Liburan, Selfie, dan Sengsara: Ketika Influencer Jadi Bumerang Pariwisata
Pernahkah kamu membayangkan sebuah pantai indah yang dulunya sepi, tiba-tiba dipenuhi ribuan orang hanya karena satu postingan Instagram? Itulah yang terjadi di beberapa tempat di dunia, dan efeknya… kurang asyik. Ternyata, niat baik mempromosikan destinasi wisata bisa berbalik menjadi mimpi buruk, terutama jika melibatkan influencer dan selfie culture.
Ketika Panorama Jadi Arena Foto: Dampak Buruk "Selfie Tourism"
“Selfie tourism” atau pariwisata selfie, istilah yang mungkin terdengar kekinian, ternyata menyimpan masalah serius. Bayangkan saja, sebuah lokasi yang seharusnya tenang dan alami, mendadak diserbu content creator dan pengikutnya. Tujuannya? Bukan menikmati keindahan, tapi mendapatkan foto paling Instagrammable. Ini bisa merusak lingkungan, mengganggu warga lokal, dan membuat pengalaman wisata jadi kurang menyenangkan bagi semua orang.
Di Spanyol, tepatnya di Kepulauan Balearic, pemerintah setempat sampai angkat tangan. Awalnya, mereka berharap influencer bisa mengalihkan perhatian wisatawan dari lokasi-lokasi populer ke tempat yang kurang dikenal. Harapannya sederhana: mengurangi kepadatan dan memberikan kesempatan bagi destinasi yang underappreciated untuk bersinar.
Sayangnya, strategi ini justru menjadi bumerang. Alih-alih mengurangi beban di tempat-tempat wisata yang sudah ramai, influencer justru membuat lokasi terpencil dan rentan lingkungan menjadi penuh sesak. Orang-orang datang bukan untuk menikmati alam, melainkan untuk mengambil foto, mengunggahnya ke media sosial, dan kemudian pergi, meninggalkan sampah dan kerusakan. Ironis ya?
Kisah Tragis Caló des Moro: Dari Surga Tersembunyi Menjadi Lautan Manusia
Salah satu contoh paling menyedihkan adalah Caló des Moro, sebuah teluk kecil di Mallorca yang idealnya hanya bisa menampung sekitar 100 orang. Setelah seorang influencer mempromosikannya, ribuan orang setiap hari menyerbu tempat itu. Bayangkan, sebuah surga kecil berubah menjadi lautan manusia hanya dalam semalam.
Wali kota setempat sampai menggelar konferensi pers dan memohon kepada media dan operator tur untuk tidak lagi menyebut nama teluk itu. Mereka bahkan menghapus semua gambar Caló des Moro dari situs web pemerintah. Upaya ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.
Bukan Hanya di Spanyol: Gelombang Penolakan Influencer Pariwisata
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Spanyol. Di Bali, pemerintah setempat juga mengeluhkan aksi wisatawan yang berpose telanjang di tempat-tempat suci dan memberlakukan denda besar bagi mereka yang merekam video di area tertentu. Di Vermont, Amerika Serikat, kota kecil Pomfret yang terkenal dengan pemandangan musim gugurnya, terpaksa membatasi kunjungan wisatawan selama musim gugur.
Protes terhadap dampak pariwisata massal juga semakin meningkat di seluruh Spanyol. Salah satu isu utama adalah kurangnya perumahan terjangkau, yang diperburuk oleh maraknya apartemen turis. Tahun lalu, ribuan orang turun ke jalan di berbagai kota untuk memprotes masalah ini.
Airbnb Jadi Sasaran: Menertibkan Apartemen Turis Ilegal
Pemerintah Spanyol juga menargetkan platform penyewaan apartemen turis, Airbnb. Kementerian Urusan Konsumen memerintahkan Airbnb untuk menghapus daftar 65.000 apartemen ilegal di seluruh Spanyol. Mereka bahkan mengancam denda hingga €100.000 atau enam kali lipat dari keuntungan yang diperoleh dari apartemen ilegal tersebut.
Airbnb sendiri menyatakan akan terus mengajukan banding dan mengkritik "metodologi tidak pandang bulu" dari kementerian. Mereka berargumen bahwa tidak semua iklan di Airbnb memerlukan nomor registrasi. Drama banget, ya? Tapi ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menertibkan sektor pariwisata.
Solusi? Lebih Dari Sekadar Menyalahkan Influencer
Lalu, apa solusinya? Apakah kita harus menyalahkan influencer sepenuhnya? Tentu tidak sesederhana itu. Masalah ini lebih kompleks dan melibatkan berbagai faktor, mulai dari kurangnya perencanaan tata ruang hingga kurangnya kesadaran wisatawan.
Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan:
- Promosi Pariwisata yang Bertanggung Jawab: Pemerintah dan stakeholder pariwisata harus lebih selektif dalam mempromosikan destinasi. Fokuslah pada pariwisata berkelanjutan yang menghormati lingkungan dan budaya lokal.
- Edukasi Wisatawan: Tingkatkan kesadaran wisatawan tentang dampak negatif pariwisata massal dan pentingnya berperilaku bertanggung jawab.
- Tata Ruang yang Lebih Baik: Pemerintah daerah harus memiliki rencana tata ruang yang jelas dan tegas untuk mengendalikan pembangunan dan memastikan keberlanjutan lingkungan.
- Pembatasan Akses: Di beberapa lokasi yang sangat rentan, pembatasan akses mungkin diperlukan untuk melindungi lingkungan.
Liburan Asyik Tanpa Merusak Bumi: Bisakah?
Intinya, kita semua punya peran dalam menjaga keberlangsungan pariwisata. Sebagai wisatawan, kita harus lebih sadar akan dampak dari setiap tindakan kita. Pilihlah destinasi yang berkelanjutan, hormati budaya lokal, dan jangan meninggalkan sampah. Sebagai influencer, gunakanlah kekuatanmu untuk menginspirasi orang lain untuk berwisata secara bertanggung jawab.
Pada akhirnya, liburan itu seharusnya menyenangkan, bukan hanya bagi kita, tapi juga bagi lingkungan dan masyarakat setempat. Jangan sampai selfie kita merusak keindahan yang seharusnya kita nikmati bersama. Jadilah wisatawan yang cerdas dan bertanggung jawab, agar generasi mendatang juga bisa merasakan keajaiban dunia ini. Setuju, kan?