Dark Mode Light Mode

‘Before the Future’ Rebecca Schiffman: Permata Tersembunyi tentang Kekacauan Masa Dewasa

Hai, Gen Z dan Millennials! Pernah nggak sih merasa hidup ini kayak scrolling endless feed media sosial? Banyak banget yang lewat, tapi kadang nggak ada yang benar-benar click? Nah, sama kayaknya sama album baru Rebecca Schiffman, “Before the Future,” tapi tunggu dulu, jangan langsung swipe left!

Musik indie-pop memang identik dengan anak muda, tapi jangan salah, Schiffman bukan lagi anak bawang. Dengan pengalaman dua dekade di kancah musik New York, album keempatnya ini justru menyelami masalah-masalah orang dewasa dengan cara yang sly dan jujur. Ibarat buka kotak foto lama, Schiffman menceritakan kisah hidupnya dengan gaya yang deadpan, tapi justru bikin kita merasa dekat.

Dari Manhattan ke LA: Melukis Kehidupan dengan Lagu

Sebagai mantan hipster Manhattan yang kini menetap di Los Angeles, Schiffman menyajikan vignette kehidupan sehari-hari yang relatable. Mulai dari duka, asmara, sampai urusan parenting, semuanya dirangkum dalam lagu-lagu yang menawan. Ini adalah cerita tentang menjalani masa dewasa dengan segudang kenangan yang kadang bikin nggak tenang. Solusinya? Ya, diterjemahkan jadi lagu, biar punya tempat untuk pulang.

Pengaruh anti-folk dari artis seperti Jeffrey Lewis dan Moldy Peaches terasa kental di musiknya. Tapi, ada juga sentuhan keintiman dari Softies atau Marine Girls. Kombinasi yang unik, kan? Coba dengar “Bubble of Love,” lagu pop rush ala Liz Phair yang menceritakan nafsu di usia 30-an. Ada kegelisahan neurotik, tapi juga ada sikap cuek, “When things go badly I can objectify you, like an ancient Roman sculpture in my room.” Relatable banget, kan?

Di Balik Layar: Kolaborasi Ciamik

Album ini digarap bersama kolaborator dan produser tamu keren seperti Chris Cohen dari Deerhoof, Tim Carr dari Perfume Genius, Sasami, dan Luke Temple. Salah satu yang paling pick-to-click adalah “Little Mr. Civility,” lagu tentang parenthood yang cerdas dan menghangatkan hati. Schiffman bernyanyi tentang kejutan-kejutan dalam membesarkan seorang anak laki-laki, bahkan berdebat soal Lightning McQueen dengan balita! “Let sunlight in through your long eyelashes,” lantunnya. “I wish I had long eyelashes too/It’s funny all my life I’ve been seeking the obliteration of meaning/But here you are, Little Mr. Civility.” Ini adalah lagu yang sangat menyentuh tanpa terasa cheesy.

Selain itu, ada juga “Rudy’s Song,” sebuah tribut lembut untuk anjingnya yang telah tiada. Ini adalah salah satu dari sekian banyak hubungan yang rumit dalam album ini. Schiffman mengaku sering bergulat dengan hal-hal tertentu, seperti memelihara anjing. “I had never had a dog before I met my husband. And then suddenly I’m presented with all these ethical dilemmas…” Ini juga berlaku untuk menjadi ibu. “‘Uh-oh, I didn’t know I was going to have to think about explaining to him that this toy belongs to someone else.’ How is everybody dealing with this where I’m just having an internal moral crisis — ‘Oh my God, I am corrupting him with these things from our culture?'” Deep banget, ya?

Kisah di Balik Lagu: Inspirasi dan Proses Kreatif

Sebagai seorang pelukis dan perajin perhiasan, Schiffman membawa sensibilitas artistik itu ke dalam cerita-cerita yang ia amati dengan cermat di “Before the Future.” Judul lagu album ini adalah pengakuan mendalam selama 10 menit tentang kehilangan, meratapi seorang teman dari masa remajanya. “I was super into Jawbreaker,” kenangnya. “The guy who ‘Before the Future’ is about — his favorite band was Jawbreaker, and he put them on a mix for me.” Band punk lain seperti Rancid, Operation Ivy, dan the Clash menginspirasinya untuk mulai menulis lagu sendiri sejak kecil. “I had this four-track, and I had SO much patience back then in high school,” katanya. Menemukan kembali fokus itu sebagai orang dewasa ternyata berbeda. “I had a six-month-old at home. I remember when we were first tracking, I would have to go home to breastfeed every two hours.” It’s a real struggle, tapi hasilnya patut diacungi jempol.

Rebecca Schiffman: Merangkul Ketidaksempurnaan dengan Musik

“Beach Vacation” adalah refleksi synth-pop yang cerah tentang kenangan masa kecilnya sebagai gadis kecil yang morbid, menatap laut dan memikirkan kematian, lalu berbelok ke wilayah Depeche Mode awal saat ia bernyanyi, “Who knew that this was the most ‘now’ now would ever feel?” Di seluruh album “Before the Future,” ia terus berusaha mencari tahu kebutuhan obsesifnya untuk meragukan diri sendiri dan menganalisis setiap langkah yang ia ambil. Seperti yang ia nyanyikan di “Bubble of Love,” “Why do I poke at things that aren’t broken?” Pertanyaan yang bagus. Tapi, justru itulah cara lagu-lagu hebat seperti ini tercipta.

Introspeksi Musikal: Mengapa Harus Mendengarkan?

Kenapa sih kita harus mendengarkan album ini? Karena “Before the Future” bukan cuma sekadar kumpulan lagu indie-pop biasa. Ini adalah refleksi yang jujur tentang kehidupan, cinta, kehilangan, dan semua kerumitan di antaranya. Schiffman nggak berusaha untuk terlihat sempurna atau sok bijak. Ia cuma menceritakan pengalamannya dengan cara yang relatable, witty, dan kadang sedikit absurd.

Musik yang Menginspirasi: Lebih dari Sekadar Melodi

Lagu-lagu Schiffman bukan cuma enak didengar, tapi juga bisa bikin kita berpikir. Ia nggak takut untuk membahas topik-topik yang sulit, seperti kematian, kehilangan, dan kegelisahan eksistensial. Tapi, ia juga nggak melupakan humor dan harapan. Ini adalah album yang bisa menemani kita saat lagi senang, sedih, atau sekadar butuh teman untuk merenung.

“Before the Future”: Album yang Menantang dan Memuaskan

Meskipun mungkin nggak langsung catchy di pendengaran pertama, “Before the Future” adalah album yang akan terus tumbuh seiring waktu. Semakin sering kita mendengarkannya, semakin banyak lapisan makna yang akan kita temukan. Ini adalah album yang menantang, memuaskan, dan yang pasti, akan bikin kita berpikir.

Jadi, Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Rebecca Schiffman membuktikan bahwa musik indie-pop nggak harus selalu tentang cinta monyet dan patah hati. Musik juga bisa jadi sarana untuk merenungkan kehidupan, menghadapi ketakutan, dan merayakan keanehan kita. “Before the Future” adalah pengingat bahwa nggak apa-apa kalau kita nggak sempurna, nggak apa-apa kalau kita merasa bingung, dan nggak apa-apa kalau kita sesekali ingin berdebat soal Lightning McQueen dengan balita. Just be yourself, and embrace the chaos!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Matilda Djerf Bertunangan dengan Rasmus Johansson: Masa Depan Cerah Menanti

Next Post

Panduan Grounded 2: Cara Efektif Mendapatkan Komponen Semut Merah