Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Jugband Blues: Ayah Penulis Surat Kabar Terkejut Jadi Bagian dari ‘Sonic Mayhem’ Pink Floyd

Wolves: Hardcore Inggris yang Menggebrak Batas dengan Mathcore dan Melodi

Bendungan Cina Mengancam Kera Paling Terancam Punah di Dunia

Siapa sangka, di tengah hiruk pikuk pembangunan dan FOMO global, masih ada spesies kera besar yang baru ditemukan di abad ke-21? Bayangkan, kita sibuk scroll TikTok, sementara ada tim ilmuwan yang lagi struggle nyari orangutan di pelosok Sumatra, literally kayak nyari jarum dalam jerami. Tapi, penantian mereka nggak sia-sia, guys. Mereka nemuin spesies baru, namanya Orangutan Tapanuli, si kera eksklusif dari Sumatra Utara.

Namun, penemuan ini bukan akhir dari cerita. Justru, ini adalah awal dari perjuangan panjang untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan. Ironisnya, ancaman terbesar bagi spesies yang baru ditemukan ini datang dari proyek yang katanya “hijau”: Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru. Proyek ini, yang didukung oleh investasi dari Tiongkok, jadi plot twist yang bikin kita bertanya-tanya, “Apa bener renewable energy selalu sustainable?”

Energi Bersih, Harga Kotor: PLTA Batang Toru dan Nasib Orangutan Tapanuli

Sumatra, dulunya adalah hamparan hutan hujan tropis yang luas, rumah bagi berbagai satwa liar, termasuk harimau Sumatra, badak, dan tentu saja, orangutan. Sejak awal abad ke-20, pembukaan lahan untuk perkebunan karet, tembakau, dan kopi oleh koloni Belanda telah mengubah lanskap ini secara dramatis. Namun, laju deforestasi mencapai puncaknya pada akhir abad ke-20, menyebabkan hilangnya habitat yang signifikan bagi banyak spesies.

Dari tahun 1985 hingga 2007, hampir setengah dari hutan Sumatra lenyap. Akibatnya, populasi mamalia besar, termasuk orangutan Sumatra, terdesak ke wilayah utara pulau itu. Kabar tentang adanya kelompok orangutan yang terisolasi di selatan memicu ekspedisi oleh para ilmuwan seperti Serge Wich, seorang profesor biologi primata di Liverpool John Moores University.

Penemuan Orangutan Tapanuli pada tahun 2017 mengejutkan dunia ilmiah. Dengan populasi kurang dari 800 individu, kera besar ini menjadi spesies yang paling terancam punah. Habitat mereka yang terbatas, terletak di hutan pegunungan seluas Los Angeles, menghadapi berbagai ancaman, mulai dari pertambangan emas hingga perkebunan kelapa sawit dan perburuan.

Ironisnya, ancaman terbesar bagi Orangutan Tapanuli justru datang dari proyek PLTA Batang Toru, yang dibangun di tengah-tengah habitat mereka. PLTA ini dirancang untuk memasok listrik ke Sumatra Utara tanpa membakar bahan bakar fosil. Namun, para ilmuwan khawatir proyek ini akan memecah populasi orangutan dan mempercepat kepunahan mereka.

Proyek ini didanai oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok dan Indonesia, serta dibangun oleh perusahaan milik negara Tiongkok. PLTA Batang Toru merupakan bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok, sebuah program investasi infrastruktur global yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan kerja sama ekonomi antara Tiongkok dan negara-negara lain.

Si “Orang Hutan” di Tengah Pusaran Proyek Infrastruktur Global

Orangutan Tapanuli, atau Pongo tapanuliensis, adalah spesies kera besar yang unik, dengan ciri-ciri fisik dan genetik yang berbeda dari orangutan Sumatra dan Kalimantan. Rambut mereka lebih keriting, dan panggilan pejantannya juga berbeda. Jumlah mereka sangat sedikit, menjadikannya spesies kera besar yang paling terancam punah di dunia. Kalau dihitung-hitung, jumlah mereka mungkin nggak jauh beda sama jumlah followers selebgram indie.

Habitat Orangutan Tapanuli terletak di ekosistem Batang Toru, sebuah kawasan hutan pegunungan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Di sini, kita bisa nemuin kadal tanpa kaki berwarna merah tua, tupai kerdil yang menggemaskan, katak kerdil ungu, dan berbagai spesies flora dan fauna langka lainnya. Ekosistem ini menjadi rumah bagi setidaknya 91 spesies mamalia, ratusan jenis burung, reptil, dan amfibi, serta lebih dari 1.000 spesies tumbuhan.

PLTA Batang Toru akan mengalihkan sebagian aliran sungai Batang Toru ke dalam waduk seluas 222 hektar, yang akan terhubung melalui terowongan sepanjang 13 kilometer ke stasiun pembangkit listrik di hilir. Selain itu, akan dibangun jalan baru sepanjang 19 kilometer dan jalur transmisi listrik sepanjang 14 kilometer, yang akan semakin memecah habitat orangutan.

Para ilmuwan khawatir bahwa PLTA ini akan mengisolasi kelompok-kelompok Orangutan Tapanuli dan memicu kepunahan mereka. Studi menunjukkan bahwa bendungan tersebut dapat memisahkan subkelompok Tapanuli dan mendorong dua subkelompok yang lebih kecil, dengan kurang dari 200 individu secara kolektif, “ke status yang tidak layak.”

Ketika Aktivis dan Ilmuwan Jadi Target: Ancaman di Balik Layar Pembangunan

Upaya untuk melindungi Orangutan Tapanuli tidaklah mudah. Para aktivis dan ilmuwan yang menentang pembangunan PLTA Batang Toru menghadapi berbagai tekanan dan intimidasi. Aktivis lokal menerima panggilan dan pesan teks berisi ancaman dari nomor tidak dikenal. Beberapa di antaranya bahkan diinterogasi oleh polisi.

Dua ilmuwan asing yang bekerja dengan kelompok konservasi Swiss di Sumatra diberhentikan dari jabatannya setelah vokal menentang proyek tersebut. Mereka dianggap terlalu konfrontatif dan mengganggu hubungan dengan pemerintah. Padahal, guys, tugas ilmuwan kan emang buat nyari fakta dan ngasih warning kalau ada yang nggak beres, kan?

Pada Oktober 2019, Golfrid Siregar, seorang manajer hukum di WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Sumatra Utara, ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri dan terluka parah. Ia meninggal dunia tiga hari kemudian. Polisi menyatakan penyebab kematiannya adalah kecelakaan sepeda motor, tetapi banyak pihak meragukan hasil penyelidikan tersebut.

Kematian Golfrid memicu kecaman internasional dan seruan untuk penyelidikan independen. Amnesty International mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, menyerukan agar dilakukan penyelidikan menyeluruh atas kematian Golfrid dan serangan terhadap aktivis lingkungan lainnya.

Antara Energi Terbarukan dan Keberlanjutan: Bisakah Kita Mendapatkan Keduanya?

Kontroversi seputar PLTA Batang Toru menimbulkan pertanyaan penting tentang keberlanjutan energi terbarukan. Apakah kita bisa mendapatkan energi bersih tanpa mengorbankan keanekaragaman hayati dan hak-hak masyarakat lokal? Jawabannya, tentu saja bisa, tapi butuh komitmen yang kuat dari semua pihak.

PLTA Batang Toru awalnya didanai oleh Bank of China, namun bank tersebut menarik pendanaannya pada tahun 2019 setelah mendapat tekanan dari kelompok lingkungan. Namun, proyek tersebut kemudian dilanjutkan oleh SDIC Power Holdings, anak perusahaan dari State Development and Investment Corp., sebuah perusahaan milik negara Tiongkok.

Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), sebuah kelompok konservasi Sumatra, awalnya menentang PLTA Batang Toru, tetapi kemudian mengubah posisinya pada tahun 2020. YEL berpikir bahwa mereka dapat memainkan peran yang lebih konstruktif dengan bekerja sama dengan pemerintah dan perusahaan.

YEL berfokus pada pembentukan koridor lindung yang akan memungkinkan orangutan untuk melewati habitat yang terisolasi. Namun, lokasi konstruksi bendungan dan waduk berada di dalam koridor yang diusulkan tersebut. Ironis, kan?

Harapan di Tengah Ketidakpastian: Masa Depan Orangutan Tapanuli

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, harapan untuk menyelamatkan Orangutan Tapanuli masih ada. Kunci utama adalah kerja sama antara semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, ilmuwan, aktivis, dan masyarakat lokal.

Pemerintah perlu memperketat regulasi lingkungan dan memastikan bahwa semua proyek pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan dampak terhadap keanekaragaman hayati. Perusahaan perlu menerapkan praktik-praktik berkelanjutan dan melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan.

Ilmuwan dan aktivis perlu terus melakukan penelitian dan advokasi untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya melindungi Orangutan Tapanuli. Masyarakat lokal perlu dilibatkan dalam upaya konservasi dan diberikan alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan.

“Masalah saat ini bagi orangutan Tapanuli adalah kurangnya kolaborasi antara semua aktor di sana,” kata Wich. “Tidak ada rencana aksi untuk spesies ini berdasarkan pengetahuan terbaik yang ada, dan itu sangat disayangkan,” tambahnya. “Kita bisa, jika semua orang mau duduk bersama, mencoba membuat rencana solid yang diharapkan dapat menjaga spesies tersebut. Belum terlambat untuk itu—masih mungkin. Tetapi semakin lama kita tidak melakukannya, semakin sulit situasi bagi spesies tersebut akan menjadi.”

Pelajaran penting di sini adalah, guys, bahwa kita nggak bisa cuma fokus sama satu aspek aja, kayak renewable energy, tanpa mikirin dampaknya ke lingkungan dan masyarakat sekitar. Pembangunan itu harus holistik, berkelanjutan, dan inclusive. Jangan sampai, demi mencapai target net zero, kita malah menghilangkan spesies yang nggak ternilai harganya.

Jadi, next time kita lagi scroll TikTok atau ngopi di coffeeshop hits, ingetlah Orangutan Tapanuli. Mereka adalah pengingat bahwa kita punya tanggung jawab untuk menjaga bumi ini, bukan cuma buat diri sendiri, tapi juga buat generasi mendatang. Think globally, act locally, gitu kan?

Previous Post

Jimin Keluar dari BTS? Fans Indonesia Kecam HYBE karena Dugaan Pengucilan

Next Post

Remaja NI Menuju Karier Industri di Indonesia

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *