Giles Martin: Ketika Nostalgia The Beatles Disulap Jadi Karya Megah, Sampai Dapat Nominasi Emmy Lagi!
Mungkin banyak yang berpikir, memulihkan penampilan The Beatles itu semudah memutar piringan hitam lama, tapi versi modern. Padahal, bagi seorang Giles Martin, proses ini sama saja dengan menggali harta karun di situs arkeologi Pompeii, di mana setiap debu adalah petunjuk berharga dan setiap sentuhan bisa jadi bencana. Tak heran jika kerja kerasnya yang “tak terlihat” ini kini kembali diakui, bahkan sampai nominasi Emmy ketiga untuk tata suara atas karyanya di dokumenter Beatles ’64.
Sang “Pewaris Takhta” di Balik Magis The Beatles
Bagi para penikmat musik, nama Giles Martin mungkin sudah tidak asing lagi. Putra dari George Martin, sang “Fifth Beatle” legendaris, ini memang seolah ditakdirkan untuk melanjutkan warisan musikal Ayahnya. Selama hampir dua dekade, Giles telah bergelut dengan materi Fab Four, mulai dari mengawasi musik untuk pertunjukan Cirque du Soleil Love pada tahun 2006 bersama sang Ayah, hingga memproduksi edisi ulang tahun album-album ikonik dan yang paling baru, “lagu terakhir The Beatles”, “Now and Then”, di tahun 2023. Perjalanan panjang ini menjadikannya salah satu sosok paling krusial dalam menjaga nyala api musikal band legendaris tersebut.
Kini, Martin kembali mencuri perhatian dengan nominasi Emmy ketiganya untuk tata suara, berkat kontribusinya dalam dokumenter Beatles ’64. Ini bukan kali pertama ia merasakan panggung penghargaan bergengsi tersebut; pada tahun 2022, ia berhasil membawa pulang piala Emmy untuk karyanya di The Beatles: Get Back. Nominasi terbaru ini, bagi Martin, adalah perpaduan antara rasa bangga dan terkejut, mengingat betapa ekstremnya tantangan teknis yang harus ia hadapi dalam proyek arsip Beatles kali ini.
Menurut Martin, materi audio yang digunakan dalam Beatles ’64 berada dalam kondisi yang sangat, sangat buruk. Ia bahkan menggambarkan kualitasnya sebagai “begitu jelek” sehingga membutuhkan upaya ekstra keras agar dapat didengarkan dengan nyaman oleh publik. “Fakta bahwa pekerjaan ini diakui saja sudah merupakan kejutan dan kehormatan besar,” ujarnya, seolah masih tidak percaya bahwa tumpukan data suara yang awalnya mirip kaset kusut bisa berujung di karpet merah Emmy.
Menguak Rahasia Suara 60 Tahun Lalu dengan AI Canggih
Proses “penyembuhan” audio di Beatles ’64 tidak dilakukan dengan cara konvensional. Martin memanfaatkan teknologi machine-assisted learning yang sama, yang sebelumnya menjadi tulang punggung keberhasilan film Peter Jackson Get Back dan single “Now and Then”. Teknologi ini memungkinkan Martin untuk menyelam ke dalam rekaman konser live berusia 60 tahun dari era Beatlemania awal, lalu dengan sabar mengekstraksi “batang” suara individu.
Bayangkan saja, mesin canggih ini mampu memisahkan suara drum Ringo Starr yang booming dari vokal John Lennon yang ikonik, lalu memperbaikinya tanpa sedikit pun menghilangkan esensi otentik dari suara asli mereka. Ini bukan sekadar remastering, melainkan seperti operasi bedah mikro pada gelombang suara yang terfragmentasi oleh waktu. Hasilnya adalah kualitas audio yang jernih, seolah-olah penonton sedang berada di konser tersebut pada tahun 1964.
Martin mengungkapkan bahwa pekerjaan seperti ini mustahil dilakukan hanya dua tahun lalu, sebelum timnya berkolaborasi dengan tim Peter Jackson untuk Get Back. “Ini sedikit seperti mengetahui ada artefak menakjubkan di bawah tanah di Pompeii, lalu memindainya dan melihat apakah Anda bisa membawanya ke permukaan,” jelas Martin, menggambarkan betapa revolusionernya teknologi yang mereka gunakan. Metfora ini sungguh pas, mengingat bagaimana mereka “menggali” dan merevitalisasi peninggalan audio yang sempat terkubur oleh zaman.
Menjadi Mesin Waktu yang Sedikit “Ngeri”
Martin bahkan menyamakan pekerjaannya dengan melakukan perjalanan waktu, menyebut prosesnya “fascinasi” sekaligus “agak ngeri”. Ia mengingat sebuah momen ketika ia sedang memulihkan vokal John Lennon dari konser mereka di Washington, D.C., pada tahun 1964 di Washington Coliseum. “Saya berpikir dalam hati, ‘Ini sedikit tidak wajar karena vokal yang saya dengar ini hanya bisa ada jika Anda berada tepat di sebelah mulutnya hari itu’,” kenangnya. Sensasi ini menunjukkan betapa imersifnya pengalaman bekerja dengan suara yang begitu intim dan berusia puluhan tahun.
Ia menegaskan bahwa pekerjaan restorasi arsip semacam ini “harus dilakukan karena suatu alasan,” mengingat tanggung jawab besar yang menyertainya. Tujuannya bukan sekadar membuat suara terdengar lebih baik, tetapi untuk menyajikan pengalaman otentik The Beatles kepada generasi baru tanpa distorsi. Tanggung jawab ini bukanlah beban, melainkan sebuah kehormatan untuk menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Secara keseluruhan, tujuan akhir dari sentuhan Giles Martin adalah membuat audiens tidak menyadari bahwa ada pekerjaan besar yang dilakukan. Ia ingin sentuhannya sangat halus, nyaris tak terasa, agar fokus utama tetap pada musik itu sendiri, bukan pada keahlian teknisnya. “Jika saya memutar mix yang sudah saya kerjakan, hal terakhir yang saya inginkan adalah Anda memikirkan bagaimana mix saya, bahwa kedengarannya seperti saya — itulah tandanya jika pekerjaan tidak dilakukan dengan benar,” ujarnya. Martin hanya ingin pendengar “memikirkan bagaimana lagu itu membuat Anda merasa.” Dengan demikian, ia memastikan bahwa keajaiban The Beatles tetap utuh, tanpa terdistorsi oleh campur tangan modern yang berlebihan.