Di era serba digital ini, kita seringkali mendengar tentang kemajuan teknologi, startup unicorn, dan investasi bodong (ups, sorry!). Namun, ada isu yang mungkin terlewat dari radar kita: krisis lahan di daerah-daerah kaya sumber daya seperti Kalimantan Tengah. Bayangkan, tanah yang seharusnya menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal, justru dikuasai segelintir korporasi raksasa. Sounds familiar?
Kalimantan Tengah: Tanah Subur yang Terjajah?
Kalimantan Tengah, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, seharusnya menjadi surga bagi penduduknya. Namun, kenyataannya tak seindah itu. Data terbaru dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menunjukkan bahwa sebagian besar lahan di Kalimantan Tengah, tepatnya sekitar 9,1 juta hektar dari total 15,4 juta hektar, dikuasai oleh korporasi-korporasi besar. Ini bukan sekadar angka, melainkan cerita tentang hilangnya hak masyarakat adat, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan.
Penting untuk memahami bahwa masalah lahan ini bukan hanya sekadar sengketa antara masyarakat dan perusahaan. Ini adalah masalah sistemik yang melibatkan regulasi yang lemah, praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab, dan kurangnya pengawasan dari pemerintah. Kita perlu menggali lebih dalam untuk memahami akar permasalahan dan mencari solusi yang berkelanjutan.
Akar Permasalahan: Siapa Menguasai Apa?
Menurut studi WALHI di tahun 2023, dari 9,1 juta hektar lahan yang dikuasai korporasi, sebagian besar digunakan untuk:
- Perkebunan: Sekitar 2,9 juta hektar dialokasikan untuk perkebunan, terutama kelapa sawit.
- Pertambangan: Sekitar 1 juta hektar untuk aktivitas pertambangan, yang seringkali meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah.
- Sektor Kehutanan: Yang paling mengkhawatirkan, sektor kehutanan menguasai sekitar 5,1 juta hektar.
Penguasaan lahan skala besar ini berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. WALHI mencatat sekitar 349 kasus konflik sosial, terutama terkait sengketa lahan dan tuntutan perkebunan plasma. Ironisnya, seringkali masyarakat yang lemah yang menjadi korban, sementara perusahaan terus meraup keuntungan. Ini ibarat David melawan Goliath, tapi Goliath punya lawyer mahal.
Ironi Sertifikasi: RSPO dan Masalah di Lapangan
Yang lebih mengejutkan, beberapa perusahaan yang dilaporkan melakukan pelanggaran lingkungan justru memegang sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas sertifikasi tersebut. Apakah sertifikasi hanya menjadi greenwashing, atau benar-benar menjamin praktik bisnis yang berkelanjutan? Lima perusahaan kelapa sawit yang memegang sertifikasi RSPO namun dilaporkan bermasalah adalah PT Globalindo Agung Lestari, PT Mulia Agro Permai, PT. Maju Aneka Sawit, PT. Gawi Bahandep Sawit Mekar, dan PT. Gawi Bahandep Sawit Mekar.
Selain itu, WALHI juga melaporkan lima perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri), yaitu PT Industrial Forest Plantation, PT Kalteng Green Resources, PT Baratama Putra Perkasa, PT Siemon Agro, dan PT Borneo Ikhsan Sejahtera. Dua perusahaan pertambangan batu bara, PT Tibawan Energi Indonesia dan PT Multi Perkasa Lestari, juga ikut dilaporkan. Kita perlu mempertanyakan bagaimana perusahaan-perusahaan ini bisa lolos sertifikasi sementara praktik di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.
Kasus-Kasus Kontroversial: Pelanggaran dan Dampak Sosial
Salah satu kasus yang disorot adalah PT Globalindo Agung Lestari, yang diduga beroperasi sebelum memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Warga di sekitar lokasi konsesi perusahaan di Kabupaten Kapuas mengaku tidak merasakan manfaat apapun dari keberadaan perusahaan tersebut. Sulit mencari pekerjaan, lahan rusak, dan kriminalisasi sering terjadi. Ini adalah potret buram dari investasi yang seharusnya mensejahterakan masyarakat.
Kasus lain yang memprihatinkan adalah PT Maju Aneka Sawit, yang diduga menggusur area pemakaman adat untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Menurut informasi warga, area tersebut dulunya adalah tempat pemakaman. Selain itu, perusahaan ini juga belum merealisasikan kewajiban perkebunan plasma sejak mulai beroperasi di tahun 2006. Padahal, tanggung jawab sosial perusahaan seharusnya menjadi prioritas.
Mempertanyakan Tanggung Jawab Korporasi dan Regulasi
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab korporasi seringkali diabaikan. Perusahaan cenderung mengejar keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan. Regulasi yang ada juga seringkali lemah dan mudah dilanggar. Pengawasan dari pemerintah juga perlu ditingkatkan untuk memastikan perusahaan beroperasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Ini bukan berarti kita anti investasi, tapi investasi harus sustainable dan menguntungkan semua pihak, bukan hanya segelintir orang.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Lalu, apa yang bisa kita, generasi Z dan Millennials, lakukan untuk mengatasi masalah ini? Pertama, tingkatkan kesadaran dan pengetahuan kita tentang isu-isu lingkungan dan sosial. Jangan hanya scroll TikTok dan Instagram, tapi juga luangkan waktu untuk membaca berita dan laporan dari organisasi seperti WALHI. Kedua, dukung gerakan dan kampanye yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan. Kita bisa ikut menandatangani petisi, menyebarkan informasi di media sosial, atau bahkan menjadi relawan. Ketiga, konsumsi secara bijak. Pilihlah produk-produk yang berasal dari perusahaan yang bertanggung jawab dan memiliki komitmen terhadap keberlanjutan.
Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas
Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk mengatasi masalah lahan di Kalimantan Tengah. Pemerintah perlu membuka data dan informasi terkait izin-izin usaha dan pengelolaan lahan. Perusahaan juga perlu lebih transparan dalam melaporkan kinerja sosial dan lingkungan mereka. Masyarakat sipil dan media harus berperan aktif dalam mengawasi dan mengkritisi praktik-praktik bisnis yang merugikan.
Saatnya Bertindak: Masa Depan Kalimantan Tengah di Tangan Kita
Masalah lahan di Kalimantan Tengah adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan dari kita semua. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan mewariskan lingkungan yang rusak dan ketidakadilan sosial kepada generasi mendatang. Mari bersama-sama memperjuangkan keadilan agraria dan keberlanjutan lingkungan untuk masa depan Kalimantan Tengah yang lebih baik. Ingat, there is no planet B!