Jangan kaget kalau suatu saat nanti, lagi nongkrong di cafe hits Karachi, tiba-tiba meja kalian udah terendam air laut. Ini bukan scene film disaster, tapi bisa jadi kenyataan pahit kalau kita nggak serius mengatasi masalah penurunan tanah (subsidence).
Subsidence: Ketika Bumi Mulai Merendah Diri
Subsidence, sederhananya, adalah penurunan permukaan tanah secara bertahap. Ini bukan cuma masalah geologi; ulah manusia punya andil besar. Faktanya, sekitar 77% penyebab subsidence di dunia ini adalah perbuatan kita sendiri. Ekstraksi air tanah berlebihan menyumbang 60% dari masalah ini. Bayangkan, bumi ini ibarat kue bolu. Kalau isiannya (air tanah) terus diambilin, ya lama-lama ambles juga!
Kota-kota di Asia Tenggara paling cepat mengalami subsidence. Salah satunya adalah Karachi, Pakistan. Menurut studi, sejak 2014, Karachi mengalami penurunan antara 0.01 hingga 15.7 cm per tahun. Landhi, salah satu area di Karachi, bahkan memimpin “perlombaan” penurunan dengan rata-rata 15.7 cm per tahun. Cepat banget, kan?
Karachi: Megapolitan yang Tenggelam Perlahan
Karachi, dengan populasi hampir 30 juta jiwa, sangat bergantung pada air tanah karena sistem air kota yang amburadul. Sumber utamanya? Mafia tanker yang merajalela. Ekstraksi air yang nggak terkendali bikin permukaan air tanah turun 1-3 meter per tahun. Ini bukan cuma bikin repot, tapi juga meningkatkan risiko banjir parah, intrusi air laut, bahkan gempa bumi. Belakangan ini, sering terjadi gempa kecil di sepanjang jalur patahan Landhi, seolah-olah bumi lagi kasih kode keras.
Karachi juga masuk dalam daftar kota dengan risiko keamanan infrastruktur tertinggi di dunia. Urbanisasi yang nggak terencana, nggak adanya zonasi dan implementasi kode bangunan, bangunan yang reyot, sistem drainase yang amburadul, dan ekstraksi air tanah berlebihan jadi penyebabnya. Ditambah lagi pemanasan laut dan cuaca ekstrem, lengkap sudah masalahnya. Forbes menyebutkan Karachi berada di urutan ke-4 kota dengan resiko keamanan infrastruktur tertinggi.
Belajar dari Jakarta: Jangan Sampai Jadi Atlantis!
Subsidence yang dialami Karachi mirip banget sama Jakarta. Studi menunjukkan urbanisasi yang nggak terencana, yang menguntungkan segelintir orang, bikin Jakarta nyaris tenggelam. Gedung-gedung tinggi dibangun di atas lahan hijau yang seharusnya jadi area resapan air.
Ekstraksi air tanah yang ugal-ugalan bikin Jakarta ambles lebih dari 17 cm per tahun. Diprediksi, sebagian besar kota ini akan tenggelam pada tahun 2050. Pemerintah Indonesia sadar akan bahaya ini dan memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Nusantara, kota baru di Kalimantan Timur dengan investasi $35 miliar. Move on itu memang kadang perlu, ya kan?
Hutan Mangrove: Tameng Alam yang Dilupakan
Hutan mangrove adalah benteng alami terkuat untuk melawan perubahan iklim dan erosi pantai. Sayangnya, menurut WWF, lebih dari 200 hektar hutan mangrove di Karachi ditebang dalam 15 tahun terakhir untuk dibangun perumahan dan bangunan komersial. Kita ini memang hobi banget ngerusak apa yang seharusnya dilindungi.
Faktor lain yang memperparah keadaan adalah penambangan ilegal pasir dan kerikil dari pantai dan sungai-sungai di Karachi. Setiap tahunnya, sekitar 8 miliar kaki kubik material ini diambil untuk industri konstruksi. Nggak ada kemauan politik untuk menindak para mafia ini. Ya ampun, kayak sinetron azab aja.
Solusi: Dari Radar Sampai Kota Spons
Untungnya, masih ada harapan. Pemerintah Pakistan mulai memasukkan Climate Budget Tagging dalam anggaran, dengan mengalokasikan 8.2% dari PSDP untuk aksi iklim. Tapi, apakah ini cukup?
Kita butuh strategi nasional yang komprehensif dan ramah lingkungan. Area rawan subsidence di Karachi harus dipantau secara berkala menggunakan Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) untuk mengukur topografi permukaan dan deformasi tanah. Bangunan bertingkat tinggi harus tunduk pada implementasi ketat kode bangunan.
Kita juga harus mengurangi ekstraksi air dan mengisi kembali air tanah. Curah hujan meningkat drastis di Pakistan, terutama di Sindh dan Balochistan. Sponge cities, dengan lahan basah, kolam, dan ruang hijau, bisa memanfaatkan air hujan ini. Aspal dan trotoar beton harus diganti dengan material permeabel yang bisa menyerap air ke dalam tanah. Ekstraksi air tanah harus dilarang di area berisiko tinggi.
Sistem drainase Karachi yang amburadul dan penuh sampah harus dipulihkan. Ekspansi Karachi yang berketahanan iklim menuju Nooriabad dan Hyderabad harus didorong dan diberi insentif, tapi dengan regulasi ketat.
Gwadar Port: Alternatif untuk Mengurangi Beban Karachi
Pelabuhan Gwadar yang sangat dinantikan adalah komponen kunci dari CPEC (China-Pakistan Economic Corridor). Meskipun sudah beroperasi secara resmi, pelabuhan ini masih belum aktif. Pengembangan infrastruktur dan upaya untuk membangun kohesi politik penting untuk menjadikan Gwadar sebagai pusat kegiatan komersial. Ini bisa mengurangi beban di Karachi yang sudah kewalahan.
Kesimpulan: Saatnya Bertindak!
Karachi adalah Atlantis yang sedang dalam proses pembuatan. Kita nggak mau kota ini benar-benar tenggelam, kan? Saatnya bertindak sekarang, mulai dari menghentikan kelambatan yang memungkinkan masalah ini terus berlanjut. Jangan sampai, suatu saat nanti, kita cuma bisa lihat Karachi di buku sejarah atau film dokumenter.