Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

Cancel Culture: Dampak Pembunuhan Charlie Kirk & Kontroversi Terbaru

Bayangkan dunia di mana setiap opini yang berbeda langsung diviralkan dan dikutuk habis-habisan. Dunia yang kita tinggali sekarang? Hampir betul. Tapi mari kita lebih dramatis lagi: dunia di mana satu cuitan bisa menghancurkan karir, dan satu kesalahan kecil di masa lalu bisa menghantui selamanya. Kedengarannya seperti episode Black Mirror yang terlalu dekat dengan realita? Selamat datang di era “cancel culture”, sebuah fenomena yang lebih bikin pusing daripada ngurusin cicilan.

Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Sebenarnya sederhana: seseorang melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif, lalu internet—atau sebagian kecil dari internet yang sangat vokal—berteriak menuntut pertanggungjawaban. Biasanya, ini berarti kehilangan pekerjaan, kehilangan endorsement, atau sekadar menjadi bahan olok-olok abadi di jagat maya. Tapi, apakah fenomena ini seseram yang dibayangkan?

Beberapa pihak mengklaim bahwa ini adalah bentuk keadilan sosial yang diperlukan untuk menghentikan perilaku buruk. Yang lain berpendapat bahwa ini adalah perburuan penyihir modern yang menghancurkan hidup orang karena kesalahan kecil. Di tengah perdebatan sengit ini, penting untuk bertanya: seberapa besar ancaman “cancel culture” sebenarnya, dan siapa yang paling rentan menjadi korbannya?

Apakah ‘Cancel Culture’ Sekadar Hantu yang Kita Takuti?

Mari kita telaah lebih dalam. Apakah benar setiap orang yang “di-cancel” langsung jatuh miskin dan terlupakan? Faktanya, banyak dari mereka justru bangkit kembali. Ingatkah kalian dengan selebriti yang pernah tersandung kasus kontroversial, lalu tiba-tiba muncul lagi dengan buku baru atau reality show? Sepertinya, “cancel culture” lebih seperti jeda iklan daripada akhir dari segalanya.

Tentu, ada kasus-kasus yang mengerikan di mana orang kehilangan mata pencaharian karena kesalahan yang tidak sebanding dengan hukuman. Namun, seringkali, “cancel culture” lebih berfungsi sebagai alarm peringatan bagi mereka yang selama ini merasa kebal terhadap kritik. Ini adalah cara internet mengatakan, “Hei, perkataan dan tindakanmu punya konsekuensi.”

Yang menarik, “cancel culture” juga seringkali jadi ajang unjuk gigi bagi para aktivis daring. Mereka merasa memiliki kekuatan untuk mengubah dunia dengan satu tagar. Tapi, apakah kekuatan ini selalu digunakan dengan bijak? Atau justru menjadi senjata makan tuan yang melukai orang yang tidak bersalah?

Dari Cracker Barrel Sampai Charlie Kirk: Ketika Semua Orang Jadi Target

Baru-baru ini, dunia maya dihebohkan dengan insiden yang melibatkan restoran Cracker Barrel. Seorang karyawan dipecat karena mengunggah video yang dianggap ofensif. Reaksi netizen pun beragam, ada yang mendukung keputusan perusahaan, ada pula yang menganggapnya berlebihan. Ini adalah contoh klasik bagaimana “cancel culture” bisa merambah ke hal-hal yang tampaknya sepele.

Namun, ada pula kasus yang lebih serius, seperti pembunuhan Charlie Kirk yang memicu perdebatan tentang apakah kelompok sayap kanan juga mulai menerapkan “cancel culture”. Apakah ini berarti kita memasuki era di mana semua orang saling “men-cancel” satu sama lain? Bayangkan, dunia di mana setiap orang hidup dalam ketakutan akan membuat kesalahan, dan setiap kesalahan akan dihukum dengan pengucilan sosial.

Ironisnya, “cancel culture” yang awalnya bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan bertanggung jawab, justru bisa menciptakan iklim ketakutan dan polarisasi. Orang jadi enggan untuk berpendapat atau berekspresi karena takut akan reaksi negatif dari internet.

“Gimana Dong?”: Mencari Titik Tengah di Era Saling Serang

Lalu, apa solusinya? Apakah kita harus menghapus “cancel culture” sepenuhnya? Tentu tidak. Kita tidak bisa begitu saja mengabaikan kekuatan internet untuk meminta pertanggungjawaban. Tapi, kita juga tidak bisa membiarkan “cancel culture” menjadi ajang persekusi yang tidak terkendali.

Yang dibutuhkan adalah keseimbangan. Kita harus belajar untuk memberikan kesempatan kedua kepada orang yang melakukan kesalahan, asalkan mereka bersedia untuk mengakui kesalahan mereka dan belajar darinya. Kita juga harus lebih bijak dalam menggunakan kekuatan “cancel culture”, dan tidak mudah terpancing oleh emosi sesaat.

Mungkin, kita bisa belajar dari Erika Kirk, yang menggunakan pengalaman pribadinya untuk membahas isu-isu politik yang penting. Alih-alih menyembunyikan kesedihannya, ia justru membagikannya kepada publik, dan mendapatkan dukungan dari banyak orang. Ini adalah contoh bagaimana kita bisa mengubah pengalaman buruk menjadi sesuatu yang positif.

Stop! Atau Ibuku Nggak Bakal Pilih Aku Lagi Jadi Anak Kesayangan

Pada akhirnya, “cancel culture” adalah cerminan dari masyarakat kita yang semakin terpolarisasi. Kita hidup di era di mana setiap orang merasa paling benar, dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Kita lupa bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, dan bahwa kita bisa belajar banyak dari orang yang tidak sependapat dengan kita.

Jadi, mari kita berhenti saling “men-cancel” satu sama lain, dan mulai saling mendengarkan. Mari kita gunakan internet untuk membangun jembatan, bukan untuk membangun tembok. Karena, jika tidak, kita semua akan menjadi korban dari “cancel culture” itu sendiri.

Ingatlah, dunia ini sudah cukup rumit tanpa harus ditambah dengan drama internet yang tidak berkesudahan. Daripada sibuk “men-cancel” orang lain, lebih baik kita fokus untuk memperbaiki diri sendiri. Siapa tahu, dengan begitu, kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik, atau setidaknya, membuat hidup kita sendiri sedikit lebih menyenangkan.

Previous Post

Nano Banana: Tren AI Ubah Selfie Jadi Anime & Bollywood di Instagram

Next Post

Kim Yeon-Koung: Legenda Voli Jadi Pelatih ‘Anjing Ajaib’ di Acara TV Baru!

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *