Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

Charli XCX Balas Kritik “Kaum Tua” Soal Penampilan Glastonbury: “Basi”, Sindir Dampak Perbedaan Generasi

Headline: Charli XCX vs. Boomer: Autotune dan ‘Real Artist’, Masih Relevan?

Siapa yang bilang musik itu cuma soal nada dan lirik yang pas? Kadang, drama di baliknya lebih seru dari konser itu sendiri. Kali ini, giliran Charli XCX yang adu argumen sama komentar-komentar "bijak" dari kalangan yang lebih senior, atau yang akrab kita sapa dengan "Boomer," soal penampilannya di Glastonbury. Seru nih!

Glastonbury, salah satu festival musik terbesar di dunia, selalu jadi panggung buat banyak musisi keren unjuk gigi. Tapi, setelah Charli XCX tampil di The Other Stage, beberapa netizen—yang dia sebut "Boomer"—mulai nyinyir soal penggunaan autotune dan keputusannya tampil tanpa band tradisional. Apakah ini era baru perdebatan selera musik atau sekadar krisis eksistensi generasi?

Oke, mari kita bedah sedikit. Charli XCX memang dikenal dengan gayanya yang experimental dan berani. Album terbarunya, Brat, jadi bukti nyata. Dia bahkan sampai membakar bendera Brat raksasa di atas panggung! Tapi, ya namanya juga seni, pasti ada yang suka dan ada yang enggak. Yang penting, dia enggak ambil pusing.

Menurut Charli sendiri, komentar-komentar itu malah bikin dia terhibur. Dia bilang, ide bahwa penggunaan autotune itu "curang" atau bahwa musisi yang enggak pakai band tradisional itu bukan "seniman sejati" adalah pendapat yang paling membosankan sedunia. Yawn, katanya sambil pura-pura ngantuk. Savage!

Tapi, kenapa sih komentar-komentar semacam ini masih muncul? Apa karena ada perbedaan gap generasi yang terlalu besar? Atau karena memang ada standar baku soal "musik yang bagus" yang susah diubah? Mungkin juga karena Neil Young, si Boomer sejati, tampil di panggung utama (Pyramid Stage) di waktu yang sama. Jadi, ada semacam clash of the titans secara tidak langsung.

Charli XCX memang bukan nama baru di industri musik. Dia sudah lama membela penggunaan autotune sebagai bagian dari ekspresi artistiknya. Tapi, dia juga sadar bahwa enggak semua orang bakal suka. Bahkan, dia bilang bahwa album berikutnya mungkin saja flop. Tapi, dia enggak masalah! Yang penting, dia terus berkarya dan berani beda.

Ngomong-ngomong soal musik yang beda, kita jadi penasaran:

Autotune: Dosa atau Inovasi dalam Musik?

Autotune, teknologi yang awalnya dipakai buat mengoreksi nada vokal, sekarang malah jadi elemen penting dalam banyak genre musik. Tapi, pro dan kontra soal penggunaan autotune ini kayak enggak ada habisnya. Ada yang bilang autotune itu merusak esensi vokal yang raw, ada juga yang bilang itu alat kreatif yang bisa menghasilkan suara-suara unik.

Dari sudut pandang teknis, autotune itu algoritma yang mendeteksi nada yang dinyanyikan dan menggesernya ke nada yang paling dekat dalam skala musik. Nah, efek yang dihasilkan bisa macem-macem. Mulai dari koreksi yang halus sampai efek robotik yang khas. Contohnya, lagu-lagu T-Pain yang memorable banget karena penggunaan autotune yang ekstrem.

Tapi, kenapa sih autotune ini jadi kontroversial? Mungkin karena ada kesan bahwa autotune itu dipakai buat "menutupi" kekurangan vokal. Padahal, banyak musisi yang memakainya sebagai efek artistik, bukan sekadar alat bantu. Misalnya, Bon Iver yang terkenal dengan suara vokalnya yang diolah dengan autotune dan vocoder.

Selain itu, autotune juga sering dikaitkan dengan genre musik tertentu, seperti trap dan R&B kontemporer. Padahal, banyak juga musisi di genre lain yang memakainya. Yang jelas, autotune itu cuma alat. Tergantung bagaimana si musisi menggunakannya. Sama kayak kuas buat pelukis, atau digital audio workstation (DAW) buat produser musik.

Dan mari kita jujur, selera musik itu personal banget. Apa yang enak di telinga satu orang, belum tentu enak di telinga orang lain. Jadi, daripada sibuk menghakimi penggunaan autotune, mendingan fokus menikmati musiknya. Kalau enggak suka, ya tinggal ganti lagu. Simpel, kan?

Musik Tanpa Band: Seni Itu Fleksibel, Bro!

Nah, ini juga poin yang menarik. Kenapa sih harus pakai band tradisional buat jadi "seniman sejati"? Emang band itu satu-satunya cara buat bikin musik yang bagus? Di era digital ini, banyak musisi yang lebih memilih buat bereksperimen dengan synthesizer, sampler, dan software musik lainnya. Bahkan, ada yang bikin musik full di kamar tidur pakai laptop doang!

Lagipula, definisi "band tradisional" itu juga bisa beda-beda. Apakah harus ada gitar, bass, drum, dan vokal? Atau boleh pakai alat musik elektronik? Atau bahkan enggak pakai alat musik sama sekali? Yang jelas, batasan-batasan ini makin kabur seiring perkembangan teknologi dan kreativitas.

Banyak musisi yang sukses besar tanpa band tradisional. Sebut saja Grimes, yang terkenal dengan musik synth-pop eksperimentalnya. Atau Billie Eilish, yang bikin musik dark pop yang atmospheric bareng kakaknya, Finneas, di kamar tidur mereka. Mereka berdua membuktikan bahwa yang penting itu ide dan eksekusi, bukan format musiknya.

Lagipula, konser itu kan pengalaman visual dan audio. Kalau musisinya bisa menyajikan pertunjukan yang menarik dan menghibur, kenapa harus dipusingkan sama formasi bandnya? Yang penting kan penonton bisa menikmati musiknya, joget-joget, dan pulang dengan senyum lebar. Setuju?

Generasi Z dan Musik: Bukan Sekadar Nada

Generasi Z tumbuh besar di era digital, di mana informasi dan inspirasi ada di ujung jari. Mereka terbiasa mendengarkan musik dari berbagai genre, negara, dan era. Mereka juga lebih terbuka terhadap eksperimen dan inovasi. Jadi, enggak heran kalau mereka lebih appreciate musisi yang berani beda dan enggak takut melanggar aturan.

Buat Generasi Z, musik itu bukan cuma soal nada dan lirik. Tapi juga soal identitas, ekspresi diri, dan komunitas. Mereka mencari musisi yang relatable, yang punya pesan yang kuat, dan yang bisa menginspirasi mereka. Mereka juga aktif mencari musik baru di platform-platform streaming, media sosial, dan komunitas online.

Generasi Z juga lebih peduli sama isu-isu sosial dan politik. Mereka mencari musisi yang berani menyuarakan pendapat mereka dan membela hak-hak mereka. Musik jadi alat untuk menyampaikan pesan dan menggalang dukungan. Makanya, enggak heran kalau banyak musisi yang aktif terlibat dalam gerakan-gerakan sosial.

Jadi, Intinya Apa?

Intinya, dunia musik itu terus berubah dan berkembang. Apa yang dulu dianggap tabu, sekarang bisa jadi tren. Apa yang dulu dianggap "musik yang bagus", sekarang bisa jadi "musik yang membosankan". Yang penting, kita harus tetap terbuka terhadap hal-hal baru dan enggak terpaku pada standar-standar lama. Lagipula, selera musik itu personal banget. Jadi, nikmati aja apa yang bikin kamu bahagia! Atau, seperti kata Charli XCX: Yawn.

Previous Post

AWARD Luncurkan ‘Crash’: Pelatihan Kilat Asah Soft Skills, Lahirkan Pemimpin Kreatif Masa Depan

Next Post

Pembubaran Retreat Siswa Kristen di Sukabumi: YLBHI dan Amnesty International Soroti Ancaman Kebebasan Beragama

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *