Dark Mode Light Mode

Chris Goss tentang Ginger Baker, David Bowie, dan Rick Rubin: Warisan Musikal

Musik itu seperti kopi pagi, kadang pahit, kadang bikin melek. Tapi kalau sudah klik, rasanya bisa bikin semangat seharian. Nah, baru-baru ini, Chris Goss, otak di balik Masters Of Reality dan legenda desert rock yang juga pernah bekerja sama dengan Kyuss dan Queens Of The Stone Age, berbagi cerita tentang perjalanan musiknya yang nyeleneh tapi inspiratif. Dari rambut Brian Jones sampai jamming bareng Ginger Baker, perjalanan Goss ini penuh warna dan pelajaran.

Mari kita selami dunia Chris Goss dan Masters Of Reality lebih dalam.

Dari Brian Jones Sampai “The Archer”: Kilas Balik Perjalanan Musik Chris Goss

Chris Goss bukanlah nama baru di industri musik. Lebih dari 40 tahun berkecimpung, ia telah memberikan kontribusi signifikan dalam dunia rock, terutama dalam genre desert rock. Pengaruhnya terasa di karya band-band seperti Kyuss dan Queens Of The Stone Age, yang mengukuhkan posisinya sebagai pionir. Tetapi, di balik kesuksesannya, ada cerita panjang tentang eksplorasi, inspirasi, dan tentunya, sedikit rebellious spirit.

Goss punya pandangan unik tentang inspirasi. Baginya, momen kehilangan sosok-sosok seperti David Bowie juga bisa jadi bahan bakar untuk berkarya. Album Blackstar milik Bowie menjadi pengingat untuk berhenti banyak berpikir dan mulai melakukan sesuatu. “Saya merasa punya analisis untuk ditambahkan,” ujarnya.

Album terbaru Masters Of Reality, The Archer, adalah hasil dari krisis pribadinya, bukan krisis dunia. Ini yang membuat album ini terasa lebih personal dan kurang esoteris. The Archer adalah cerminan dari perjalanan batin Goss yang terekam dalam melodi dan lirik.

“Penciptaan terjadi di otak selama jangka waktu tertentu, bukan ketika kamu berkata: ‘Oke, saya terikat kontrak untuk membuat album, jadi saya harus membuat musik sekarang.’ Saya harus terinspirasi untuk menulis album,” kata Goss. Proses kreatifnya membutuhkan waktu dan inspirasi yang tepat, bukan sekadar kewajiban kontrak. Kadang, butuh 16 tahun untuk menuangkan semua ide ke dalam sebuah album.

Simpel itu Kunci: Belajar dari Led Zeppelin

Goss punya filosofi sederhana dalam bermusik: simplicity is the key. Ia ingat betul momen ketika menyadari betapa sederhananya memainkan kord lagu Rock And Roll dari Led Zeppelin. “Apa yang Jimmy Page lakukan – awalnya – sangat sederhana. Dia adalah seorang master, dan seorang master tidak takut akan kesederhanaan,” jelasnya. Walaupun struktur lagu bisa jadi lebih kompleks seiring waktu, Goss selalu ingat bahwa kesederhanaan adalah akar dari segalanya.

Pengalaman masa kecil juga punya peran penting dalam membentuk selera musik Goss. Album Out Of Our Heads milik Rolling Stones, yang diberikan oleh bibinya, sangat membekas di ingatannya. Bukan hanya musiknya yang intens, tapi juga penampilan Brian Jones, terutama rambutnya. “Rambut Brian Jones adalah tolok ukur bagi saya,” kenangnya.

Jangan Lupakan Sunrise: Pentingnya Cahaya Alami

Selain musik, Goss juga tertarik dengan ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan frekuensi elektromagnetik dan cahaya alami. Ia adalah pengikut Doctor Jack Kruse, seorang ahli biologi sirkadian yang meneliti dampak negatif cahaya buatan. “Saya nocturnal, jadi saya tidak mendapatkan sinar matahari yang sangat penting tidak hanya untuk kulit kita, tetapi juga melanin internal kita, di otak kita,” ungkapnya.

Bagi Goss, warna dan frekuensi cahaya matahari saat sunrise sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik. Ia berusaha untuk melihat sunrise sesering mungkin untuk menyeimbangkan efek negatif dari blue light yang dipancarkan oleh perangkat elektronik. “Dengan blue light dan iPads dan iPhones, ada semacam pencucian otak indoor yang terjadi, dan itu memengaruhi semua orang. Ini adalah agenda trans-human, saya kira. Tapi saya tidak akan membahasnya sekarang,” ujarnya dengan nada bercanda.

Spiritualitas dalam Seni: Lebih dari Sekadar Esoteris

Goss percaya bahwa spiritualitas adalah bagian penting dari pekerjaan seorang seniman. “Spiritualitas adalah tema dari banyak seniman favorit saya, dari Kubrick hingga Bowie,” katanya. Baginya, seniman punya tugas untuk melihat di balik komunikasi modern dan mencari tahu siapa atau apa yang sebenarnya mendorongnya. “Saya bukan seorang intelektual, saya seorang pria blue-collar dengan frustrasi seorang pria blue-collar dan mungkin kemampuan untuk meringkas sesuatu secara lebih puitis. Tetapi saya biasanya menyembunyikannya di bawah lapisan omong kosong esoteris [tertawa],” tambahnya.

Membuat Musik di Era Budget Terbatas

Sebagai produser, Goss harus pintar-pintar mengatur anggaran, terutama di era ketika budget rekaman semakin terbatas. “Kami dulu bisa menghabiskan tiga bulan untuk membuat album, dengan latihan yang tepat dan waktu studio untuk bereksperimen, dengan budget 200.000 dolar,” kenangnya. Sekarang, budget rata-rata hanya sekitar 20.000 dolar, kecuali kalau kamu punya wajah dan penampilan menarik serta dukungan dari major label.

Meskipun demikian, Goss tetap berusaha untuk menghasilkan karya berkualitas tinggi. Ia bersyukur bahwa labelnya, Mascot, telah sabar dan mendukungnya selama ini. “Label saya [Mascot] sangat sabar dengan saya selama lima atau enam tahun terakhir, dan kami telah membuat sedikit menjadi banyak,” katanya.

Goss menambahkan bahwa studio rekaman terbaik adalah seperti ruang bawah tanah temanmu: tempat yang nyaman dan vibey untuk hang out. “Banyak studio yang melakukan transisi dari tahun tujuh puluhan ke delapan puluhan dan sembilan puluhan berubah dari suasana yang sangat keren menjadi ruang tamu Darth Vader. Semuanya hitam dan mengkilap. Saya cenderung menyukai tempat-tempat kumuh dan vibey yang terasa seperti ruang bawah tanah teman Anda, tempat yang ingin Anda kunjungi,” jelasnya.

Intinya, musik adalah perjalanan panjang yang melibatkan inspirasi, eksperimen, dan tentu saja, sedikit rebellious spirit. Seperti kata Chris Goss, yang terpenting adalah terus berkarya dan tidak takut untuk menjadi diri sendiri. Jadi, playlist kamu sudah siap untuk The Archer?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

VIOOH dan Outernet Hadirkan DOOH Programatik di Lokasi Ikonik London: Era Baru Iklan Luar Ruang

Next Post

CEPA Indonesia-UE: Pencapaian Strategis Pacu Pertumbuhan Ekonomi