Dark Mode Light Mode

Bertindak Sekarang, Sesal Kemudian Tak Berguna: The Jakarta Post

Toleransi Beragama di Indonesia: Sekadar Mimpi di Siang Bolong?

Kita semua tahu Indonesia itu katanya Bhinneka Tunggal Ika, tapi kok berita belakangan ini bikin alis berkerut? Janji manis persatuan dan kesatuan kayaknya lagi liburan panjang deh. Serangan terhadap minoritas agama makin sering terjadi, dan respons pemerintah kayak lagi main petak umpet: ada, tapi susah dicari.

Indonesia, dengan populasi Muslim terbesarnya, sering digembar-gemborkan sebagai contoh toleransi beragama. Tapi, kenyataan di lapangan seringkali jauh dari ideal. Diskriminasi dan intoleransi terhadap minoritas agama masih menjadi masalah serius yang menggerogoti fondasi kebangsaan. Masalahnya bukan cuma soal perbedaan keyakinan, tapi juga soal kesetaraan di mata hukum dan negara.

Beberapa waktu lalu, terjadi insiden di Padang, Sumatera Barat, ketika sebuah tempat ibadah umat Kristen diserang dan dirusak oleh massa. Ironisnya, kejadian ini menimpa anak-anak yang sedang belajar agama. Traumanya pasti mendalam, dan ini bukan sekadar “kesalahpahaman” seperti yang diungkapkan oleh Menteri Agama. Ini adalah kekerasan yang nyata dan dampaknya sangat besar.

Insiden serupa juga terjadi di Sukabumi, Jawa Barat. Sebuah kegiatan retret remaja Kristen dibubarkan paksa oleh massa. Modusnya sama: intimidasi, perusakan, dan pembenaran diri dengan dalih “menegakkan ketertiban umum”. Tapi, kalau dipikir-pikir, kok “ketertiban umum” ini selalu sasar minoritas? Ada yang aneh nih.

Alasan di balik semua ini seringkali adalah kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah secara legal. Aturan yang ribet dan diskriminatif membuat minoritas terpaksa beribadah di rumah atau tempat-tempat darurat. Inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh oknum-oknum intoleran untuk menyerang dan membubarkan kegiatan keagamaan mereka.

Akar Masalah: SKB 2 Menteri dan Dampaknya

Masalah utamanya adalah SKB 2 Menteri tahun 2006, yang mengatur pendirian rumah ibadah. Aturan ini mengharuskan kelompok agama mengumpulkan tanda tangan dari minimal 60 orang dari agama lain dan mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Kedengarannya sih oke, tapi di daerah yang tingkat intoleransinya tinggi, aturan ini jadi senjata untuk memblokir hak minoritas untuk beribadah. Prosesnya bukan cuma sulit, tapi IMPOSSIBLE.

Bayangkan, harus minta izin tetangga yang belum tentu setuju dengan keyakinan kita. Ini sama saja dengan memberikan hak veto kepada mayoritas untuk menentukan hak minoritas. Aturan ini bukan menjamin kerukunan, tapi malah memperparah perpecahan. SKB ini udah lama dikritik karena diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945.

Langkah Nyata: Bukan Sekadar Ucapan Maaf

Kalau pemerintah serius ingin mencegah kejadian serupa terulang, tidak cukup hanya dengan ucapan maaf. Pemerintah harus segera bertindak untuk mencabut aturan diskriminatif, menindak tegas pelaku kekerasan, dan menjamin hak setiap warga negara untuk beribadah dengan aman dan bebas. No more excuses!

Menteri Agama Nasaruddin Umar berjanji akan mengirim tim investigasi untuk menelusuri kejadian di Padang. Oke lah ya, tapi jangan cuma jadi formalitas. Kita butuh tindakan konkret, bukan sekadar laporan di atas kertas. Janji pendahulunya, Yaqut Cholil Qoumas, untuk merevisi SKB 2 Menteri juga belum terealisasi. Ini momentum bagi Nasaruddin untuk membuktikan komitmennya terhadap kebebasan beragama.

Penegakan Hukum yang Adil dan Tanpa Pandang Bulu

Penegakan hukum juga memegang peranan penting. Pelaku kekerasan di Padang, Sukabumi, dan tempat-tempat lain harus diadili sesuai hukum yang berlaku. Jangan sampai ada impunitas bagi pelaku kekerasan atas nama agama. Hukum harus ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu. Ini bukan soal agama, tapi soal keadilan dan kesetaraan di depan hukum.

Presiden Prabowo Subianto juga harus menunjukkan ketegasannya. Kebebasan beragama dan berkeyakinan dilindungi oleh Konstitusi. Membela hak tersebut seharusnya tidak bisa ditawar-tawar. Sikap diam atau ambigu dari pucuk pimpinan negara hanya memperkuat persepsi bahwa negara abai, acuh tak acuh, atau bahkan terlibat.

Revitalisasi Pendidikan Toleransi: Investasi Jangka Panjang

Selain tindakan hukum, pendidikan toleransi juga sangat penting. Kurikulum pendidikan harus direvitalisasi untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, dan saling menghargai sejak dini. Generasi muda harus dididik untuk memahami bahwa perbedaan itu indah dan bahwa Indonesia adalah rumah bagi semua. Pendidikan agama juga perlu diperdalam agar tidak ada interpretasi yang salah dan bias.

Peran Masyarakat Sipil: Jaga Kewarasan Bersama

Masyarakat sipil juga punya peran besar dalam menjaga toleransi. Organisasi keagamaan, tokoh masyarakat, dan media massa harus aktif menyuarakan pesan-pesan damai dan persatuan. Jangan biarkan narasi kebencian dan intoleransi merajalela. Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga kewarasan bersama.

Media Sosial: Arena Pertempuran Opini

Media sosial juga menjadi arena pertempuran opini. Informasi hoax dan ujaran kebencian seringkali menyebar dengan cepat dan memprovokasi konflik. Kita sebagai pengguna media sosial harus cerdas dan bijak dalam menyaring informasi dan tidak mudah terpancing emosi. Laporkan konten-konten yang mengandung ujaran kebencian dan provokasi.

Dialog Antar Umat Beragama: Jembatan Pemahaman

Dialog antar umat beragama perlu terus digalakkan. Forum-forum dialog harus menjadi wadah untuk saling bertukar pikiran, memahami perbedaan, dan mencari solusi bersama. Dialog bukan hanya sekadar acara seremonial, tapi harus menjadi proses berkelanjutan untuk membangun jembatan pemahaman.

Ekonomi Inklusif: Mengurangi Kesenjangan Sosial

Kesenjangan sosial dan ekonomi juga bisa menjadi pemicu konflik. Pemerintah harus berupaya menciptakan ekonomi yang inklusif dan adil bagi semua lapisan masyarakat. Kurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, dan berikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk meraih kesejahteraan.

Toleransi Beragama: Bukan Sekadar Slogan, Tapi Aksi Nyata

Jadi, toleransi beragama di Indonesia bukan sekadar slogan, tapi harus diwujudkan dalam aksi nyata. Perubahan membutuhkan komitmen dari semua pihak: pemerintah, tokoh agama, masyarakat sipil, dan setiap individu. Kalau kita semua bergerak bersama, kita bisa mewujudkan Indonesia yang lebih toleran, inklusif, dan damai.

Kata-kata saja tidak akan mencegah serangan berikutnya. Hanya tindakan nyata dan bermakna yang akan menyelamatkan kita. Ayo, kita buktikan bahwa Indonesia benar-benar Bhinneka Tunggal Ika!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Roger Daltrey Buka Suara Soal Insiden Drum Zak Starkey, Ungkap Fakta Sebenarnya: 'Itu Semacam Pembunuhan Karakter' - Ultimate Guitar

Next Post

Federation Force Diduga Bocorkan Keberadaan Metroid Prime 4 Lebih Awal