Dark Mode Light Mode
Steam Siap Meluncur di Mac Apple Silicon: Era Baru Gaming Dimulai
Conor Oberst Bright Eyes: ‘Dulu Aku Berharap Tidak Pernah Bermusik’, Ungkap Implikasinya
Indo Defence 2025: KNDS Perkuat Kemitraan Strategis di Indonesia

Conor Oberst Bright Eyes: ‘Dulu Aku Berharap Tidak Pernah Bermusik’, Ungkap Implikasinya

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, seringkali kita mencari pelarian dalam seni, khususnya musik. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa musik bukan hanya sekadar hiburan, melainkan juga cermin dari perjalanan hidup seorang seniman, lengkap dengan suka, duka, dan bahkan gejolak politik?

Dari Omaha ke Panggung Dunia: Kisah Bright Eyes

Bright Eyes, band yang digawangi oleh Conor Oberst, mungkin terdengar asing bagi sebagian pendengar musik mainstream. Namun, bagi mereka yang tumbuh besar di era 90-an dan 2000-an, Bright Eyes adalah soundtrack kegelisahan dan harapan. Lahir dari scene indie Omaha, Nebraska, band ini berhasil mencuri perhatian dunia dengan lirik-lirik puitis dan melodi yang menyentuh hati.

Masa Muda di Antara Buku dan Gitar Akustik

Oberst menghabiskan masa remajanya di antara toko buku Antiquarium dan Cog Factory, sebuah venue kecil yang menjadi saksi bisu penampilan-penampilan awalnya. Bayangkan, seorang remaja belasan tahun, bersenjatakan gitar akustik dan segudang kata, mencoba menyampaikan isi hatinya kepada dunia. Cute, ya? Tapi jangan salah, di balik wajah polosnya, tersembunyi jiwa yang penuh gejolak.

Ketika Identitas Dibentuk oleh Sorotan Publik

Kesuksesan Bright Eyes datang tidak instan. Oberst telah berkeliling sejak usia 15 tahun. Namun, album Lifted Or the Story Is in the Soil, Keep Your Ear to the Ground (2002) dan dua album kembar I'm Wide Awake, It's Morning dan Digital Ash in a Digital Urn (2005) mengubah segalanya. Wajahnya terpampang di mana-mana. Dunia yang semakin terdigitalisasi dan kontroversi Perang Irak semakin menambah intensitas sorotan terhadap Oberst. "Apa yang terjadi padaku tidaklah terjadi dalam semalam karena aku telah melakukan tur sejak usia 15 tahun, dan saat ini aku berusia 25 tahun," katanya. "Namun tetap saja, aku pikir ketika dorongan besar ketenaran atau persona publik, identitas itu terjadi padaku, itu pasti mempengaruhiku. Aku benar-benar merasakan kegilaannya."

Mencari Kembali Esensi Musik yang Hilang

Dalam banyak hal, 20 tahun terakhir karir Oberst merupakan upaya untuk melepaskan diri dari intensitas itu dan menemukan kembali misteri dan kesenangan musik. Baginya, mempertahankan innocence dan apa yang dicintai dari musik terkadang menjadi hal yang sulit. Tapi ia berusaha keras untuk mengingat apa arti musik baginya, lebih dari sekadar sebuah karir.

Musik Sebagai Pelipur Lara dan Sumber Kekuatan

Oberst belajar bahwa tidak banyak musik dalam bisnis musik. Namun, musik secara konsisten memberikan makna bagi hidupnya, menjadi sumber hiburan dan kebahagiaan. "Selain keluarga, teman dan orang yang dicintai, saya akan mengatakan itu adalah hal yang paling konsisten dalam hidup saya. Tidak ada yang lain. Saya tidak religius, saya juga bukan anggota terlalu banyak klub atau apa pun, hanya musik yang membuat saya bisa melewatinya." Musik baginya, adalah tempat untuk memahami apa yang sedang terjadi, sebuah tempat yang hanya untuk dirinya sendiri.

Bangkit dari Masa Kelam: Ketika Musik Menjadi Penyelamat

Beberapa tahun terakhir tidak selalu mudah bagi Oberst. Ada perceraian, kehilangan salah satu saudaranya, dan tuduhan pelecehan seksual oleh seorang penggemar wanita. Meskipun tuduhan tersebut kemudian dicabut, peristiwa itu meninggalkan luka yang dalam. Musik berperan penting dalam membantunya kembali ke dunia. Ia menyebutnya sebagai "masa ketika aku berharap aku tidak pernah membuat musik, dan berharap tidak ada yang pernah mendengarnya. Dan itu adalah perasaan paling menyedihkan di dunia ketika itu adalah seluruh hidupmu, hanya ingin tidak ada."

Reuni dengan Sahabat Lama dan Semangat Punk yang Terbarukan

Musim gugur lalu, Bright Eyes merilis album ke-11 mereka, Five Dice, All Threes. Album ini menangkap semangat punk rock masa muda yang sempat dilupakan Oberst. Ia berterima kasih kepada temannya, Alex Levine, yang membantunya dalam penulisan lagu pada saat Oberst telah kehilangan minat pada segalanya. Levine meyakinkannya untuk kembali berkarya, dan hasilnya adalah album yang penuh energi dan semangat baru.

Kembalinya Semangat Politik: Tidak Ada Waktu untuk Berdiam Diri

Oberst kembali menunjukkan semangat politiknya. Ia mengecam berbagai isu sosial dan politik, mulai dari Elon Musk hingga penyerangan terhadap hak-hak kaum transgender. Ia merasa bahwa dunia semakin kacau, dan tidak ada waktu untuk bersikap tenang. "Aku merasa mungkin ada masa di awal usia 30-an ketika aku berpikir: ‘Aku seharusnya tumbuh dewasa. Seharusnya tidak marah pada dunia. Seharusnya menjadi sesuatu yang nyata yang bisa didukung oleh banyak orang,'" katanya. "Karena orang lebih menyukai gagasan tentang kemarahan daripada kemarahan itu sendiri. Mereka menyukai aspek performatifnya. Tapi masalahnya, aku benar-benar merasakannya. Aku benar-benar membenci hal-hal ini dan aku selalu membencinya, dan itu sulit karena aku tidak bisa tidak menunjukkannya."

Menginspirasi Generasi Baru untuk Bersuara

Di konser-konser Bright Eyes, Oberst mendorong penontonnya untuk bersuara. Ia mengatakan bahwa dunia semakin kacau, dan tidak ada waktu untuk berdiam diri. "Apa yang kukatakan kepada anak-anak di konser setiap malam adalah kalian tidak bisa menunggu. Pada saat kalian menyadari betapa buruknya, sudah terlambat, dan itu adalah sesuatu yang kita ketahui dari sejarah. Jangan menunggu sampai keren untuk turun ke taman dan berprotes. Ada alarm yang berbunyi di atas kepala kita sekarang dan kita semua harus berteriak sekeras-kerasnya."

Warisan Musik: Melintasi Batas dan Mempersatukan

Oberst terkadang mengenang masa remajanya di Omaha, ketika Rage Against the Machine adalah satu-satunya kesamaan musik yang bisa ia temukan dengan para atlet sekolah menengah atas. Ia bertanya-tanya apakah ada di antara mereka yang menyadari bahwa mereka pada dasarnya mendengarkan manifesto komunis. Setiap malam, Oberst melihat penonton baru, dari anak-anak kecil hingga wanita berusia delapan puluhan yang datang bersama cucunya. Ia menemukan harapan dalam kerumunan ini, sebuah bukti peran musik dalam perlawanan. "Saya pikir musik itu ajaib," katanya, "Saya pikir itu dapat melintasi semua garis politik."

Bright Eyes: Bukan Sekadar Musik, Tapi Juga Perjalanan Hidup

So, apa yang bisa kita pelajari dari kisah Bright Eyes dan Conor Oberst? Bahwa musik bukan hanya sekadar rangkaian nada dan lirik, melainkan juga cermin dari perjalanan hidup seorang seniman. Musik bisa menjadi pelipur lara, sumber kekuatan, dan bahkan alat untuk mengubah dunia. Terkadang, musik juga bisa menjadi pengingat bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi kegelisahan dan harapan.

Temukan Soundtrack-mu Sendiri: Berani Bersuara!

Jadi, jangan hanya menikmati musik sebagai hiburan semata. Coba dengarkan dengan hati, resapi liriknya, dan temukan makna yang tersembunyi di baliknya. Siapa tahu, kamu bisa menemukan soundtrack untuk perjalanan hidupmu sendiri. Dan yang terpenting, jangan takut untuk bersuara! Karena seperti kata Oberst, "Tidak ada waktu untuk berdiam diri."

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Steam Siap Meluncur di Mac Apple Silicon: Era Baru Gaming Dimulai

Next Post

Indo Defence 2025: KNDS Perkuat Kemitraan Strategis di Indonesia