Dark Mode Light Mode

Cuaca Batin: Bagaimana Celeste Menemukan Kembali Musik Setelah Patah Hati dan Kehilangan

Siapa bilang jadi musisi itu cuma soal vibing di atas panggung? Buat Celeste, perjalanan berkarya itu kayak rollercoaster yang lebih panjang dari antrean konser idol K-pop. Dari panggung Glastonbury sampai dapur rekaman, hidupnya penuh lika-liku yang akhirnya membentuk album terbarunya, “Woman of Faces”.

Dari Mimpi Hingga Kenyataan: Perjalanan Panjang Celeste

Celeste Waite, atau yang lebih dikenal sebagai Celeste, mencuri perhatian dunia musik pada tahun 2020. Suaranya yang khas, mengingatkan pada Billie Holiday dengan sentuhan British yang elegan, membuatnya menjadi fenomena. Album debutnya, Not Your Muse, langsung menduduki puncak tangga lagu dan mendapatkan nominasi Mercury Prize. Belum lagi penghargaan BBC Sound of 2020 dan Brit Award untuk Rising Star. Bahkan, ia dinominasikan untuk Oscar berkat lagu “Hear My Voice” dari film The Trial of the Chicago 7. Namun, pandemi global menghantam, dan ambisi tur dunianya terpaksa ditunda.

Masa-masa sulit itu membuatnya bertanya-tanya, “Apakah aku masih berada di jalan yang benar?”. Keraguan ini menjadi bahan bakar untuk menciptakan karya yang lebih dalam dan personal. Proses pembuatan album kedua, “Woman of Faces”, memakan waktu lima tahun. Bukan waktu yang singkat, tapi setiap detiknya diisi dengan refleksi dan eksplorasi diri.

Album ini bukan sekadar kumpulan lagu, tapi juga cerminan dari perjalanan emosional Celeste. Judulnya sendiri merupakan “diagnosis” dari perasaannya. Ia ingin memahami kompleksitas dirinya sebagai seorang perempuan dan seniman. Lahir di California dari ibu asal Dagenham dan ayah Jamaika, Celeste tumbuh besar di Inggris setelah orang tuanya berpisah. Masa kecilnya penuh kenangan indah bersama nenek dan kakeknya. Namun, ada juga sedikit rasa melankolis yang selalu menyertainya.

“Mungkin karena aku tidak punya akar yang kuat,” ujarnya. Pindah dari Amerika ke Inggris membuatnya merasa kehilangan koneksi dengan orang-orang yang pernah dikenalnya. Ia sempat khawatir akan mengalami masalah kesehatan mental. Namun, ia menemukan pelipur lara dalam musik seniman lain. Lirik, emosi, melodi, bahkan gaya berpakaian mereka, menjadi obat baginya.

Berbeda dengan Adele atau Amy Winehouse, Celeste tidak mengenyam pendidikan di Brit School. Ia belajar music technology di Brighton dan bekerja di pub untuk membiayai karirnya. Ia bersyukur karena belajar menyanyi secara otodidak. Hal ini memberinya kebebasan untuk mengembangkan suara yang unik dan otentik. Kehilangan ayahnya karena kanker paru-paru pada usia 16 tahun menjadi titik balik dalam hidupnya. Musik menjadi fokusnya, cara untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali semangat hidup.

“Woman of Faces”: Lebih Dari Sekadar Album

“Woman of Faces” bukanlah sekadar album pop biasa. Celeste menginginkan sesuatu yang lebih cinematic, terinspirasi oleh komposer film seperti Bernard Herrmann. Hasilnya adalah symphonic jazz yang memukau, dengan orkestra string yang terdengar segar dan modern.

Album ini mengeksplorasi tema-tema kompleks seperti cinta, kehilangan, dan dampak teknologi terhadap kehidupan manusia. Lagu “On With the Show”, misalnya, ditulis saat ia berada di titik terendahnya setelah putus cinta. Ia merasa kehilangan makna dan tujuan dalam musik. Namun, ia berhasil menemukan kembali keberanian untuk melepaskan sesuatu dan kembali ke jalannya sebagai penyanyi.

Celeste juga menyoroti dampak negatif media sosial terhadap hubungannya. Sebagai figur publik, ia merasa bahwa interaksi di dunia maya telah merusak kehidupan pribadinya. Lagu “Could Be Machine” terinspirasi oleh Lady Gaga dan mengeksplorasi gagasan bahwa semakin banyak waktu yang kita habiskan dengan teknologi, semakin kita menjadi bagian dari itu.

Menemukan Jati Diri di Tengah Badai

Celeste belajar banyak tentang dirinya sendiri selama proses pembuatan album “Woman of Faces”. Ia menyadari bahwa cinta bisa membuatnya kembali ke “keadaan seperti anak kecil”, versi dirinya yang paling murni sebelum dunia mempengaruhinya. Kehilangan orang yang dicintai membuatnya harus belajar bagaimana mengarahkan dan membimbing dirinya sendiri untuk menemukan kembali jati dirinya.

Ia terinspirasi oleh musisi seperti Nina Simone, yang mampu mengungkapkan tragedi dan kemenangan hidupnya melalui musik. Ia juga terinspirasi oleh film musikal An American in Paris dan Oscar Levant, yang berjuang dengan masalah kesehatan mental. Celeste merasa terhubung dengan seniman-seniman yang membawa rasa sakit dalam diri mereka, tetapi mampu meringankannya melalui karya mereka.

Kebahagiaan Itu Sederhana: Kunci dari Segalanya

Setelah melewati masa-masa sulit, Celeste akhirnya menemukan kebahagiaan dalam hubungan yang positif dan saling mendukung. Ia senang berada di usia 30-an. “Usia seringkali menjadi tabu bagi perempuan di industri musik, tetapi kemudian Anda mendengar orang-orang seperti Solange berbicara tentang perempuan yang benar-benar menemukan jati diri mereka dalam pekerjaan mereka. Ada pergeseran,” jelasnya.

Jika kebahagiaan dalam karirnya memudar, ia siap untuk melanjutkan hidup. “Saya tidak benar-benar melihat perlunya hidup dalam perasaan tertindas, ketika saya tahu ada begitu banyak kebebasan di luar dunia ini. Dan bagaimanapun, saya yakin saya akan menemukan jalan kembali kepadanya lagi. Tetapi dengan persyaratan saya sendiri,” tutupnya.

Jadi, apa takeaway dari cerita Celeste? Bahwa menjadi seorang seniman itu bukan cuma soal skill, tapi juga soal keberanian untuk jujur pada diri sendiri, belajar dari pengalaman, dan menemukan kebahagiaan di tengah badai kehidupan. Siapa tahu, album “Woman of Faces” ini bisa jadi soundtrack untuk perjalanan hidupmu juga.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

iPhone 17 Pro Max: Jadwal Rilis AS, Inggris, Kanada, Harga, Kamera & Spesifikasi Terungkap

Next Post

Pemandu Snorkeling Inggris Tewas Saat Menyelam di Pantai Pink Indonesia