Dark Mode Light Mode
Kaltim Didorong Optimalkan Budaya untuk Pembangunan
Cincin Teatrikal, Kekerabatan Naga, dan Alasan Membahas Rambut Pisang – Sorotan Dunia Game Minggu Ini
Google AI Overviews: Tantangan Bahasa Indonesia Soroti Keterbatasan AI

Cincin Teatrikal, Kekerabatan Naga, dan Alasan Membahas Rambut Pisang – Sorotan Dunia Game Minggu Ini

Siap-siap dompet jebol, gaes! Dunia game lagi panas nih. Dari adaptasi film yang bikin penasaran sampai remake klasik yang bikin nostalgia, ada aja yang bikin kita pengen upgrade PC atau konsol. Jangan kaget kalau tiba-tiba saldo ATM menipis ya!

Elden Ring Jadi Film? Siap-siap Debat Lore!

Studio A24, yang biasanya bikin film indie yang artsy, tiba-tiba mau bikin film Elden Ring! Kaget? Sama! Alexander Garland, sutradara keren di balik film Ex Machina, bakal jadi sutradaranya. Pertanyaannya, gimana caranya dunia Elden Ring yang luas dan penuh lore bisa dipadatkan jadi film?

Elden Ring itu kan daya tariknya di eksplorasi dunia yang open-world, bukan cuma cerita yang linier. Bayangin aja, kita harus nyeritain hubungan rumit para dewa dan demi-dewa, intrik politik, dan sejarah panjang berbagai suku. Wah, bisa bikin pusing sendiri tuh!

Ada yang bilang, adaptasi Elden Ring sebaiknya mirip film The Green Knight. Cerita tentang seorang Tarnished yang menjelajahi dunia yang luas, menghadapi monster-monster kuno yang menyerang karena kebiasaan, bukan karena dendam. Kedengerannya keren sih, tapi tetep aja bikin penasaran gimana eksekusinya.

Masalahnya bukan cuma di cerita, tapi juga di produksi. Bandai Namco pasti terlibat karena mereka yang punya IP. Tapi, yang paling penting itu script. Ingat kasus film Blade yang udah punya sutradara dan aktor tapi tetep aja gagal produksi? Semoga Elden Ring gak bernasib sama.

Yang bikin skeptis adalah banyaknya pengumuman proyek adaptasi video game yang ujung-ujungnya gak jelas juntrungannya. Semoga aja film Elden Ring ini beneran jadi, bukan cuma sekadar angin surga. Tapi, kalaupun gagal, yaudah sih, kita main aja Elden Ring lagi. Lebih seru!

Dragon Quest I & II HD-2D Remake: Nostalgia dengan Sentuhan Modern

Square Enix akhirnya ngasih kabar soal remake Dragon Quest I & II dalam format HD-2D! Setelah sukses dengan Dragon Quest III HD-2D Remake, banyak yang nungguin kelanjutan kisah Erdrick ini. Pre-order udah dibuka, lengkap dengan Collector's Edition yang bikin ngiler.

Tapi, Collector's Edition kali ini agak mengecewakan. Isinya mirip Dragon Quest III, yaitu game dan standee acrylic karakter-karakter penting. Bedanya, Dragon Quest I & II ngasih standee bos terakhir di setiap game, plus karakter utama dan Putri Gwaelin. Ada juga anjing, sebagai referensi penampilan awal Putri Moonbrooke.

Yang menarik, ada karakter baru yang belum dikasih nama, yang sepertinya bakal jadi anggota party Erdrick’s Scions. Nah, ini yang bikin penasaran! Selain Collector's Edition, pre-order juga ngasih in-game goodies, seperti stat-raising seeds dan Elevating Shoes yang nambah EXP setiap langkah. Lumayan buat grinding!

Sayangnya, ada kabar kurang enak soal Dragon Quest I & II HD-2D Remake versi Switch 2. Katanya, bakal dirilis dalam bentuk Game Key Card. Padahal, banyak yang berharap game ini bisa dimainin dengan cartridge fisik. Marvelous, dengan Rune Factory: Guardians of Azuma, udah nunjukkin kalau rilis fisik itu mungkin kok.

Pertanyaannya, kenapa Square Enix tiba-tiba jadi pelit sama remake franchise terbesar mereka? Padahal, mereka bisa aja nawarin upgrade pack buat versi Switch 1, atau fitur future-proofing buat Switch 2. Semoga aja kualitas gamenya tetep oke, meskipun ada beberapa keputusan yang bikin mikir.

Kita gak bisa berharap banyak dari remake Dragon Quest I, karena game aslinya emang pendek. Tapi, Dragon Quest II punya potensi besar buat dieksplorasi lebih jauh. Mungkin ada bos baru, side-quest tambahan, dan karakter baru yang bisa nambah kedalaman cerita.

Karakter baru ini bisa jadi anggota keempat Legendary Line Luminaries. Di game aslinya, kita cuma punya tiga karakter: Pangeran Midenhall, Pangeran Cannock, dan Putri Moonbrooke. Dengan nambahin karakter baru, cerita bakal lebih seru dan pemain punya sesuatu buat dieksplorasi.

Street Fighter 6 Art Contest: Saatnya Unjuk Gigi!

Capcom ngadain art contest buat ngerayain ulang tahun kedua Street Fighter 6! Ini kesempatan buat para artist unjuk gigi dan karyanya dipajang di dalam game. Caranya gampang: kirim aja fan art karakter-karakter Street Fighter 6, termasuk karakter baru kayak Elena.

Nanti, Capcom bakal milih satu pemenang buat setiap karakter. Karya pemenang bakal dipake sebagai Challenger art dan didistribusiin ke semua pemain. Selain itu, semua karya yang masuk bakal dipajang di Battle Hub, dan pemain bisa milih favorit mereka. Keren kan?

Capcom emang sering ngadain art contest, meskipun sekarang udah jarang. Dulu, di Mega Man, desain pemenang bakal dijadiin Robot Master baru! Yūsuke Murata, artist di balik One-Punch Man dan Eyeshield 21, bahkan pernah bikin dua Robot Master: Dust Man dan Crystal Man!

Art contest kayak gini bagus buat nyatuin komunitas gaming, ngasih wadah buat kreativitas, dan ngerayain fandom. Selain itu, ini juga cara bagus buat nambah konten baru ke game, meskipun cuma sekadar splash art. Nah, sekarang saatnya kita dukung para artist lokal dan tunjukkin kalau karya mereka lebih berharga dari AI-generated art! No offense buat AI, tapi tetep aja ada sentuhan manusia yang gak bisa digantiin.

Street Fighter 6 aja ngadain lomba gambar, masak kamu enggak? Siapa tahu karyamu bisa nampang di game dan diliat jutaan orang di seluruh dunia! Jangan ragu buat ikutan ya.

Intinya, dunia game selalu punya kejutan. Dari adaptasi film yang bikin penasaran sampai art contest yang ngasih kesempatan buat unjuk gigi, selalu ada sesuatu yang baru buat dieksplorasi. Jadi, siapin diri, siapin dompet, dan mari kita nikmatin dunia game yang seru ini!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Kaltim Didorong Optimalkan Budaya untuk Pembangunan

Next Post

Google AI Overviews: Tantangan Bahasa Indonesia Soroti Keterbatasan AI