Siap-siap, gaes! Dunia kecerdasan buatan (AI) lagi seru banget nih. Dulu, kayaknya AI cuma ngerti bahasa dan budaya Barat aja. Tapi sekarang, kita udah mulai bikin AI yang beneran "lokal" dan relatable sama kita-kita di Asia Tenggara. Tapi, bikin AI lokal ini nggak segampang bikin Indomie rebus tengah malam, lho. Ada banyak tantangan yang harus kita hadapi.
Tantangan Bikin AI Lokal: Lebih Rumit dari Tugas Akhir!
Asia Tenggara itu multiverse bahasa! Ada lebih dari 1.200 bahasa yang digunakan. Bayangin aja, bikin satu AI yang bisa ngerti semua bahasa itu kayak nyari jarum dalam tumpukan jerami, sambil dengerin musik dangdut koplo. Nggak kebayang ribetnya kan?
Selain itu, bahasa di sini juga nggak cuma soal kata-kata. Ada sejarah panjang, budaya, dan nilai-nilai yang tersembunyi di balik setiap bahasa. Bikin AI yang cuma bisa nerjemahin kata-kata doang nggak cukup. Kita butuh AI yang bisa ngerti konteks dan nuansa budaya yang ada.
Salah satu kendala utama adalah minimnya data berkualitas tinggi. Data ini penting banget buat ngelatih AI biar makin pinter. Sayangnya, data dalam bahasa-bahasa daerah di Asia Tenggara masih terbatas. Ibaratnya, kita mau masak rendang, tapi cuma punya santan instan sama bumbu seadanya.
Kurangnya akses ke computing power juga jadi masalah. Bikin dan ngelatih model AI itu butuh daya komputasi yang gede banget, kayak lagi nge-render video 8K. Banyak pengembang AI lokal yang nggak punya akses ke sumber daya ini. Mereka terpaksa harus puas dengan fine-tuning model AI yang udah ada.
Dari BERT Sampai Qwen: Perjalanan AI Lokal
Awalnya, pengembang AI di Asia Tenggara banyak yang fine-tuning model AI yang udah ada, kayak BERT dari Google atau RoBERTa dari Meta. Model-model ini dilatih lagi dengan data yang lebih spesifik untuk bahasa-bahasa di Asia Tenggara. Hasilnya, muncullah model AI kayak PhoBERT (Vietnam), IndoBERT (Indonesia), dan Typhoon (Thailand).
Munculnya Qwen dari Alibaba Cloud di tahun 2024 jadi angin segar. Qwen nawarin opsi yang lebih beragam buat pengembang AI di Asia Tenggara. Studi dari Carnegie Endowment for International Peace nunjukkin kalo lima dari 21 model AI regional yang diluncurkan tahun itu dibangun di atas Qwen.
Tapi, ada satu hal yang perlu diingat. Meskipun fine-tuning model AI asing bisa jadi solusi cepat, kita juga harus hati-hati sama bias yang mungkin ada di dalam model tersebut. Model AI dari Barat mungkin punya bias terhadap budaya dan nilai-nilai Barat. Begitu juga dengan model AI dari Tiongkok. Jangan sampai AI kita malah jadi corong ideologi negara lain.
Membangun AI Mandiri: Saatnya Merdeka!
Untungnya, pengembang AI di Asia Tenggara nggak tinggal diam. Mereka mulai membangun model AI dari nol, dengan menggunakan data dari bahasa-bahasa lokal. SEA-LION, PhoGPT, dan MaLLaM adalah beberapa contoh model AI yang dibangun dengan pendekatan ini.
SEA-LION, misalnya, dilatih dengan data dari 11 bahasa regional di Asia Tenggara. Dengan menggunakan arsitektur Google, SEA-LION berhasil memfasilitasi pengembangan model AI homegrown kayak Sahabat-AI, yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, Sunda, Jawa, Bali, dan Batak. Sahabat-AI bahkan dengan bangga menyebut dirinya sebagai "bukti komitmen Indonesia terhadap kedaulatan AI."
Lebih Dari Sekedar Teknologi: Memahami Budaya Lokal
Membangun AI yang representatif nggak cuma soal teknologi. Kita juga harus punya pemahaman yang kuat tentang budaya dan nilai-nilai lokal. Gimana caranya AI bisa merepresentasikan perspektif Asia Tenggara kalo kita sendiri nggak paham sejarah dan dinamika sosial di sini?
Misalnya, konsep waktu dan ruang yang kita pahami saat ini mungkin beda sama cara masyarakat adat memahaminya. Tulisan-tulisan sejarah Bali yang nggak mengikuti pola kronologi konvensional mungkin dianggap sebagai mitos atau legenda oleh orang Barat. Padahal, tulisan-tulisan itu punya peran penting dalam membentuk cara masyarakat Bali memahami dunia.
Sejarahwan juga sering ngingetin kita untuk nggak maksain perspektif Barat saat menafsirkan teks-teks lokal. Dulu, administrator kolonial Belanda sering salah menafsirkan kronik Jawa karena mereka maksain pemahaman mereka sendiri. Akibatnya, banyak pengamatan bias dari orang Eropa tentang orang Asia Tenggara yang malah dianggap sebagai catatan sejarah yang valid. Kalo data kayak gini yang dipake buat ngelatih AI, bias-bias itu bisa makin kuat.
Intinya, data nggak sama dengan pengetahuan. Bahasa itu inherently sosial dan politis. Jadi, untuk bisa punya peran dalam era AI ini, kita nggak cukup cuma bikin model AI yang bisa ngomong bahasa lokal. Kita juga harus sadar untuk menyaring bias-bias lama, mempertanyakan asumsi tentang identitas kita, dan menggali kembali khazanah pengetahuan lokal dalam bahasa kita sendiri. Kita nggak bisa merepresentasikan budaya kita dengan baik lewat teknologi kalo kita sendiri nggak paham sama budaya kita.
Jadi, gaes, bikin AI lokal itu nggak cuma soal bikin program komputer. Ini juga soal melestarikan budaya dan identitas kita. Yuk, sama-sama bangun AI yang nggak cuma pinter, tapi juga punya hati dan jiwa Indonesia!