System of a Down: Kalau Nggak Ada, Scars on Broadway Pun Jadi
Bayangkan ini: Anda lagi nungguin album baru dari System of a Down (SOAD) sejak 2005. Lama banget, kan? Sementara nunggu kode keras dari SOAD, mending dengerin album baru Daron Malakian, si gitaris SOAD, bareng proyek solonya, Daron Malakian and Scars on Broadway. Albumnya, “Addicted to the Violence,” mungkin nggak se-absurd dan se-nyeleneh SOAD dengan vokalnya Serj Tankian, tapi nuansa dan strukturnya mirip-mirip, kok. Ibaratnya, ini comfort food buat penggemar SOAD yang lagi kelaparan.
Daron Malakian sendiri bilang semua lagunya bisa aja cocok buat Scars atau SOAD. Kenapa? Karena signature style-nya ada di sana. Malakian punya pendekatan unik dalam bikin lagu. Dia nggak cuma bawa riff gitar ke band. Contohnya, lagu “Aerials” dari SOAD, itu dia bikin dari awal sampai akhir sebelum nunjukin ke yang lain. Kreatif banget, kan?
“Addicted to the Violence” dirakit selama lima tahun terakhir, isinya lagu-lagu yang udah ditulis Malakian selama dua dekade. Lagu paling tua, “Satan Hussein,” bahkan udah ada sejak awal 2000-an, waktu album “Toxicity” SOAD lagi nge-hits banget. Ini nunjukkin kalau ide-ide musiknya udah lama bersemayam di benaknya.
Kenapa Scars on Broadway Bukan Cuma “Proyek Sampingan”?
Dengan Scars, Malakian nggak ngejar-ngejar hype atau terikat jadwal. Dia lebih suka spontanitas daripada kontinuitas, dan seni lebih penting daripada kekompakan. Tiap album Scars punya vibe yang beda-beda, lagu-lagunya dipilih secara acak dari berbagai periode hidupnya. Ini kayak main roulette musik, seru kan?
“Rasanya kayak muter roda, terus panahnya nunjuk ke mana, di situ gue mulai,” jelasnya. Hasilnya adalah kumpulan lagu dari berbagai periode hidupnya yang punya mood beda-beda. Baginya, lagu itu kayak mainan baru. Setelah bosen, baru deh dia bagiin ke orang lain. Sharing is caring, bro!
“Addicted to the Violence” ini album yang nggak sengaja relate sama kondisi dunia yang lagi nggak stabil. Isinya campuran metal, alt-rock, pop, Cali-punk, prog, folk Mediterania, alt-country, dan psikedelia. Liriknya ngebahas penembakan di sekolah, otoritarianisme, manipulasi media, perselingkuhan, kecanduan, dan celotehan ngelantur. Gokil abis kayak lagi scrolling channel TV tanpa mikir.
Musik Sebagai Terapi: Lebih Dari Sekadar Hiburan?
Malakian menganggap musik sebagai cara buat nyatuin dunia yang nggak seharusnya nyatu. Lewat dirinya, dunia-dunia itu bermutasi dan jadi sesuatu yang masuk akal. Musik itu kayak terapis baginya. Bahkan kalau nggak ada yang dengerin lagunya, proses bikinnya aja udah sehat. Nulis lagu bisa bikin dia nangis atau semangat. Ibaratnya, dia lagi ngobrol sama diri sendiri.
Dia pengen orang lain bikin interpretasi sendiri buat lagu-lagunya, meskipun beda sama interpretasinya. Dia bahkan nggak suka ngejelasin inspirasi lagunya karena nggak penting. Nggak ada yang perlu tau apa yang dia pikirin karena nggak ada yang tau hidupnya. Mereka cuma tau dia di atas panggung, bukan pergumulan pribadinya. Deep.
Sentuhan Baru: Synthesizer di Scars on Broadway
Ada yang beda di “Addicted to the Violence” dibandingkan album sebelumnya, “Dictator.” Beberapa lagu pakai synthesizer, warna baru yang belum pernah dia pakai di SOAD atau Scars. Katanya, tiap lukisan kan nggak boleh punya warna yang sama, dong. Dia nggak takut buat nyoba hal baru, meskipun awalnya ragu.
“Shame Game” punya vibe psikedelik kayak campuran Strawberry Alarm Clock dan Blue Oyster Cult, sementara title track-nya punya nuansa prog rock kayak Styx, Rush, dan Mars Volta. Dia emang suka dengerin musik daripada main gitar. Inspirasi itu dateng sendiri pas dia nulis lagu.
System of a Down dan Scars on Broadway: Dua Kapal yang Berlayar Sendiri?
Di tahun 2020, SOAD ngerilis lagu “Protect the Land” dan “Genocidal Humanoidz,” yang awalnya mau dipake buat Scars on Broadway. Waktu itu, dia belum rekaman “Genocidal Humanoidz,” tapi udah selesai “Protect the Land.” Bahkan, vokal dia di lagu itu adalah track yang mau dia pake buat albumnya. Serj Tankian cuma dateng dan nyanyi bagiannya di atasnya.
Dia nawarin lagu itu ke SOAD karena waktu itu lagi ada perang di Artsakh antara Artsakh dan Azerbaijan. Mereka ngerasa perlu ngomong sesuatu. Akhirnya, dia narik lagu itu dari album Scars dan bagiin ke SOAD. Teamwork makes the dream work, guys.
Scars on Broadway dibentuk tahun 2008, hampir dua tahun setelah SOAD hiatus. Dia ngebentuk Scars karena pengen tetep kreatif. Kalau nggak, dia cuma bakal duduk-duduk aja dan nggak ada yang denger kabarnya. Use it or lose it, kan?
Setelah nampilin beberapa show bareng Scars sebelum album pertamanya keluar, dia tiba-tiba batalin tur dan cuma ngerilis satu lagu lagi sebelum tahun 2018. Waktu itu, dia pengen maju sama musiknya, tapi nggak semua orang sejalan soal gimana mereka mau maju. Dia belum siap buat tur bareng Scars.
Move On dari System? Nggak Semudah Itu…
Katanya, itu kayak nyoba mulai hubungan baru setelah putus cinta yang buruk. Dia mungkin terlalu cepet nikah lagi. John Dolmayan, drummer SOAD, juga main bareng dia. Itu mungkin tanda kalau dia masih stuck sama SOAD. Itu bikin dia cemas. Been there, done that.
Beberapa tahun kemudian, dia ngumumin kalau dia lagi ngerjain album Scars baru dan rencananya mau dirilis tahun 2013. Tapi, kenapa baru keluar tahun 2018? Dia nulis lagu dan ngerasa lagunya keren banget, tapi dia bingung mau dibawa ke mana lagu-lagunya. “Apa gue bawa ke Scars? Apa masih terlalu cepet? Apa SOAD mau bikin sesuatu sama lagu-lagu ini?” Dia terus berjuang karena dia dan Serj selalu punya perbedaan pendapat kreatif. Akhirnya, dia berhasil ngelewatin itu dan bikin album kedua, meskipun butuh waktu.
Estetika Keluarga: Inspirasi dari Sang Ayah
Cover art buat “Addicted to the Violence” dibikin sama ayahnya, Vartan Malakian, seniman kelahiran Irak. Itu siluet perempuan dengan latar belakang merah darah, lagi megang peluru gede di atas kepalanya, dan berdiri di depan deretan opium. Ayahnya adalah inspirasi utamanya. Pendekatan dia ke seni dan semua yang dia tau soal seni dateng dari ayahnya. Mereka berdua ngelakuin itu buat diri mereka sendiri. Ayahnya nggak pernah promosiin diri atau bikin pameran seni. Kebanyakan orang cuma tau karyanya dari cover album. Tapi sejak dia lahir, ayahnya udah bikin seni di rumah, dan nggak pernah peduli ada yang ngeliatin atau nggak.
Dia nggak nyari persetujuan ayahnya. Ayahnya biasanya support apa yang dia lakuin, tapi ayahnya orang yang rumit. Dia kagum banget sama ayahnya dan pengen jadi seniman kayak ayahnya. Dan kalau ayahnya sama ibunya nggak pindah ke Amerika Serikat, dia nggak bakal ada di System of a Down. Dia mungkin udah jadi tentara pas Perang Teluk. Itu hidup alternatifnya. Mind blowing.
Dia pernah ke Irak waktu umur 14 tahun selama dua bulan buat nengokin saudara. Itu culture shock banget. Dia kan gede di Hollywood, terus pergi ke Baghdad pake kaos Metallica dan belagu banget. Di mana-mana dia ngeliat foto dan patung Saddam Hussein. Dia nanya ke sepupunya, “Gimana kalau gue deketin salah satu patungnya terus bilang, ‘Eh Saddam, go f— yourself?'” Cuma ngomong gitu aja udah bikin sepupunya gugup dan takut. Ngomong kayak gitu bahaya banget dan dia nggak tau. Itu jadi pengalaman belajar yang penting soal apa yang bisa aja terjadi sama dia. Itu juga yang menginspirasi dia buat nulis “Satan Hussein.”
Politik dan Kekerasan: Bukan Cuma Sekadar Opini
Dia sempet ngeliat sekilas hidup di bawah rezim otoriter. Dia nggak punya perasaan yang kuat soal pemerintahan Trump dan cara presiden bertindak kayak diktator. Dia nggak benci, juga nggak cinta sama Trump. Dia nggak di kanan, juga nggak di kiri. Ada beberapa hal yang dia setuju dari kedua belah pihak, tapi dia nggak ngomongin itu di wawancara karena soal politik, dia nggak ada di tim mana pun. Dia nggak suka perpecahan di negara ini, dan dia ngerasa kalau terlalu kanan atau terlalu kiri, ujung-ujungnya sama aja.
“Addicted to the Violence,” terutama lagu “Killing Spree,” adalah komentar soal kekerasan politik di negara ini. Bukan cuma kekerasan politik, tapi semua kekerasan. “Killing Spree” itu gila. Berat. Gelap. Tapi kalau dengerin cara dia nyanyi, ada nada absurd, kayak dia lagi seneng-seneng aja. Dia nggak ngerayain kekerasan, tapi penyampaiannya kayak orang gila yang bakal ngerayainnya. Jadi, itu dari sudut pandang pembunuh, sudut pandang korban, dan sudut pandangnya sendiri. Dia pernah ngeliat video di social media soal anak-anak yang lagi berdiri di jalanan, terus salah satunya ketabrak mobil dan mental ke udara. Anak-anak itu ngerekam dan ada yang ketawa-ketawa kayak itu lucu. Dia nggak mau bilang itu bener atau salah, tapi dari apa yang dia liat, banyak orang yang udah kebal sama kekerasan. Disturbing.
Masa Depan: System, Scars, atau Keduanya?
Setelah merilis “Addicted to the Violence,” Malakian bakal ngadepin enam tanggal terakhir System of a Down di tahun 2025. Dia udah tau gimana cara nge-juggle antara System of a Down dan Scars on Broadway. Dulu, dia nggak bisa nge-juggle keduanya dengan baik, tapi sekarang dia lebih percaya diri dan nyaman dengan posisi System dan Scars. Dia suka main sama System, dan dia pengen lebih banyak show sama Scars. Dia nggak bisa bilang gimana kedua band itu bakal berevolusi. Cuma waktu yang bisa jawab apa yang bakal terjadi dan dia baik-baik aja selama itu terjadi secara alami. Semua yang udah mereka alamin ngebawa mereka ke posisi sekarang. Dan sekarang adalah yang paling penting karena masa lalu udah lewat dan masa depan belum dateng. Jadi, yang paling penting adalah saat ini.
Intinya: Nikmati Apa yang Ada Sekarang
Intinya? Jangan terlalu berharap sama album baru System of a Down. Mending nikmatin “Addicted to the Violence” dari Daron Malakian and Scars on Broadway. Album ini bukan cuma substitute, tapi juga testament buat kreativitas Malakian yang nggak pernah berhenti. Siapa tau, sambil dengerin album ini, vibe-nya bisa bikin SOAD sadar dan akhirnya ngeluarin album baru. Tapi, jangan terlalu berharap, ya. Just enjoy the music.