Halo, pernah nggak sih ngerasa sakit punggung yang nggak ilang-ilang? Jangan-jangan bukan cuma salah posisi tidur, tapi ada “penghuni” nggak diundang di tulang belakangmu. Serem, kan? Nah, kali ini kita bahas tentang Corynebacterium striatum (C. striatum), bakteri yang biasanya kalem di kulit, eh, malah bikin onar di tulang belakang.
Sakit Punggung? Mungkin Ada Tamu Tak Diundang!
C. striatum itu bakteri Gram positif, aerob, dan anaerob fakultatif. Singkatnya, dia bisa hidup di lingkungan dengan atau tanpa oksigen. Biasanya, bakteri ini nongkrong santai di kulit dan selaput lendir manusia. Tapi, jangan salah, dia juga bisa jadi Multi-Drug Resistant (MDR) alias kebal obat, apalagi kalau udah berurusan sama operasi atau infeksi aliran darah. Bisa-bisa bikin infeksi sendi lutut atau spondilitis, yaitu radang tulang belakang. Padahal biasanya, bakteri ini muncul setelah operasi, tapi kadang juga bisa nyebar lewat darah.
Yang bikin geleng-geleng kepala, spondylodiscitis yang disebabkan oleh C. striatum itu jarang banget. Bahkan, cuma ada satu kasus tercatat di literatur medis sebelumnya! Ini tuh, kayak ada pesta radang yang merusak cakram tulang belakang, tulang belakangnya sendiri, sampai struktur di sekitarnya. Akibatnya? Bisa sepsis akut, gangguan saraf gara-gara abses epidural, sampai kerusakan organ. Nggak lucu, kan?
Meskipun kasus pasca-trauma atau pasca-operasi makin sering, sekitar 20% kasus spondylodiscitis itu muncul tanpa alasan yang jelas. Makanya, diagnosisnya suka telat karena gejalanya nggak spesifik. Imbasnya, tingkat kematian bisa sampai 27%! Bayangin aja, udah sakit, diagnosis telat, risiko kematian tinggi pula.
Ngomongin soal pengobatan, infeksi C. striatum ini challenging banget. Soalnya, bukti ilmiah buat milih antibiotik dan dosisnya itu terbatas. Sekarang, para ahli menekankan pentingnya menggabungkan prinsip pharmacokinetic/pharmacodynamic (PK/PD) dengan data uji sensitivitas in vitro. Tujuannya? Biar antibiotiknya bisa nembus sampai ke lokasi infeksi.
Antibiotik seperti vancomycin dan linezolid lumayan efektif in vitro dan in vivo. Seringnya, sih, perlu dikombinasikan sama aminoglycosides kayak gentamicin biar efeknya lebih kuat. Amikacin, antibiotik spektrum luas, juga berguna buat infeksi sistemik parah kalau digabung sama antibiotik yang efektif melawan bakteri Gram positif. Nah, dalam kasus ini, ada pasien yang berhasil sembuh dari spondylodiscitis C. striatum berkat kombinasi linezolid dan amikacin.
Ketika Punggung Berbicara: Kisah Seorang Pasien
Seorang pria berumur 54 tahun datang dengan keluhan sakit punggung bawah yang udah berlangsung sebulan. Sakitnya makin parah dalam 20 hari terakhir dan menjalar ke pinggul. Dia nggak punya riwayat trauma, demam, penurunan berat badan, operasi, atau kanker. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan nyeri saat tulang belakang lumbar fleksi dan ekstensi, nyeri tekan, dan perkusi prosesus spinosus di L4–L5, serta penjalaran ke bokong kiri, termasuk hipoestesia kulit bokong kiri dan paha lateral.
Hasil lab menunjukkan kadar C-reactive protein (CRP) 16.47 mg/L, erythrocyte sedimentation rate (ESR) 35 mm/jam, jumlah sel darah putih 14.6 × 109/L, kadar blood urea nitrogen (BUN) 6.90 mmol/L, dan kadar serum creatinine (CRE) 75 µmol/L. Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan penyempitan resesus lateral kiri di L5–S1 dan perubahan sinyal sumsum tulang di L4–L5. Kayak ada yang “mencurigakan” di area tulang belakangnya.
Pada hari ketiga dirawat, pasien menjalani biopsi diskus L4/5. Jaringan yang diangkat dikirim untuk analisis patologis dan mikrobiologi. Setelah operasi, langsung dikasih cefazolin sodium (2.0 g, setiap 8 jam) untuk spondylodiscitis biasa. Eh, di hari ke-6, C. striatum terdeteksi di kultur bakteri sampel darah. Dua hari inkubasi menghasilkan pertumbuhan koloni kecil, non-hemolitik, berwarna putih susu pada lempeng agar darah Columbia dari empat kultur sampel darah. Serupa tapi tak sama, C. striatum juga teridentifikasi dalam kultur bakteri jaringan biopsi diskus di hari ke-7. Gram staining apusan jaringan juga mengidentifikasi C. striatum. Wah, fix ada “penghuni” nggak diundang!
Identifikasi dua koloni dari biopsi darah dan jaringan sebagai C. striatum dicapai melalui matrix-assisted laser desorption ionization time-of-flight mass spectrometry (MALDI-TOF MS) dan dikonfirmasi dengan 16S rRNA sequencing. Karena itu, vancomycin (1.0 g, setiap 12 jam) ditambahkan ke rejimen anti-infeksi.
Ganti Strategi, Hasilnya Fantastis!
Setelah 12 hari pengobatan vancomycin, kadar CRP dan ESR masih lebih tinggi dari normal, menunjukkan kurangnya efikasi. Karena itu, pasien menerima linezolid (0.6 g, setiap 12 jam) sebagai pengganti vancomycin selama 8 hari. Meskipun begitu, kadar CRP dan ESR tidak menurun, tetapi kadar BUN (7.73 mmol/L) dan CRE (88.4 µmol/L) berada dalam kisaran normal. Antibiotic sensitivity test (AST) dilakukan menggunakan commercial kit (metode dilusi kaldu, Zhongaisheng, Hebei, China), dan hasilnya mengungkapkan bahwa strain yang diisolasi dari kultur darah dan jaringan sensitif terhadap gentamicin, cefepime, cefotaxime, meropenem, ciprofloxacin, tetracycline, doxycycline, daptomycin, rifampicin, vancomycin, dan linezolid tetapi resisten terhadap erythromycin dan clindamycin.
Karena infeksi tidak terkontrol dan hasil AST, patogen lain dicurigai. Karena itu, amikacin (0.6 g/hari) ditambahkan ke rejimen anti-infeksi. Pengobatan dengan linezolid (0.6 g, setiap 12 jam) plus amikacin (0.6 g/hari) dimulai sebagai pengganti linezolid saja pada hari ke-27 rawat inap. Data hematologi dan kadar CRP kembali normal pada hari ke-41, menunjukkan infeksi terkendali. Pasien dipulangkan dengan rejimen linezolid oral selama 2 minggu. Pada tindak lanjut terakhir setelah 68 hari (24 Juni 2023), MRI mengungkapkan tidak ada kekambuhan klinis.
Pelajaran Berharga dari Kasus Ini
Spondilitis spontan yang disebabkan oleh C. striatum jarang dilaporkan, dan biasanya diamati pada individu dengan gangguan kekebalan tubuh, terutama mereka yang menderita diabetes, imunosupresi, dan gagal ginjal stadium akhir, dan pada pasien yang lebih tua. Disepakati secara luas bahwa terjadinya infeksi tulang belakang, seperti diskitis idiopatik, semakin meningkat. Berdasarkan kasus ini, diyakini lebih lanjut bahwa kolonisator yang awalnya dianggap sebagai kontaminan tidak berbahaya dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Lebih krusial lagi, kasus ini menekankan perlunya memandang C. striatum sebagai patogen dalam konteks medis tertentu.
Virulensi spesies C. striatum tidak boleh diremehkan, terutama pada pasien dengan fungsi kekebalan tubuh normal. Pasien dalam kasus ini mengalami infeksi C. striatum yang mengakibatkan nyeri punggung bawah dan kadar CRP dan ESR yang lebih tinggi. Namun, pasien tidak mengalami demam yang konsisten dengan deskripsi literatur: demam kurang umum dalam kasus kecurigaan klinis diskitis, terhitung 48% hingga 63% kasus. Dengan demikian, identifikasi patogen harus dipertimbangkan pada pasien dengan fungsi kekebalan tubuh normal yang mengembangkan nyeri tulang belakang yang tidak dapat dijelaskan, terutama pada mereka dengan penanda inflamasi laboratorium yang meningkat. Tidak hanya dalam kasus demam, tetapi juga dalam kasus klinis yang ringan dan pada pasien tanpa demam.
Penelitian mengungkapkan bahwa 16S rRNA sequencing dan MALDI-TOF MS sangat andal untuk mengidentifikasi patogen. Dalam kasus ini, koloni diidentifikasi sebagai C. striatum, dengan skor 2.300 (darah) dan 2.245 (jaringan) setelah 2 hari inkubasi pada agar darah. Demikian pula, 16S rRNA sequencing mengkonfirmasi identitas tingkat spesies (homologi 100%) antara sampel darah dan jaringan, dengan urutan identik yang diamati untuk kedua jenis spesimen. Untuk deteksi cepat patogen ini, disarankan untuk menggunakan MALDI-TOF MS setelah koloni diisolasi. Karena kenyamanan, akurasi, dan biaya reagen dan bahan habis pakai yang rendah, ini juga diterapkan secara efektif dalam berbagai bidang mikrobiologi klinis.
Seperti yang direkomendasikan Streifel et al, terapi antibiotik dapat dianggap sebagai pilihan pengobatan yang masuk akal. Vancomycin dan linezolid adalah salah satu agen anti-infeksi yang telah berhasil digunakan untuk mengobati infeksi C. striatum. Isolat C. striatum dalam penelitian ini rentan terhadap gentamicin, vancomycin, dan linezolid tetapi secara intrinsik resisten terhadap beberapa antibiotik, seperti erythromycin, clindamycin, dan co-trimoxazole. Profil kerentanan antibiotik sebagian besar mirip dengan yang dilaporkan oleh Alibi et al. Mengingat bahwa profil kerentanan antibiotik setiap isolat bervariasi dengan cara yang tidak dapat diprediksi, AST yang tepat harus dilakukan untuk menentukan agen antimikroba mana, termasuk makrolida, lincosamida, fluoroquinolon, beta-laktam, dan rifampisin, yang efektif untuk mengobati infeksi C. striatum sebelum memulai terapi antibiotik. Untuk pasien ini, meskipun terapi dipandu secara mikrobiologis dan pemberian monoterapi vancomycin-linezolid-rejimen yang terkait dengan penyembuhan klinis-penanda inflamasi yang meningkat menunjukkan kontrol infeksi yang suboptimal. Perbedaan ini menyoroti tantangan multifaktorial dalam mengelola infeksi tulang belakang, termasuk komorbiditas atau variasi imunometabolik, dinamika virulensi patogen, dan keterbatasan farmakokinetik antibiotik. Khususnya, model eksperimen mengungkapkan penurunan penetrasi tulang vancomycin selama osteomielitis progresif, yang berpotensi menjelaskan respons terapeutik yang dilemahkan pada infeksi yang mengakar dalam. Selain itu, meningkatnya prevalensi patogen MDR semakin mempersulit strategi pengobatan. Data saat ini menunjukkan tingkat resistensi yang tinggi di antara organisme Gram negatif terhadap agen lini pertama seperti cefazolin dan ciprofloxacin, yang membutuhkan cakupan spektrum luas dalam skenario polimikroba atau berisiko tinggi. Amikacin ditambahkan ke rejimen anti-infeksi untuk mengendalikan patogen lain. Tetapi, terapi kombinasi tetap kontroversial, dengan bukti heterogen yang mendukung sinergisme β-laktam/glikopeptida.
Secara keseluruhan, kasus ini menarik karena sangat jarang organisme non-stafilokokus yang parah menginvasi tulang belakang individu yang sehat. C. striatum dapat menyebabkan infeksi invasif yang parah pada berbagai jaringan, dan infeksi ini juga dapat terjadi pada inang yang imunokompeten. Menurut literatur yang ada dan tren kerentanan, linezolid adalah pengobatan lini pertama yang paling sesuai.
Jadi, kalau kamu atau orang terdekatmu mengalami sakit punggung yang nggak biasa, jangan ragu untuk konsultasi ke dokter. Siapa tahu, ada “penghuni” nggak diundang yang harus segera diusir. Lebih baik mencegah daripada mengobati, kan?