Bayangkan, Anda seorang dokter bedah tulang belakang, spesialis mengatasi nyeri punggung yang bikin pasien meringis seperti nonton drama Korea episode terakhir. Suatu hari, Anda mengoperasi seorang ibu yang ternyata membawa oleh-oleh tak terduga: bakteri Brucella melitensis. Bakteri ini bukan cuma bikin pasiennya meriang, tapi juga ikut numpang liburan di tubuh Anda. Serunya, liburan ini tanpa tiket pulang!
Brucellosis: Oleh-Oleh dari Pedesaan yang Bikin Dokter Ikutan Meriang
Brucellosis, atau yang lebih dikenal dengan nama keren “Penyakit Bang”, adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh genus Brucella. Penyakit ini endemik di daerah-daerah seperti Balkan, Asia Tengah, India, Amerika Tengah dan Selatan, serta Timur Tengah. Biasanya, orang terinfeksi karena kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, mengonsumsi produk susu mentah, atau daging yang kurang matang. Tapi, kasus yang satu ini agak beda. Ceritanya, seorang dokter di Slovenia kena getahnya saat mengoperasi pasien yang ternyata mengidap penyakit ini.
Gejala brucellosis ini mirip seperti lagi kena plot twist di sinetron: demam, keringat malam, nyeri sendi, lemas, sakit kepala, dan kelelahan. Karena gejalanya nggak spesifik dan masa inkubasinya lumayan lama, brucellosis ini jadi tantangan tersendiri buat dokter, apalagi yang praktek di daerah yang jarang ada kasus kayak gini. Biasanya, infeksi ini nyerang tulang dan sendi, terutama tulang belakang. Nah, yang bikin ngeri, penyakit ini jarang banget menular dari pasien ke pasien. Tapi, kasus yang satu ini membuktikan bahwa segala sesuatu mungkin terjadi, termasuk ketiban bakteri dari pasien sendiri.
Kisah Seorang Ibu dan Operasi yang Berujung Kejutan
Seorang wanita berusia 64 tahun dengan riwayat sakit punggung kronis datang ke rumah sakit di Ljubljana, Slovenia. Dokter mendiagnosis adanya herniasi diskus di L4-5 dan stenosis neuroforaminal L5. Tindakan operasi pun dilakukan. Sayangnya, setelah operasi, rasa sakitnya nggak berkurang signifikan. Setahun kemudian, rasa sakitnya masih sama seperti sebelum operasi. Hasil pemeriksaan menunjukkan diskus L4-5 kolaps dan ada sedikit seroma di bekas operasi. Akhirnya, dokter memutuskan untuk melakukan fusi tulang belakang L4-5 sekitar 20 bulan setelah operasi pertama.
Seharusnya, setelah operasi kedua, pasien bisa menikmati hidup tanpa nyeri punggung. Tapi, satu bulan kemudian, lukanya malah mengeluarkan cairan terus-menerus. Hasil laboratorium menunjukkan kadar C-reactive protein (CRP) dan laju sedimentasi eritrosit (LED) yang sedikit meningkat. Curiga ada yang nggak beres, dokter melakukan operasi revisi dengan mengambil sampel mikrobiologi. Hasilnya? Jreng-jreng! Ditemukanlah Brucella melitensis di jaringan bawah kulit pasien. Setelah dianalisis lebih lanjut, ternyata pasien ini punya kebiasaan sering bepergian ke daerah pedesaan di Bosnia dan Herzegovina dan suka minum susu sapi mentah serta makan keju kambing buatan sendiri. Enam bulan sebelum operasi pertama, dia sempat demam selama lima hari disertai batuk kering dan lemas.
Ketika Dokter Ikutan Kena “Penyakit Bang”: Liburan Bakteri yang Tak Terduga
Tiga bulan setelah operasi pertama pasien, sang dokter bedah yang menangani juga ikut merasakan gejala yang sama: demam, lemas, dan nyeri sendi selama tujuh hari. Awalnya, dia mengira cuma kena infeksi virus biasa. Sembilan bulan kemudian, gejala yang sama muncul lagi, bahkan makin parah. Karena baru-baru ini dia sempat melancong ke Moldova, dokter melakukan pemeriksaan mikrobiologi lengkap. Hasilnya bikin kaget: ada B. melitensis di kultur darahnya dan antibodi Brucella spp. di sampel darahnya. Padahal, selama dua tahun terakhir, dia nggak pernah jalan-jalan ke daerah endemik brucellosis, kecuali Moldova, dan nggak ingat pernah makan makanan yang berpotensi terkontaminasi.
Investigasi lebih lanjut menunjukkan bahwa satu bulan sebelum operasi pertama pasien, hasil serologi dokter menunjukkan nggak ada antibodi Brucella spp. di darahnya. Jadi, kesimpulannya, infeksi ini kemungkinan besar terjadi saat operasi pertama pasien. Setelah kejadian ini, semua staf bedah yang terlibat dalam operasi pasien diperiksa serologinya. Hasilnya, ada satu orang lagi yang positif IgG, tapi nggak bergejala. Akhirnya, dia juga ikut dikasih antibiotik.
WGS: Detektif Canggih yang Ungkap Kasus Penularan Bakteri
Untuk memastikan apakah benar terjadi penularan B. melitensis dari pasien ke dokter, para peneliti melakukan whole-genome sequencing (WGS) pada isolat bakteri dari pasien dan dokter. Mereka juga menganalisis delapan isolat B. melitensis lain yang ditemukan di Slovenia selama tahun 2017-2020. Hasilnya menunjukkan bahwa isolat dari pasien dan dokter berada dalam satu klaster yang sama, cuma beda satu allele wgMLST. Klaster ini juga mencakup dua isolat lain dari Bosnia dan Herzegovina. Pasien dari isolat-isolat ini mengaku pernah bepergian ke Bosnia dan Herzegovina. Tapi, dokter (isolat BM3) nggak pernah ke Balkan Barat (termasuk Bosnia dan Herzegovina) dan nggak pernah makan susu atau keju mentah dari daerah itu.
Masker Bedah: Antara Perlindungan dan Ironi Nasib
Kebanyakan kasus brucellosis yang terdokumentasi terjadi karena paparan risiko tinggi atau infeksi yang didapat di laboratorium. Tapi, pengetahuan tentang paparan Brucella spp. di lingkungan rumah sakit lain masih terbatas. Meskipun dokter dalam kasus ini sudah mengikuti prosedur pengendalian infeksi standar saat operasi, diduga penularan terjadi saat disektomi. Irigasi luka menyebabkan percikan kecil yang mengandung bakteri menyebar ke udara. Sayangnya, masker bedah standar nggak cukup kuat untuk melindungi dari risiko ini.
Brucellosis di Eropa: Antara Penurunan dan Kewaspadaan
Secara keseluruhan, angka kejadian brucellosis pada manusia di Eropa memang menurun dalam satu dekade terakhir. Tapi, wilayah Mediterania masih sangat terpengaruh. Selain itu, brucellosis ini sulit didiagnosis dini karena gejalanya nggak spesifik. Jaringan yang terinfeksi juga nggak menghasilkan nanah, jadi infeksi ini bisa dengan mudah terlewatkan kalau nggak ada kecurigaan epidemiologis. Dalam kasus ini, baru setelah operasi ketiga, setelah brucellosis pada pasien dipastikan, tinjauan retrospektif dari magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan tanda-tanda samar infeksi tingkat rendah. Dalam kasus serupa, sebaiknya dokter memeriksa serostatus pasien dan memberikan antibiotik yang sesuai sebelum operasi. Selain itu, pastikan staf bedah menggunakan alat pelindung diri yang sesuai untuk mengurangi risiko penularan melalui aerosol.
WGS: Senjata Ampuh untuk Melacak Wabah, Tapi…
Meskipun WGS punya kemampuan diskriminasi untuk melacak wabah dan menyelidiki penularan dari manusia ke manusia, analisis ini bisa terbatas karena jumlah isolat Brucella yang tersedia untuk WGS typing sedikit. Kelangkaan isolat dalam studi ini terutama disebabkan oleh rendahnya angka kasus brucellosis pada manusia yang terkonfirmasi di Slovenia, serta tidak adanya isolat dari sumber lain (misalnya, makanan) yang dikumpulkan di wilayah geografis dan periode waktu yang sama. Meski begitu, studi ini menyoroti efektivitas WGS dalam mengonfirmasi bahwa meskipun semua isolat Slovenia terkait erat dengan isolat B. melitensis genotype II, hanya isolat dari pasien dan dokter yang hampir identik. Penemuan ini menggarisbawahi potensi risiko penularan B. melitensis dalam konteks operasi ortopedi.
Pelajaran Berharga dari Kasus Ini: Jangan Lengah, Tetap Waspada!
Kasus ini jadi pengingat buat kita semua, terutama para tenaga medis, bahwa penyakit nggak kenal batas. Bahkan di era modern dengan teknologi canggih, bakteri tetap bisa bikin kejutan yang nggak menyenangkan. Jadi, jangan pernah lengah dan selalu waspada, terutama saat berhadapan dengan pasien yang punya riwayat perjalanan atau kebiasaan yang berpotensi terpapar penyakit menular. Siapa tahu, bakteri itu lagi nyari tumpangan liburan gratis di tubuh Anda!