Siap-siap, Indonesia Mau Naik Kelas!
Pernah merasa seperti lagi PDKT sama gebetan yang levelnya jauh di atas? Nah, kira-kira begitulah perasaan Indonesia saat ini, lagi getol banget mempersiapkan diri untuk masuk circle eksklusif bernama OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Jangan salah, ini bukan sekadar geng sosialita ekonomi, tapi organisasi yang punya standar tinggi, dan kalau lolos, gengsinya naik drastis!
OECD, atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, adalah klub negara-negara kaya yang komitmen pada demokrasi dan ekonomi pasar. Standar mereka tinggi, mulai dari tata kelola pemerintahan yang baik, perlindungan lingkungan, sampai inovasi teknologi. Anggota OECD sering jadi panutan dalam berbagai kebijakan, dan menjadi anggota berarti kita "naik level" di mata dunia.
Proses untuk menjadi anggota OECD itu nggak main-main. Ibarat ujian masuk perguruan tinggi favorit, persiapannya harus matang. Indonesia sendiri sudah resmi menjadi kandidat sejak tahun 2023, dan sekarang lagi menyusun initial memorandum, semacam rapor diri yang jujur menilai sejauh mana kebijakan dan regulasi kita sejalan dengan standar OECD.
Initial memorandum ini isinya nggak kaleng-kaleng. Ada 32 bab yang harus diisi, mencakup 239 instrumen hukum OECD. Tiap bab dikerjakan oleh kementerian dan lembaga terkait, sesuai dengan komite-komite di OECD. Jadi, semua sektor harus berbenah diri, dari keuangan sampai perdagangan.
Tapi, kenapa sih repot-repot ikut OECD? Selain gengsi yang naik, ternyata standar OECD ini jadi patokan penting dalam negosiasi dagang dengan Amerika Serikat, lho! AS ternyata sering merujuk pada standar OECD untuk urusan tarif dan non-tarif. Jadi, usaha kita mengejar standar OECD ini sekaligus membuka jalan untuk negosiasi yang lebih mulus dengan Paman Sam.
Selain itu, keikutsertaan dalam OECD juga diharapkan bisa mempermudah negosiasi perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa (IEU-CEPA). Soalnya, banyak referensi dalam negosiasi IEU-CEPA juga bersumber dari OECD. Jadi, kalau kita sudah klop dengan standar OECD, negosiasi dengan Uni Eropa juga bakal lebih lancar. Ibaratnya, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Targetnya, Indonesia bisa menyelesaikan proses aksesi ini pada tahun 2027. Tapi, tentu saja, harus mendapat persetujuan bulat dari seluruh 38 anggota OECD saat ini, termasuk AS, Jepang, Kanada, dan Israel. Perjalanan masih panjang, tapi semangat!
Membidik OECD: Peluang dan Tantangan Ekonomi Indonesia
Kenapa OECD Sepenting Itu?
OECD itu bukan sekadar tempat kumpul-kumpul negara maju. Lebih dari itu, OECD adalah think tank global yang menghasilkan rekomendasi kebijakan berdasarkan riset dan data yang komprehensif. Menjadi anggota OECD berarti Indonesia bisa belajar dari pengalaman terbaik negara lain, mendapatkan akses ke jaringan ahli global, dan meningkatkan daya saing ekonomi. Anggap saja seperti ikut mentoring dengan para maestro ekonomi dunia.
Seberapa Siap Kita? Menuju Standar OECD
Meskipun prosesnya panjang dan rumit, Indonesia sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam beberapa sektor. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di sektor keuangan, kita sudah sekitar 80% sesuai dengan standar OECD. Di sektor perdagangan, angkanya juga lumayan tinggi, di atas 70%. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya capable, tinggal bagaimana kita bisa memaksimalkan potensi yang ada.
Pacaran dengan AS: Hubungan OECD dan Negosiasi Dagang
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, standar OECD punya peran penting dalam negosiasi dagang dengan Amerika Serikat. Bayangkan, kita sedang berusaha mencuri perhatian si doi (AS) dengan menunjukkan bahwa kita punya kualitas yang sepadan. Standar OECD ini jadi semacam resume yang menunjukkan bahwa Indonesia punya komitmen terhadap tata kelola yang baik, regulasi yang transparan, dan iklim investasi yang kondusif.
Rencana Jangka Panjang: Bagian dari Asta Cita Prabowo
Keikutsertaan dalam OECD juga sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Selain itu, ini juga bagian dari Asta Cita Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang memprioritaskan kemandirian pangan dan energi. Artinya, upaya untuk menjadi anggota OECD ini bukan sekadar proyek iseng, tapi bagian dari visi besar untuk menjadikan Indonesia negara yang lebih maju dan mandiri.
Bukan Sekadar Perjanjian Dagang, Tapi Reformasi Regulasi
Penting untuk diingat bahwa OECD bukanlah perjanjian perdagangan bebas. Keanggotaan OECD menuntut reformasi regulasi yang ekstensif dan tinjauan kepatuhan teknis. Ini berarti kita harus berbenah diri di berbagai sektor, mulai dari tata kelola pemerintahan, perlindungan lingkungan, hingga inovasi teknologi. Proses ini memang tidak mudah, tapi hasilnya akan sepadan dengan usaha yang dikeluarkan.
Jadi, meskipun OECD bukan tiket instan menuju kemakmuran, menjadi anggota OECD bisa menjadi katalisator untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Dengan komitmen yang kuat dan kerja keras, Indonesia bisa mencapai standar OECD dan menjadi pemain utama di panggung ekonomi global. Ini bukan hanya tentang "naik kelas," tapi juga tentang membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.