Hai kamu! Pernah nggak sih, lagi scroll TikTok terus tiba-tiba merasa "Ih, kok gue gini banget?" Jangan khawatir, kamu nggak sendirian. Dunia digital memang lagi seru-serunya "merombak" definisi cantik, dan kita semua tanpa sadar ikut dalam permainan ini. Tapi tenang, ada kok cara buat tetap asyik tanpa kehilangan diri sendiri. Mari kita selami lebih dalam.
Filter Cantik: Antara Seru dan Seram
Coba deh iseng buka TikTok, terus coba filter "bold glamor". Langsung cling! Wajah jadi super mulus, mata lebih besar, hidung lebih mancung. Ajaib, kan? Tapi, di balik keseruan itu, ada jebakan Batman yang mengintai. Filter-filter ini, secanggih apapun, bisa bikin kita merasa nggak cukup dengan apa yang sudah kita punya. Ujung-ujungnya, pengen beli produk kecantikan atau bahkan operasi plastik. Serem gak tuh?
Industri prosedur kosmetik diprediksi mencapai lebih dari $4 miliar pada tahun 2033. South Korea (Korea Selatan) telah lama menjadi yang terdepan dalam pasar ini.
The Technological Gaze: Ketika Algoritma Menilai Kecantikan
Pernah denger istilah male gaze atau female gaze? Nah, sekarang ada lagi yang namanya technological gaze, atau artificial gaze. Ini adalah bagaimana kita "berperform" untuk mesin, untuk algoritma. Kita jadi pengen melakukan apa yang paling engaging, yang paling disukai algoritma.
Intinya: Kita jadi objek proyek yang nggak ada habisnya. Kita menginternalisasi apa yang algoritma kirimkan, dan kemudian tanpa sadar menyebarkannya lagi. Mirip siklus setan, tapi versi beauty. Dan yang lebih ngeri, technological gaze ini terinspirasi juga dari male gaze, karena yang bikin platform-nya kan manusia juga. Jadi, ya…gitu deh.
Korea Selatan: Laboratorium Kecantikan Masa Depan
Korea Selatan bisa dibilang trendsetter dalam urusan kecantikan. Di sana, istilah specs (spesifikasi) nggak cuma dipakai buat komputer, tapi juga buat manusia. BMI, ukuran rambut, bahkan ukuran cup bra—semua jadi angka-angka yang harus dioptimalkan. Gile, udah kayak robot aja.
Negara ini sangat maju dalam dua teknologi penting: self-surveillance technology (budaya visual dan digital) dan self-improvement technology (modifikasi tubuh, prosedur kosmetik, filler, dll.). Mereka nggak cuma nunjukkin gimana seharusnya kita terlihat, tapi juga nawarin solusi buat "memperbaiki" diri. Marketing jenius, tapi agak nakal juga ya.
Algoritma Operasi Plastik: Cantik Versi Robot
Nggak cuma itu, dokter bedah plastik di Korea Selatan sekarang pakai algoritma buat nyaranin prosedur ke pasien. Algoritma ini dilatih dengan jutaan gambar wanita Asia, terutama K-pop idols yang dianggap sebagai puncak kecantikan.
Yang dianalisis? Jarak antar mata, rasio dahi, simetri wajah—semuanya diukur dan dihitung buat dapetin ideal median. Alhasil, kita malah terjebak dalam kesamaan, bukan perbedaan. Kecantikan jadi sesuatu yang "ilmiah", bukan sesuatu yang personal.
Globalisasi Standar Kecantikan: Campur Aduk Ideal
Karena kita semua terhubung di internet yang sama, standar kecantikan juga jadi global. Ada mixing and matching ideal dari berbagai belahan dunia. Hasilnya? Butuh banyak intervensi buat mencapai standar itu.
Frankensteining tubuh ini nggak terjadi secara alami. Butuh uang dan usaha keras. Dan inilah yang bikin industri kecantikan terus berkembang. Konsumerisme jadi bahan bakar utama.
Dari Filter ke Filler: Efek Domino Kecantikan
Media sosial bikin normalisasi operasi plastik, bahkan di kalangan anak muda. Kita jadi pengen mengubah tubuh lebih cepat, karena mengubah filter cuma butuh sekali klik. Muncul deh pikiran, "Kenapa nggak sekalian fix kerutan di dahi?"
Self-surveillance dengan selfie dan filter langsung memicu keinginan buat improve diri. Kita jadi pengen hasil yang instan, tanpa mikir panjang apa yang sebenarnya kita optimalkan.
Self-Care vs. Actual Care: Membedakan yang Asli dari yang Palsu
Ada ilusi pilihan dalam dunia kecantikan. Kita merasa berdaya karena bisa milih banyak produk dan prosedur. Padahal, pilihan kita dibatasi oleh choice architects yang ngajarin kita apa yang bisa kita pilih.
Self-care udah kehilangan makna karena terlalu sering dipakai dan dikaitkan sama konsumerisme. Kita butuh self-care yang menutrisi jiwa, bukan cuma ego. Tanya diri sendiri sebelum beli atau coba sesuatu: "Apakah ini bikin gue jadi diri gue yang lebih baik? Atau cuma buat keep up sama orang lain?"
Soul kita tahu kok bedanya. Olahraga tanpa tujuan estetik bisa jadi self-care yang sejati. Tapi, kalau kita pengen filler bibir karena teman-teman kita pada pasang, itu namanya ego-driven.
Intinya: Kita nggak harus berhenti melakukan hal-hal yang bikin kita senang. Tapi, jangan sampai penampilan jadi satu-satunya tolak ukur harga diri kita.
Masa Depan AI dan Kecantikan: Balapan Augmentasi Tubuh?
Masa depan AI dan kecantikan bikin khawatir. Kita kayak lagi balapan senjata augmentasi tubuh. Kalau kita ngejar standar cyborgian, nggak ada batasnya. Kita harus terus berubah, lebih cepat, dan selalu terlihat muda.
Kita jadi nggak biarin tubuh kita berevolusi secara alami, nggak merayakan proses penuaan yang indah. Akhirnya, kita harus kerja keras buat diri sendiri, bukan melihat perubahan kolektif dari perusahaan dan regulasi.
Pesan penting: Ingat, beauty standards itu berubah-ubah, dan sekarang lebih cepat dari sebelumnya. Siklus tren ini seringkali didesain buat mendorong konsumsi. Jadi, tanya diri sendiri: "Kenapa gue pengen coba prosedur baru? Buat jadi diri gue yang lebih baik, atau cuma buat keep up?"
Filter kecantikan ada di mana-mana. Jangan bandingkan diri lo sama orang di internet. Apa yang lo anggap cantik itu personal decision. Lo nggak perlu ikut pasar kecantikan buat merasa cantik. Dan ada keindahan dalam perbedaan.