Apakah kamu pernah merasa seperti hidup di era The Matrix, tapi tanpa Neo untuk menyelamatkanmu dari algoritma yang kejam? Nah, nasib serupa dialami oleh jutaan pekerja platform di seluruh dunia. Mereka adalah para pengemudi ojek online, kurir makanan, dan content creator yang kita andalkan setiap hari. Tapi, di balik kemudahan yang kita nikmati, tersimpan kisah perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang layak.
Fenomena Pekerja Platform: Lebih dari Sekadar Side Gig
Pekerjaan berbasis aplikasi digital kini menjadi industri yang berkembang pesat. Diperkirakan 154 juta hingga 435 juta pekerja menggantungkan hidupnya pada pekerjaan online. Seringkali dianggap sebagai pekerjaan fleksibel, kenyataannya pekerjaan platform ini justru seringkali menggerus hak-hak pekerja dan memindahkan tanggung jawab biaya operasional kepada mereka. Konsumen di seluruh dunia bergantung pada pekerja platform. Kita memesan ride-hailing melalui Uber atau Grab, memesan makanan melalui GoFood atau ShopeeFood, dan menonton konten di berbagai media sosial. Platform online bertindak sebagai perantara, tapi seringkali pekerja platform tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya.
Di banyak negara, termasuk Ghana, pekerja aplikasi digital sering dikategorikan sebagai "kontraktor independen," sehingga tidak dilindungi oleh undang-undang tenaga kerja nasional, termasuk upah minimum. Padahal, bagi sebagian besar pekerja, ini bukan sekadar pekerjaan sampingan atau side gig, melainkan pekerjaan penuh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di tahun 2024 saja, sekitar 3 miliar konsumen menggunakan layanan pesan antar makanan secara online. Meskipun pasar pesan antar makanan online global mencapai $380,43 miliar di tahun yang sama, pekerja yang mengantarkan makanan, mengantar penumpang, atau memoderasi konten online seringkali menerima upah yang minim dan tidak memiliki kondisi kerja yang aman dan sehat.
Jeratan Algoritma dan Komisi: Kisah Enoch di Ghana
Enoch Gyaesayor, seorang pengemudi online di Accra, Ghana, berharap bisa mendapatkan beberapa perjalanan jarak jauh setiap hari agar bisa mendapatkan penghasilan maksimal. Setelah membayar komisi perusahaan dan biaya operasional, ia hanya mendapatkan sekitar 150 cedi (sekitar 200 ribu rupiah). "Tidak ada hari libur bagi pengemudi," keluh Gyaesayor, yang harus bekerja tujuh hari seminggu untuk menafkahi dirinya dan keluarganya.
Masalah utama bagi Gyaesayor dan pekerja platform lainnya adalah besarnya komisi yang dipotong oleh perusahaan aplikasi. Uber mengenakan komisi 35%, Bolt 27,5%, dan Yango hingga 25%. Biaya komisi ini belum termasuk biaya lain seperti pulsa, bensin, dan perbaikan kendaraan. Selain itu, algoritma yang seringkali tidak akurat dalam menghitung jarak dan waktu tempuh perjalanan, semakin mengurangi penghasilan mereka. Pekerja beroperasi di bawah kendali algoritma dan tidak memiliki akses untuk mengetahui alasan mereka dikeluarkan dari pekerjaan atau mengapa perhitungan kilometer tidak sesuai. “Ada banyak ketidakpastian dan inkonsistensi dalam hal perjalanan, berapa banyak yang akan Anda dapatkan, dan sebagainya,” ujarnya.
Solidaritas adalah Kunci: Serikat Pekerja Platform
Gyaesayor, yang kini menjadi sekretaris jenderal Digital Transport Workers Union (DTWU), mulai mengumpulkan pekerja aplikasi digital dengan berbicara dengan pengemudi di tempat parkir dan pusat perbelanjaan. Dia mendorong mereka untuk bersatu dan memperjuangkan perbaikan kondisi kerja. Beberapa asosiasi yang mewakili kurir dan pekerja digital lainnya membentuk sebuah asosiasi kecil di wilayah Accra dan Ashanti. Pada tahun 2023, mereka mendirikan DTWU dengan jangkauan yang lebih luas, dan bergabung dengan Ghana Trades Union Congress (GTUC). Kisah Gyaesayor ini membuktikan bahwa bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh adalah prinsip yang relevan hingga kini.
Membangun Kekuatan Bersama: Serikat Pekerja Platform di Seluruh Dunia
DTWU, yang terdiri dari pengemudi mobil, sepeda, dan kurir, adalah salah satu dari sekian banyak serikat pekerja platform di seluruh dunia. Mereka bersatu untuk mencapai tujuan-tujuan penting, termasuk:
- Standar upah minimum.
- Lingkungan kerja yang aman.
- Perlindungan sosial dasar seperti cuti tahunan, cuti sakit, dan tunjangan pensiun.
- Cakupan hukum tenaga kerja yang memberikan mereka hak yang sama dengan pekerja lainnya.
Perjuangan Global untuk Hak-Hak Pekerja Platform
Untuk mendapatkan hak-hak dasar ini, para pekerja mengambil tindakan hukum untuk mendapatkan upah yang belum dibayar, menerima kompensasi atas cedera terkait pekerjaan, dan membangun kondisi kerja yang aman. Mereka juga memobilisasi untuk memperbaiki undang-undang nasional dan lokal. Di Meksiko, pekerja aplikasi berhasil mengkampanyekan reformasi legislatif yang mengakui mereka sebagai pekerja dan memberikan akses ke asuransi kecelakaan, pensiun, cuti hamil, dan keuntungan perusahaan. Di Filipina, pengemudi pengantar makanan meningkatkan tunjangan di sekitar pulau-pulau. Di Cebu, pengemudi Foodpanda akan menerima tarif dasar 55 peso dan perusahaan akan mengakui mereka sebagai karyawan.
Aksi Global: Pekerja Platform Bersuara di ILO
Untuk pertama kalinya, isu pekerja platform secara resmi dibahas di panggung global. Dalam konferensi International Labor Organization (ILO) di Jenewa, pekerja aplikasi digital, perwakilan bisnis, dan pemerintah membahas rancangan perjanjian internasional baru, Realizing Decent Worker in the Platform Economy. Pekerja aplikasi digital menyusun konten yang akan dipertimbangkan oleh para delegasi, menghadiri pertemuan dengan International Trade Union Confederation (ITUC), dan mengikuti lokakarya regional selama enam hari di Togo oleh ITUC-Africa.
Charith Attanapola, seorang pengemudi aplikasi di Sri Lanka, bertemu dengan menteri tenaga kerja negaranya untuk menyampaikan tantangan yang dihadapi oleh pekerja platform dan membahas cara-cara pemerintah dapat meningkatkan kondisi kerja. "Salah satu poin penting dari diskusi kami adalah keterbukaan pemerintah untuk memastikan pekerjaan yang layak di semua sektor tenaga kerja, termasuk pekerja transportasi dan pengiriman berbasis aplikasi," kata Attanapola.
Gyaesayor menyadari bahwa kemajuan dalam mengatasi pengangguran kaum muda hanya dapat dipertahankan jika tersedia pekerjaan yang layak. "Pekerjaan platform telah memberikan pekerjaan kepada sebagian besar kaum muda; namun kami yang bekerja diperlakukan seperti budak, kami hampir tidak mendapatkan gaji apa pun," kata Gyaesayor. "Pemerintah harus mendengarkan serikat pekerja, atau keadaan akan menjadi jauh lebih buruk; banyak anak muda yang akan menganggur."
Jadi, lain kali saat kamu memesan kopi melalui aplikasi, ingatlah bahwa ada manusia di balik layar smartphone-mu. Dukung perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang layak dan menciptakan ekosistem pekerjaan platform yang lebih adil. Karena, toh, kita semua ingin hidup di dunia di mana algoritma melayani manusia, bukan sebaliknya, kan?