-masa tersebut. Barral telah meletakkan dasar yang kuat, dan Carbonell hadir untuk membawa proyek ini ke garis finis. Peralihan kepemimpinan ini menandai era baru bagi museum, dengan tantangan dan harapan yang besar.
Sebagai seorang sarjana sekaligus politikus, Carbonell memiliki kombinasi keahlian yang langka dan sangat dibutuhkan. Pengetahuannya yang mendalam tentang seni dan sejarah, dipadukan dengan kemampuannya bermanuver dalam dunia politik, membuatnya menjadi sosok yang ideal. Kepadanya diberikan kehormatan besar untuk berhasil menyelesaikan pembangunan museum paling penting di Catalonia.
Prestasi ini bukan sekadar tugas yang diselesaikan, melainkan sebuah penanda sejarah. Dengan kepemimpinannya, MNAC tidak hanya berdiri kokoh sebagai bangunan, tetapi juga berfungsi optimal sebagai pusat kebudayaan. Ini adalah bukti nyata bahwa visi, dedikasi, dan kerja keras para perancang kebudayaan dapat mengubah lanskap sebuah bangsa secara fundamental dan berkelanjutan.
Upaya kolektif dari para tokoh ini, yang seringkali bekerja di balik layar tanpa banyak pengakuan publik, membentuk pondasi kuat bagi Catalonia modern. Mereka tidak hanya membangun gedung atau mengumpulkan artefak, tetapi juga merajut kembali benang-benang identitas yang hampir putus. Kisah mereka adalah pengingat bahwa pembangunan sebuah bangsa seringkali dimulai dari ruang-ruang budaya, tempat jiwa dan sejarah menemukan rumahnya kembali.