Bali Memanas: Bingin Beach Digusur, Salah Siapa?
Bali, pulau dewata yang katanya selalu damai, kembali bergejolak. Kali ini, bukan soal macetnya jalanan Kuta di musim liburan, tapi tentang penggusuran puluhan bangunan di Bingin Beach, Uluwatu. Kabarnya, lebih dari 40 bisnis rata dengan tanah. Ironis, mengingat Bingin adalah salah satu spot favorit para peselancar dan turis. Kenapa bisa begini? Apakah ini hanya masalah hukum, atau ada udang di balik batu (karang)?
Bingin Beach dan Sejarah Singkatnya
Dulu, Bingin hanyalah perkampungan kecil di kaki tebing curam, sekitar tahun 1970-an. Awalnya cuma ada beberapa warung sederhana dan penginapan murah meriah buat para peselancar. Seiring waktu, tempat ini berkembang jadi pusat kegiatan wisata dengan toko selancar, restoran, dan hotel kecil yang berjejeran. Akses ke pantai pun cukup menantang, hanya bisa lewat tangga sempit karena lokasinya yang terjal. Instagramable sih, tapi nafas juga ngos-ngosan.
Pertumbuhan Bingin yang pesat ini menarik perhatian lebih banyak turis, dengan harga kamar mencapai ratusan dolar AS per malam. Namun, setelah lebih dari 50 tahun berkembang, DPRD Bali memutuskan bahwa bangunan-bangunan di sana ilegal karena berdiri di atas tanah negara. Alhasil, perintah penggusuran pun dikeluarkan. Padahal, sebagian besar bisnis di sana dimiliki oleh warga lokal, dan mata pencaharian mereka terancam. Hmmm, kayak sinetron aja ya?
Salahkah Pembangunan Informal?
Banyak yang bilang, pembangunan di Bingin itu nggak terencana dan illegal. Tapi, coba kita lihat dari sudut pandang lain. Pembangunan informal seringkali jadi cara bagi masyarakat untuk menyediakan perumahan yang terjangkau. Bahkan, ini adalah bentuk perumahan tradisional di banyak negara. Daripada main gusur, mending cari solusi yang lebih berkelanjutan, seperti memformalkan dan meningkatkan kualitas bangunan yang ada.
Ketika “Formal” Lebih Merusak
Ironisnya, justru pembangunan “formal” di sekitar Bingin yang justru menimbulkan masalah baru. Di bagian atas tebing, banyak hotel dan vila mewah bermunculan sejak tahun 2010. Meskipun legal, pembangunan ini juga nggak terencana dengan baik. Jalanan sempit, nggak ada trotoar, dan pejalan kaki harus berjuang untuk lewat. Infrastruktur jalan pun berliku-liku dan nggak ramah pejalan kaki. Belum lagi, banyak rambu “tidak ada akses ke pantai lewat sini”. Lost in Bali, literally.
Bingin Digusur: Demi Investasi atau Penghidupan Warga?
Pertanyaannya sekarang, kenapa Bingin harus digusur? Apakah ini semata-mata soal penegakan hukum, atau ada kepentingan lain di baliknya? Banyak yang menduga, penggusuran ini bertujuan untuk membuka lahan bagi resort mewah. Istilah kerennya, “accumulation by dispossession”. Bingin memang dianggap sebagai lahan investasi properti yang menggiurkan. Jadi, apakah penggusuran ini demi investasi, atau demi kesejahteraan warga lokal?
Overdevelopment: Ancaman Nyata Bagi Bingin
Salah satu bahaya dari pembangunan informal adalah overdevelopment. Tanpa adanya aturan tata ruang yang jelas, kepadatan bangunan bisa merusak daya tarik utama suatu wilayah. Di Bingin, sebagian besar bangunan memiliki dua hingga empat lantai dan mengikuti kemiringan tebing. Tapi, ada satu pengecualian: Hotel Morabito Art Cliff yang menjulang lebih dari enam lantai.
Kehadiran Morabito Art Cliff ini dianggap mengganggu pemandangan alam, menghalangi view, dan membuka preseden bagi pembangunan serupa di masa depan. Jika semua bangunan di Bingin setinggi itu, tempat ini akan berubah jadi tebing beton yang nggak menarik lagi. Jadi, daripada menggusur seluruh bangunan di Bingin, mungkin lebih baik menertibkan bangunan yang melanggar aturan dan membatasi ketinggian bangunan. Ini adalah cara yang lebih bijak untuk menjaga keberlanjutan Bingin.
Pelajaran dari Impossibles: Jangan Sampai Terulang!
Beberapa ratus meter di barat daya Bingin, ada pantai lain bernama Impossibles. Di sana, tebing kapur yang curam membuat akses ke pantai sangat sulit. Dulu, di atas tebing ini berdiri deretan penginapan sederhana. Tapi sekarang, penginapan-penginapan itu digusur dan digantikan dengan resort yang lebih besar dan padat sebagai bagian dari proyek Amali.
Ironisnya, proyek Amali ini justru merusak lingkungan. Setengah dari tebing setinggi 50 meter itu digali untuk membangun vila. Akibatnya, pada Mei 2024, sebagian besar tebing alami runtuh ke pantai dan laut. Ini sih, bukan membangun, tapi menghancurkan.
Selamatkan Bingin, Sadarlah dari Mimpi Mustahil!
Bingin dan Impossibles adalah dua contoh pembangunan yang sangat berbeda. Bingin tumbuh secara bertahap, nggak teratur, tapi selaras dengan lingkungan dan sosial. Sementara itu, proyek Amali besar-besaran dan merusak lingkungan. Sangat nggak masuk akal jika Bingin digusur demi memberi jalan bagi proyek seperti Amali.
Penting banget untuk nggak hanya menyelamatkan Bingin, yang merupakan bagian dari warisan selancar Bali, tapi juga menyadarkan kita dari mimpi mustahil untuk membangun lebih banyak vila di pesisir yang rapuh dan terbatas ini. Bali itu indah karena alamnya, bukan karena betonnya.
Intinya: Jangan Sampai Hilang Arah
Penggusuran Bingin Beach adalah wake-up call bagi kita semua. Pembangunan nggak boleh hanya berorientasi pada keuntungan semata, tapi juga harus memperhatikan lingkungan, sosial, dan budaya lokal. Jangan sampai demi mengejar mimpi investasi, kita malah kehilangan identitas dan keindahan Bali. Ingat, Bali itu nggak cuma sunset dan beach club, tapi juga keramahan warga dan keunikan budayanya. Jangan sampai kita kehilangan arah.