Kita semua tahu sejarah itu penting. Tapi, pernah gak sih kepikiran kalau sejarah yang kita pelajari itu bisa diubah? Nah, ini nih yang lagi hangat dibicarakan di Indonesia sekarang. Kabarnya, pemerintah berencana menerbitkan buku sejarah baru. Tujuannya sih mulia, katanya untuk "menemukan kembali identitas Indonesia." Tapi, ada juga yang khawatir kalau buku-buku ini malah jadi alat historical revisionism, apalagi mengingat generasi muda sekarang mungkin gak begitu ingat dengan era Orde Baru. Jadi, kayak nonton remake film yang alurnya sedikit twist, tapi kali ini yang di-remake adalah masa lalu kita.
Sejarah yang Ditulis Ulang: Antara Identitas dan Propaganda?
Indonesia sedang bersiap untuk merilis serangkaian buku sejarah yang ambisius, terdiri dari 10 volume. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menyampaikan bahwa seri ini bertujuan untuk menyajikan narasi yang Indonesia-sentris. Ini tentu saja terdengar keren, kayak punya universe sendiri versi sejarah Indonesia. Tapi, di balik ambisi tersebut, muncul kekhawatiran. Apakah buku-buku ini akan menjadi alat untuk memoles citra penguasa masa lalu, khususnya sosok seperti Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Soeharto?
Sejumlah sejarawan khawatir bahwa proyek ini dapat menjadi kesempatan untuk merevisi sejarah, terutama karena banyak generasi muda Indonesia yang kurang familiar dengan era Orde Baru (1966-1998). Prabowo sendiri diketahui sering memuji Soeharto, yang pernah menjadi mertuanya. Kita jadi bertanya-tanya, apakah ada agenda tersembunyi di balik proyek ini? Apakah sejarah yang selama ini kita tahu akan disajikan dengan filter yang berbeda?
Kritik semakin tajam ketika Asvi Warman Adam, seorang sejarawan terkemuka, menyerukan kepada para akademisi untuk melobi anggota parlemen agar mengawasi konten buku-buku tersebut. Ia khawatir bahwa buku-buku itu akan menjadi alat propaganda untuk melegitimasi rezim yang berkuasa, misalnya dengan menghilangkan catatan tentang pelanggaran HAM berat tahun 1998 yang terkait dengan Prabowo. Selain itu, ia juga memperkirakan bahwa pemerintah akan segera memberikan gelar "Pahlawan Nasional" kepada Soeharto secara anumerta. Hmm, jadi makin penasaran kan apa yang bakal ditulis di buku itu?
Meskipun kekhawatiran ini muncul, Fadli Zon menegaskan bahwa sejarah akan ditulis dengan benar. Ia juga menambahkan bahwa baik dirinya maupun Prabowo tidak akan terlibat dalam proses editorial. Namun, pernyataan ini tidak sepenuhnya meredakan keraguan. Bagaimana mungkin sejarah bisa ditulis "dengan benar" jika ada potensi bias dan kepentingan politik di baliknya?
Buku-buku tersebut rencananya akan mencakup sejarah manusia di Indonesia, mulai dari Homo erectus hingga kolonisasi Belanda hingga terpilihnya Prabowo sebagai presiden. Proses penulisan dan penyuntingan akan melibatkan sekitar 100 sejarawan, dan Fadli berharap buku-buku tersebut dapat selesai pada tanggal 17 Agustus, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia. Sebuah tenggat waktu yang ambisius, tapi apakah kualitas konten akan terkorbankan demi mengejar deadline?
Mengenang Orde Baru: Antara Kemajuan dan Kontroversi
Era Orde Baru memang periode yang kompleks dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, ada kemajuan ekonomi yang signifikan. Di sisi lain, ada juga catatan pelanggaran HAM dan pembatasan kebebasan sipil yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana buku-buku sejarah baru ini akan menyeimbangkan kedua aspek tersebut? Apakah mereka akan menyajikan gambaran yang jujur dan komprehensif, atau hanya fokus pada sisi positifnya saja?
Salah satu isu krusial yang menjadi perhatian adalah bagaimana buku-buku tersebut akan menggambarkan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI pada tahun 1965 dan 1966. Tragedi ini merupakan luka mendalam dalam sejarah Indonesia, dan hingga saat ini belum ada penyelidikan yang komprehensif mengenai peristiwa tersebut. Fadli Zon sendiri mengatakan bahwa buku-buku baru ini tidak akan membahas lebih dalam mengenai pembantaian tersebut. Keputusan ini tentu saja mengecewakan bagi banyak pihak yang mengharapkan kebenaran dan rekonsiliasi.
Siapa yang Menulis Sejarah: Kekuatan dan Tanggung Jawab
Pertanyaan mendasar yang muncul dari polemik ini adalah: siapa yang berhak menulis sejarah? Apakah pemerintah memiliki hak untuk membentuk narasi sejarah sesuai dengan kepentingan politiknya? Atau apakah sejarah harus ditulis oleh para sejarawan independen yang bebas dari tekanan dan intervensi?
Seperti yang dikatakan oleh Made Supriatma, seorang visiting fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, pemerintah mungkin akan menggunakan taktik yang sama seperti Soeharto, yang menerbitkan seri buku enam volume pada tahun 1975 berjudul "Sejarah Nasional Indonesia" yang mengagungkan militer dan penuh dengan ketidakakuratan. Kita tentu tidak ingin sejarah diulang, bukan?
Jangan Sampai Ketinggalan Kereta Sejarah!
Jajat Burhanuddin, seorang sejarawan yang terlibat dalam proyek ini, mengklaim bahwa sejauh ini tidak ada intervensi negara. Ia juga mengatakan bahwa penculikan dan penyiksaan aktivis mahasiswa tahun 1998 akan dimasukkan dalam buku-buku tersebut, meskipun ia menolak untuk mengatakan apakah Prabowo akan disebutkan dalam catatan tersebut. Kita tunggu saja, apakah janji ini akan ditepati.
Sebagai generasi Z dan Milenial, kita punya peran penting dalam mengawal penulisan sejarah ini. Kita harus kritis dan tidak mudah percaya begitu saja dengan apa yang disajikan dalam buku-buku tersebut. Kita perlu membandingkan dengan sumber-sumber lain, berdiskusi dengan teman dan keluarga, dan mencari tahu kebenaran sendiri.
Ingat, sejarah itu bukan hanya tentang masa lalu. Sejarah membentuk identitas kita, memengaruhi pemikiran kita, dan menentukan masa depan kita. Jadi, jangan biarkan sejarah ditulis ulang demi kepentingan politik sesaat. Mari kita jaga sejarah kita bersama-sama. Jangan sampai kita FOMO (Fear Of Missing Out) dalam memahami masa lalu kita.
Sebagai penutup, satu hal yang perlu kita ingat: Sejarah itu dinamis. Sejarah itu kompleks. Dan sejarah itu penting. Jangan biarkan siapa pun mendikte narasi sejarah kita. Carilah kebenaran, berpikirlah kritis, dan jadilah bagian dari proses penulisan sejarah yang lebih inklusif dan akurat.