Bukan rahasia lagi, politik dan pembangunan infrastruktur di Indonesia kadang berjalan seiring dengan aroma yang kurang sedap. Terkini, Sumatera Utara kembali menjadi sorotan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan korupsi proyek jalan. Tapi, drama sebenarnya baru dimulai.
OTT Sumut: Ketika Aspal Bertabur Angka "Fantastis"
Kabar penangkapan beberapa pejabat dan pengusaha terkait proyek jalan di Sumatera Utara senilai Rp 231 miliar tentu saja mengejutkan. KPK bergerak cepat, menangkap enam orang dan menetapkan tiga pejabat serta dua pengusaha sebagai tersangka. Salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sumatera Utara. Kabarnya, Topan dijanjikan fee sebesar Rp 8 miliar atas jasanya "mengamankan" proyek untuk perusahaan tertentu. Angka yang cukup untuk membeli mobil impian, atau mungkin, membangun villa di Bali?
Bobby Nasution dan Bayangan Korupsi: Kebetulan atau Keterkaitan?
Yang membuat kasus ini semakin menarik adalah kedekatan Topan dengan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution. Topan dikenal sebagai orang dekat Bobby sejak menjabat sebagai Walikota Medan pada 2021-2025. Kedekatan ini tentu saja menimbulkan spekulasi dan pertanyaan. Apakah ada keterlibatan Bobby dalam praktik korupsi ini? Bobby sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan KPK dalam proses investigasi. Ia menegaskan tidak menerima dana apapun, tapi siap membantu KPK membongkar kasus ini hingga tuntas.
Korupsi memang seperti hantu, selalu ada bayang-bayang di sekitarnya. Pertanyaannya, seberapa jelas bayangan tersebut?
Konstruksi Jalan, Konstruksi Masalah: Akar Korupsi di Proyek Infrastruktur
Korupsi di sektor infrastruktur, khususnya proyek jalan, bukan barang baru di Indonesia. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, mulai dari lemahnya pengawasan, celah hukum, hingga praktik mark-up anggaran yang sudah menjadi "rahasia umum." Proyek jalan seringkali menjadi lahan basah bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab karena:
- Anggaran yang besar: Proyek jalan biasanya membutuhkan dana yang sangat besar, sehingga potensi korupsi juga semakin besar.
- Proses tender yang rentan: Proses tender seringkali diwarnai praktik suap dan kolusi untuk memenangkan perusahaan tertentu.
- Pengawasan yang lemah: Pengawasan proyek jalan seringkali tidak efektif, sehingga memudahkan oknum untuk melakukan penyimpangan.
Infrastruktur berkualitas seharusnya dibangun di atas fondasi integritas, bukan di atas tumpukan uang haram.
Saatnya Bersih-Bersih: Peluang Sumatera Utara Membangun Reputasi
Kasus ini menjadi momentum bagi Sumatera Utara untuk melakukan bersih-bersih di sektor infrastruktur. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat adalah kunci untuk mencegah praktik korupsi terulang kembali. Masyarakat juga memiliki peran penting untuk mengawasi dan melaporkan jika menemukan indikasi penyimpangan dalam proyek pembangunan. Membangun infrastruktur bukan hanya tentang membangun jalan, tapi juga membangun kepercayaan. Jika kepercayaan runtuh, maka fondasi pembangunan akan rapuh. Investasi dalam software pengawasan proyek dan pelatihan anti-korupsi bagi para pejabat terkait adalah langkah cerdas untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Mungkin inilah saatnya Sumatera Utara benar-benar move on dari stigma negatif dan membuktikan bahwa pembangunan infrastruktur bisa berjalan bersih dan transparan. Siapa tahu, suatu saat nanti, kita bisa membahas smart city di Medan tanpa perlu mengungkit lagi kisah-kisah korupsi yang bikin geleng-geleng kepala.