Dunia maya memang luas, tapi kadang bikin mikir keras. Kita terhubung secara digital, tapi seringkali malah merasa makin jauh satu sama lain. Inilah yang jadi premise awal Death Stranding, game yang dirilis seolah meramalkan masa pandemi, di mana interaksi manusia nyaris sepenuhnya online. Sekarang, hadir Death Stranding 2: On The Beach, dan pertanyaannya, apakah kita sudah siap untuk koneksi yang lebih dalam?
Death Stranding, Dulu dan Sekarang: Refleksi Pandemi?
Death Stranding pertama hadir di saat yang tepat, eh, atau mungkin terlalu tepat. Mirip film atau buku yang jadi viral karena resonansi dengan kejadian dunia nyata. Tapi, membangun sekuel dari pengalaman traumatis kolektif adalah tantangan besar. Hideo Kojima sendiri mengakui bahwa naskah awal Death Stranding 2 sudah ditulis sebelum pandemi. Namun, ia memutuskan untuk menulis ulang semuanya. Alasannya? “Aku tidak ingin memprediksi masa depan lagi,” ujarnya sambil bercanda.
Lalu, apa yang berbeda dari Death Stranding 2? Jika game pertama terasa berat dan melankolis, sekuel ini justru lebih breezy dan penuh keceriaan. Kojima seolah melepaskan anjing liar dalam dirinya, dan hasilnya adalah game yang fun, menyenangkan, dan (menurut saya) pilihan yang tepat secara tonal, mengingat apa yang telah direpresentasikan oleh Death Stranding pertama.
Dari Kurir Legendaris Menjadi… Bapak Rumah Tangga?
Death Stranding 2 melanjutkan kisah Sam Porter Bridges (diperankan oleh Norman Reedus) setelah peristiwa di game pertama. Kita mendapati Sam mengasuh Lou (alias BB-28) di sebuah tempat penampungan dekat Meksiko. Lou kini sudah menjadi balita, dan Sam adalah seorang single parent yang penyayang. Fragile (diperankan oleh Léa Seydoux) kembali hadir dalam kehidupan Sam, mencoba membujuknya untuk kembali “bermain” dan membantu menghubungkan Meksiko ke Jaringan Chiral. Setelah kembali beraksi, sebuah tragedi menimpa, dan Sam kembali ke jalurnya semula, kali ini menghubungkan benua Australia ke jaringan.
Meringkas plot Death Stranding itu nggak gampang, jujur. Bahkan, game-nya sendiri menyediakan ringkasan singkat kalau-kalau kamu lupa. Tapi, at least kamu harus nonton kompilasi cutscene di YouTube kalau belum pernah main. Dan ya, gameplay-nya mirip dengan yang pertama: antar barang, bangun koneksi, lawan boss. Sam masih harus mondar-mandir antara tempat penampungan dan markas seperti teknisi fiber optic yang super berani. Semakin banyak koneksi yang kamu bangun, semakin banyak resource dan tools yang kamu dapatkan.
Gameplay yang Lebih Fun? Why Not!
Beberapa kritikus menyebut Death Stranding 2 sebagai “iteratif” atau bahkan “game yang sama”. Secara teknis, yang pertama mungkin benar, tapi kurang tepat sasaran. Yang kedua mungkin agak kasar, tapi ada benarnya juga. Peningkatan quality of life di Director’s Cut dan trauma kolektif akibat COVID bisa bikin sulit membedakan apa yang benar-benar baru di game ini. Tapi, yang jelas, Death Stranding 2 adalah game yang lebih baik dan lebih menyenangkan daripada pendahulunya. Death Stranding pertama butuh waktu lama untuk start, sementara Death Stranding 2 langsung shove kamu ke midgame.
Dulu, bertarung itu lebih baik dihindari, karena bisa menyebabkan voidout. Sekarang? Death Stranding 2 seolah mengakui bahwa menghindari pertempuran itu nggak se-asyik jadi clown di markas musuh. Senjata kini secara default tidak mematikan, dan kamu punya lebih banyak tools untuk menghadapi musuh. Grenade launcher jadi MVP, tapi saya lebih suka melee kalau memungkinkan. Ada yang bilang game ini “terlalu mudah” (saya kurang setuju, terutama pas nyampe gunung gede), tapi menurut saya, game ini lebih dekat dengan dunia open world Metal Gear Solid V.
Magellan, Tarman, dan… Dollman?!
Selain pertempuran yang lebih menyenangkan dan pace yang lebih breezy, game ini juga punya focal point baru: DHV Magellan, sebuah kapal yang berlayar di arus tar yang menghubungkan dimensi metafisika dan fisik. Seiring berjalannya cerita, kapal ini mengumpulkan karakter dari game sebelumnya dan karakter baru, termasuk kapten Tarman (dengan likeness dari sutradara Mad Max, George Miller). Kapal ini adalah jantung dari game ini, karena karakter-karakter kini tidak lagi terisolasi, tapi bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama.
Dari semua karakter baru, yang paling sering berinteraksi denganmu adalah Dollman. Dollman adalah seorang pria yang Ka-nya (jiwanya) terperangkap di dalam boneka. Tubuhnya bergerak dengan aneh, seolah dianimasikan dengan stop motion. Ia juga berfungsi sebagai codex call di game Kojima sebelumnya: menjaga pemain tetap on track dengan exposition yang paling obnoxious.
Awalnya, saya benci banget sama Dollman. Tapi, ternyata saya salah. Dollman itu keren! Dia kayak Jigsaw’s puppet Billy yang jadi homie kamu; sosok positif yang selalu ceria dan vehicle yang menyenangkan untuk menyampaikan informasi. Apalagi pas tahu kalau dia bisa dilempar ke udara untuk scouting? I’m fully on board. We love Dollman.
Higgs, si Queeny-Cyborg-Cowboy-Ninja?!
Dollman adalah contoh sempurna yang membedakan Death Stranding 2 dari game sebelumnya: it’s goofy as hell. Contoh lain adalah kembalinya Higgs, yang diperankan oleh Troy Baker. Di game pertama, Higgs itu sucks. Bukan cuma menjijikkan, tapi juga menjengkelkan. Nah, sekarang dia balik, dan dia lebih parah. Tapi justru itu yang bikin keren! Higgs di Death Stranding 2 adalah seorang queeny-cyborg-cowboy-ninja yang selalu jadi pusat perhatian. Troy Baker jelas bersenang-senang memerankan karakter ini.
Yang nggak bisa saya lupakan dari Death Stranding 2 adalah bagaimana semua orang yang terlibat jelas bersenang-senang. Saya belum pernah lihat game di orbit Kojima yang se-asyik ini sejak Metal Gear Rising: Revengence. Empat jam terakhir Death Stranding 2 adalah tontonan paling absurd yang pernah diasosiasikan dengan Kojima.
Lebih dari Sekadar Delivery Simulator
Death Stranding 2 bukan cuma soal mengantar barang. Ini tentang koneksi manusia, tentang trauma kolektif, dan tentang harapan di tengah dunia yang semakin kacau. Ini adalah salah satu dari sedikit media yang mengakui, meskipun secara tidak langsung, bahwa setiap orang di Bumi kini adalah “barang rusak”. Ini adalah game yang penuh dengan goofiness, tapi juga refleksi yang mendalam tentang kondisi manusia pasca-pandemi.
Kojima seolah merespons perubahan lanskap sosial dan budaya pasca-pandemi, di mana orang-orang mencari hiburan yang ringan dan menyenangkan setelah terkurung dalam rumah mereka selama berbulan-bulan. Death Stranding 2 adalah game yang tepat untuk saat ini: goofy, menenangkan, dan kadang-kadang introspektif. Ini tentang berkumpul dengan teman dan keluarga untuk menyembuhkan luka. Ini tentang hidup dan hadir secara fisik di tengah dunia yang semakin tidak bersahabat. Dan meskipun seringkali berlebihan dan self-referential, ini adalah game dengan hati yang lebih ringan dari bulu, game yang nyaman dimainkan, balm untuk jiwa yang lelah, dan sejauh ini hal paling manusiawi yang pernah dihasilkan Hideo Kojima.
Intinya, Death Stranding 2 itu fun!