Mungkin kamu pernah membayangkan, mendarat langsung di Bali Utara, menghindari macetnya Kuta dan Seminyak. Bayangan liburan yang smooth tanpa drama? Nah, ternyata mewujudkan bandara di sana masih butuh perjuangan ekstra.
Indonesia memang kaya akan potensi wisata, khususnya Bali. Namun, kepadatan di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai semakin menjadi perhatian. Itulah mengapa ide Bandara Bali Utara mencuat sebagai solusi untuk mengurangi beban bandara yang sudah ada. Konsepnya sih, membagi keramaian dan membuka akses lebih luas ke keindahan Bali bagian utara yang seringkali underestimated.
Proyek ambisius ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di seluruh pulau Bali. Selama ini, pembangunan cenderung terpusat di Bali Selatan, membuat Bali Utara seolah tertinggal. Bandara baru diharapkan dapat menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja di wilayah tersebut. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat bisa meningkat secara signifikan.
Ide ini bukan barang baru. Sejak lama, Pemerintah Provinsi Bali sudah mengajukan proposal lokasi Bandara Bali Utara ke Kementerian Perhubungan. Namun, sampai saat ini, titik terang belum sepenuhnya muncul.
Salah satu kendala utama adalah penetapan lokasi yang belum final. Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Endah Purnama Sari, meski proposal sudah diajukan, belum ada keputusan resmi terkait lokasi. Ini artinya, mimpi untuk landing langsung di Singaraja masih butuh sedikit kesabaran.
Menurut Undang-Undang No. 1/2009, kewenangan penentuan lokasi bandara ada di tangan Menteri Perhubungan. Artinya, semua keputusan penting terkait Bandara Bali Utara harus melewati meja Menteri terlebih dahulu. Proses ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 55/2023.
Prosesnya pun tidak semudah membalikkan pancake. Ada sederet dokumen pendukung yang harus dipenuhi. Mulai dari studi kelayakan yang mendalam, tinjauan rencana induk bandara, hingga surat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota setempat. Semua ini diperlukan untuk memastikan bahwa lokasi yang dipilih benar-benar sesuai dan tidak bertentangan dengan tata ruang wilayah.
Bandara Bali Utara: Mimpi atau Kenyataan?
Pembangunan Bandara Bali Utara diproyeksikan menelan investasi sekitar Rp 50 triliun dengan luas lahan 500 hektar. Angka yang fantastis, bukan? Dana sebesar ini menunjukkan betapa seriusnya rencana ini, namun juga menandakan kompleksitas tantangan yang harus dihadapi. Investasi besar ini bukan hanya sekadar urusan uang, tapi juga menyangkut dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang harus dipertimbangkan secara matang.
Selain masalah lokasi, dokumen pendukung juga memegang peranan krusial. Pemerintah daerah harus memberikan jaminan bahwa mereka akan mengamankan dan mengendalikan penggunaan lahan di sekitar bandara sesuai dengan zona keselamatan dan operasional. Lalu, pihak pengusul juga harus memberikan pernyataan komitmen untuk menyediakan lahan yang dibutuhkan. Semua ini menunjukkan betapa complicated-nya proses perizinan di Indonesia, tapi tujuannya jelas: memastikan semuanya berjalan sesuai aturan.
Kepatuhan terhadap regulasi menjadi kunci utama. Endah Purnama Sari menegaskan bahwa siapapun yang akan membangun bandara ini nantinya, harus mengikuti prosedur yang berlaku. Tidak ada jalan pintas, tidak ada shortcut. Semuanya harus transparan dan akuntabel. Ini penting untuk menghindari masalah di kemudian hari, seperti sengketa lahan atau dampak lingkungan yang merugikan.
Mengurai Benang Kusut Rencana Bandara
Warga Buleleng, Bali Utara, terus menantikan kejelasan proyek ini. Mereka ingin tahu kapan mimpi memiliki bandara sendiri akan menjadi kenyataan. PT BIBU, yang sejak lama digadang-gadang sebagai pengembang, juga terus berupaya untuk mewujudkan proyek ini. Kehadiran bandara diharapkan dapat mengubah wajah Bali Utara menjadi lebih modern dan maju.
Putu Rumawan Salain, seorang ahli tata ruang dan pengembangan perkotaan dari Universitas Udayana, menekankan pentingnya menyajikan rencana pembangunan yang terintegrasi dan terhubung. Ia mengingatkan bahwa proyek Bandara Bali Utara harus selaras dengan infrastruktur dan ekosistem ekonomi Bali Selatan. Jangan sampai, bandara baru justru menimbulkan masalah baru, seperti kesenjangan ekonomi yang semakin lebar.
Studi Kelayakan yang Tidak Boleh Asal-Asalan
Menurut Putu Rumawan Salain, semua aspek pembangunan bandara harus terukur dengan studi kelayakan yang jelas dan komprehensif. Tidak boleh ada yang terburu-buru atau ceroboh. Membangun bandara bukan hanya soal mendirikan landasan pacu dan terminal, tapi juga soal merencanakan konektivitas, mengelola dampak lingkungan, dan memastikan keberlanjutan ekonomi. Ini bukan sekadar proyek infrastruktur, tapi investasi jangka panjang yang harus dipikirkan masak-masak.
Integrasi dengan Bali Selatan sangat penting. Jangan sampai Bandara Bali Utara malah menjadi pesaing Bandara Ngurah Rai. Sebaliknya, kedua bandara harus saling melengkapi dan mendukung. Misalnya, Bandara Bali Utara bisa fokus melayani penerbangan domestik dan regional, sementara Bandara Ngurah Rai tetap menjadi hub internasional utama. Dengan demikian, beban Bandara Ngurah Rai bisa berkurang, dan Bali Utara pun bisa berkembang pesat.
Jangan Sampai Jadi Proyek Mangkrak!
Intinya, pembangunan Bandara Bali Utara masih membutuhkan proses yang panjang dan kompleks. Dari penetapan lokasi hingga studi kelayakan, semua harus dilakukan secara cermat dan transparan. Jangan sampai proyek ini menjadi mangkrak di tengah jalan, seperti banyak proyek infrastruktur lainnya di Indonesia. Dengan perencanaan yang matang dan komitmen yang kuat dari semua pihak, mimpi memiliki bandara di Bali Utara bisa menjadi kenyataan, membawa manfaat bagi seluruh masyarakat Bali.
Bandara Bali Utara: sebuah harapan yang belum sepenuhnya terwujud. Kita tunggu saja update selanjutnya, sambil berharap semoga perizinannya tidak lebih rumit dari mencari parkir di Kuta saat high season.