Bayangkan begini: dompetmu itu seperti Tamagotchi. Dulu dipelihara dengan cinta, sekarang tinggal kenangan. Nah, Dayaw 2025 ini bukan sekadar festival, tapi upgrade jiwa kebudayaan kita biar nggak senasib sama Tamagotchi terlantar itu.
Dayaw 2025: Bukan Sekadar Festival, Tapi Patch Update Kebudayaan
Bulan Oktober nanti, Bacolod City bakal jadi pusat perhatian. Bukan cuma karena MassKara Festival yang meriah itu lho ya. Ada Dayaw 2025, hajatan akbar yang mengumpulkan 35 kelompok masyarakat adat (IP) dari seluruh penjuru Nusantara. Ini bukan sekadar parade kostum atau tarian tradisional. Lebih dari itu, Dayaw 2025 adalah panggung untuk merayakan, merefleksikan, dan merumuskan masa depan kebudayaan Indonesia.
Diprakarsai oleh National Commission for Culture and the Arts (NCCA), Dayaw 2025 menjanjikan tiga hari yang padat dengan pertunjukan, forum diskusi, kegiatan sosial, dan selebrasi Bulan IP. Marichu Tellano, sang Deputy Executive Director NCCA, bahkan dengan percaya diri menyatakan bahwa Dayaw akan menjadi tontonan yang tak kalah memukau dari MassKara Festival. Well, kita lihat saja nanti, ya kan?
Tapi, kenapa sih festival semacam Dayaw ini penting? Bukankah kita sudah punya banyak acara kebudayaan lain? Pertanyaan bagus! Di tengah gempuran budaya pop global dan tren digital yang serba instan, kebudayaan tradisional seringkali terpinggirkan. Anak muda lebih hafal lirik lagu K-pop daripada cerita rakyat daerahnya. Lebih jago main Mobile Legends daripada memainkan alat musik tradisional. Ironis, bukan?
Dari Sabang Sampai Merauke, Kumpul Jadi Satu: Siapa Saja yang Ikutan?
Dayaw 2025 bukan cuma hajatan lokal, tapi representasi dari keberagaman Indonesia. Bayangkan saja, ada perwakilan dari berbagai penjuru: Iloko Bago, Pangasinan, Ga’dang, Bugkalot, Ivatan, Kapampangan, Kalinga, Kalanguya, Ibaloy/Kankanaey, dan Balangao dari Komunitas Kultural Utara. Belum lagi Palawani/Jama Mapun/Molbog, Pala’wan/Tagbanua, Rombloanon, Ati dari Iloilo/Guimaras/Antique/Negros Occidental, Panay Bukidnon, Ilonggo/Hiligaynon, Boholano, Waray, dan Dumagat Remontado dari Komunitas Kultural Tengah.
Dari Komunitas Kultural Selatan, hadir pula Yakan, Sama Banguingui, Manobo, Bagobo Klata, Mandaya, T’boli/Ubo, Blaan/Sangir, Mamanwa, Agusanon Manobo, Maranao, Maguindanao/Iranon, Teduray/Erumanen, Tausug, dan Subanen. Lengkap sudah! Ibaratnya, Dayaw 2025 ini seperti Avengers: Endgame versi kebudayaan Indonesia. Semua pahlawan dari berbagai daerah berkumpul untuk menyelamatkan peradaban.
Pembukaan acara akan dimeriahkan dengan parade yang dimulai dari Bago City gymnasium pada tanggal 7 Oktober. Setelah itu, akan ada seremoni penghargaan untuk komunitas yang berpartisipasi. Tapi, yang paling menarik adalah forum khusus bertajuk “Future Proofing Dayaw and the Indigenous Cultural Communities”. Ini bukan sekadar obrolan basa-basi, tapi upaya serius untuk memastikan bahwa Dayaw dan kebudayaan IP tetap relevan di masa depan. Ibaratnya, kita sedang mencari cheat code untuk melestarikan warisan leluhur.
Side Quest ala Dayaw: Community Outreach yang Bikin Hati Adem
Tanggal 8 Oktober, Dayaw 2025 nggak cuma meriah di panggung utama. Ada serangkaian kegiatan community outreach yang diadakan di berbagai lokasi, seperti Don Salvador Benedicto, Binalbagan, Bago, Cadiz, Talisay, dan Kabankalan. Ini bukan sekadar bagi-bagi sembako atau acara hiburan biasa. Lebih dari itu, ini adalah kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat, memahami masalah mereka, dan mencari solusi bersama.
Ibaratnya, ini adalah side quest dalam sebuah game RPG. Kita keluar dari zona nyaman, menjelajahi wilayah baru, membantu NPC (Non-Player Character) yang membutuhkan, dan mendapatkan reward yang tak ternilai harganya: pengalaman dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan.
Puncak acara akan ditutup dengan Inclusive Governance Forum on Listening to Indigenous Experiences. Forum ini akan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari berbagai sektor dan perwakilan dari berbagai lembaga pemerintah. Tujuannya? Mendengarkan secara seksama pengalaman masyarakat adat, memahami perspektif mereka, dan merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Ini bukan sekadar seremoni penutupan, tapi awal dari babak baru dalam upaya pelestarian kebudayaan Indonesia.
“Habi ng Kultura, Yaman ng Kinabukasan”: Merajut Masa Depan Lewat Kebudayaan
Dayaw 2025 mengusung tema “Habi ng Kultura, Yaman ng Kinabukasan” atau “Weaving Culture, Enriching Future.” Tema ini bukan sekadar slogan kosong, tapi refleksi dari visi yang lebih besar: memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan keterampilan untuk mengarusutamakan sistem IP dan pedagogi pendidikan. Mendukung kontribusi pemuda IP dalam menjaga warisan budaya tak benda. Serta meningkatkan kesadaran tentang pembangunan berkelanjutan IP dan komunitas mereka.
Intinya, Dayaw 2025 ingin merajut masa depan yang lebih baik lewat kebudayaan. Kebudayaan bukan hanya sekadar masa lalu yang dilestarikan, tapi juga sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk membangun masa depan yang lebih cerah. Ibaratnya, kebudayaan itu seperti benang yang bisa dirajut menjadi kain yang indah dan bernilai tinggi. Kita hanya perlu belajar bagaimana cara merajutnya dengan benar.
Festivalnya Boleh Budaya, Pendekatannya Jangan Jadul!
Semua terdengar indah, bukan? Tapi, ada satu pertanyaan penting yang perlu kita renungkan: bagaimana caranya agar Dayaw 2025 ini nggak cuma jadi acara seremonial yang dilupakan begitu saja? Bagaimana caranya agar semangat pelestarian kebudayaan ini bisa menular ke generasi muda? Ini bukan tugas yang mudah, tapi bukan berarti nggak mungkin. Kuncinya adalah pendekatan yang kreatif dan inovatif.
Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan konten-konten menarik tentang kebudayaan Indonesia. Bikin video pendek yang lucu dan informatif. Buat meme yang relatable dengan kehidupan sehari-hari. Ajak influencer untuk mempromosikan acara-acara kebudayaan. Intinya, kita harus bisa mengemas kebudayaan tradisional dengan cara yang menarik dan relevan bagi generasi muda. Jangan sampai kebudayaan kita dianggap sebagai barang antik yang cuma dipajang di museum.
Kita juga bisa berkolaborasi dengan para pengembang game untuk memasukkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia ke dalam game. Bayangkan saja, ada karakter yang mengenakan pakaian adat, ada senjata tradisional, ada cerita rakyat yang diadaptasi menjadi misi dalam game. Ini bukan cuma cara untuk mempromosikan kebudayaan, tapi juga cara untuk meningkatkan daya saing industri game lokal.
Jangan lupa, libatkan juga para seniman dan desainer muda untuk menciptakan produk-produk kreatif yang terinspirasi dari kebudayaan Indonesia. Bikin baju dengan motif batik yang modern. Rancang tas dengan anyaman tradisional yang unik. Ciptakan perhiasan dengan ukiran khas daerah. Intinya, kita harus bisa mengubah kebudayaan menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi. Dengan begitu, kebudayaan akan terus hidup dan berkembang, bukan cuma jadi kenangan masa lalu.
Dayaw 2025: Saatnya Kebudayaan Unjuk Gigi, Bukan Jadi Pajangan!
Dayaw 2025 adalah kesempatan emas untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Tapi, jangan sampai kita cuma fokus pada perayaan dan seremoni. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan momentum ini untuk membangun kesadaran, meningkatkan pemahaman, dan mendorong tindakan nyata untuk melestarikan kebudayaan Indonesia. Jangan biarkan kebudayaan kita hanya jadi pajangan di museum atau sekadar bahan perbincangan di acara-acara formal. Saatnya kebudayaan unjuk gigi dan membuktikan bahwa ia masih relevan dan berdaya guna di era modern ini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?