Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

Deprogram Orang Tua MAGA: Upaya Anak Ubah Pandangan Keluarga

Hubungan keluarga di era polarisasi politik ini seringkali terasa seperti level terakhir gim survival yang paling sulit, di mana setiap diskusi meja makan bisa berubah menjadi medan perang ideologi tanpa peringatan. Banyak yang merasa terjebak di antara timeline media sosial dan timeline keluarga, mencoba mencari “kode cheat” untuk menyelamatkan ikatan batin yang terkoyak. Namun, siapa sangka jika “senjata pamungkas” untuk menghadapi drama ini justru bersembunyi di rak buku? Sebuah pertanyaan menggelitik muncul: bisakah buku menjadi Strategi Anti-Hoax Keluarga: Senjata Pamungkas Melawan Konfirmasi Bias dan menyelamatkan kita dari glitch komunikasi yang paling fatal?

Ketika Ruang Keluarga Berubah Jadi Medan Perang Ideologi

Valeen Heinle, seorang pet sitter berusia 38 tahun dari Denver, harus menghadapi realitas pahit ini. Ide untuk memulai klub buku mendadak muncul di benaknya suatu malam di bulan Juli, tepat setelah ia terlibat dalam adu argumen sengit dengan sang ayah yang pro-Trump. Pemicunya adalah isu perang di Gaza dan dampaknya yang menghancurkan bagi anak-anak di sana. Frustrasi memuncak, Valeen mengirim pesan ke ayahnya lewat DM Instagram, “Aku mohon, coba deh belajar sesuatu yang bukan dari Facebook, Fox, atau Newsmax.”

Valeen, yang terdaftar sebagai seorang Demokrat, terus mendesak ayahnya. “Baca buku tentang sejarah di sana. Aku punya banyak rekomendasi, tapi aku tahu Ayah tidak akan pernah mau karena lebih suka tenggelam dalam bias konfirmasi, dan itu membuatku sangat sedih.” Balasan sang ayah lebih menusuk: “Aku menghabiskan terlalu banyak waktu mengkhawatirkan anak-anakku. Masa depan mereka.” Ia melanjutkan, “Jadi, ketika anak-anakku aman dan terurus, barulah aku bisa peduli pada anak-anak lain.”

Gaza tentu saja bukan satu-satunya isu yang memecah belah warga Amerika, termasuk Valeen dan ayahnya. Mereka pernah berdebat tentang vaksin Covid-19, perubahan iklim, undang-undang senjata api, hasil pemilu 2020, hingga kerusuhan 6 Januari di Capitol. Valeen mengamati bahwa sejak 2016, ayahnya “semakin tertarik ke sayap kanan, dan ia jadi dikaburkan oleh kebencian dan kemarahan—hal-hal yang sama sekali bukan dirinya.” Kondisi ini semakin sulit dan menyakitkan, bahkan beberapa ucapan ayahnya sampai membuatnya terkejut.

Namun, Valeen mengakui bahwa respons ayahnya terkait diskusi Gaza adalah titik puncaknya. Ia merasa sangat sedih dan hancur, hingga pasangannya menemukan Valeen menangis di sofa IKEA mereka malam itu. Setelah percakapan panjang dan upaya mengalihkan perhatian dengan mengonsumsi biskuit animal crackers dan Chips Ahoy sambil menonton anime, sebuah ide nekat muncul. Sekitar pukul 3 pagi, Valeen mengirim pesan ke ayahnya yang kini tinggal di Florida tengah. “Baiklah. Aku akan buat kesepakatan: Ayah baca tiga buku pilihanku—sampai habis—dan buktikan Ayah benar-benar membaca dan memahaminya,” tulisnya, “Dan aku akan kembali ke gereja selama sebulan setelah itu.”

Buku Sebagai Senjata Pamungkas (Anti-Drama Keluarga)

Kisah Valeen bukan anomali dalam lanskap digital saat ini; Reddit penuh dengan cerita serupa dari orang-orang yang merasakan hubungan dengan orang tua pendukung Trump mereka terhantam keras oleh lingkungan politik yang memanas. Beberapa bahkan membandingkan keterlibatan keluarga mereka dalam gerakan MAGA dan loyalitas buta terhadap Trump dengan menjadi bagian dari sebuah kultus. Perbandingan ini, anehnya, juga diulang oleh para ahli kultus yang meneliti fenomena ini.

Namun, di tengah keputusasaan itu, secercah harapan muncul: ada yang yakin hubungan mereka bisa diselamatkan, bahkan mungkin bisa “mendeprogram” orang tua MAGA mereka. Caranya? Dengan memulai semacam “klub buku” de facto, sebuah ide yang terdengar jauh lebih damai daripada perdebatan sengit di media sosial. Ini seolah mencari solusi ala game teka-teki, di mana kuncinya bukan kekerasan, melainkan kebijaksanaan.

Ide ini bukan tanpa dasar. Buku menawarkan ruang yang lebih luas untuk narasi dan argumen yang kompleks, berbeda jauh dari cuitan Twitter atau headline berita yang serba ringkas. Mereka memaksa pembaca untuk melambat, merenung, dan menyerap informasi dengan cara yang mungkin tidak terjadi di tengah hiruk-pikuk berita cepat. Dalam era echo chamber dan filter bubble, buku bisa menjadi router yang menghubungkan kembali pemikiran yang terisolasi.

Rahasia di Balik Fiksi Fantasi dan “Nilai Progresif”

Menariknya, pilihan genre buku yang diusulkan juga menunjukkan adanya strategi cerdas di baliknya. Seorang pengguna Reddit di subreddit populer r/suggestmeabook, misalnya, meminta rekomendasi “materi bacaan bagus untuk seseorang yang mungkin butuh bantuan untuk kembali ke realitas dan moralitas”—ayah mereka. Permintaan spesifiknya adalah buku fantasi, genre yang sebelumnya dinikmati sang ayah. “Saya selalu merasa buku fantasi memiliki nilai ‘progresif’, dan saya berharap menemukan yang tidak terlalu menonjolkan pesan itu!” tulisnya, menunjukkan pemahaman akan psikologi pembaca.

Pendekatan ini ibarat menyelinapkan vitamin dalam makanan lezat; pesan-pesan yang lebih progresif bisa diserap secara tidak langsung melalui alur cerita, pengembangan karakter, dan tema universal yang tersembunyi dalam petualangan epik. Fantasi, dengan kemampuannya menciptakan dunia baru dan dilema moral yang kompleks, dapat menawarkan sandbox aman bagi pembaca untuk mengeksplorasi ide-ide baru tanpa merasa diserang secara langsung. Ini adalah “deprogramming” yang disamarkan sebagai hiburan.

Di subreddit lain, seseorang juga mencari rekomendasi buku yang bisa dikirimkan kepada ayahnya “demi mendeprogramnya dari kultus Trump.” Fenomena ini menunjukkan adanya keinginan yang kuat untuk “menyelamatkan” orang yang dicintai dari apa yang mereka pandang sebagai pandangan yang menyesatkan atau bahkan berbahaya. Buku-buku ini dianggap sebagai semacam “alat kalibrasi ulang” kognitif, yang mampu menantang confirmation bias dan membuka perspektif baru secara bertahap.

Tentu saja, proses ini tidak instan, layaknya memperbarui firmware otak yang sudah terlanjur banyak bug. Namun, para individu ini meyakini bahwa dengan pendekatan yang tepat—dan mungkin sedikit keberuntungan—mereka dapat memulihkan nalar kritis dan empati yang mungkin telah terkikis oleh konsumsi informasi yang bias. Klub buku de facto ini mungkin tidak akan langsung menghasilkan resolusi damai di seluruh keluarga, namun setidaknya, ini adalah upaya untuk membuka jendela baru di dinding echo chamber yang tebal.

Pada akhirnya, kisah Valeen dan para pengguna Reddit lainnya menyoroti sebuah realitas pahit namun penuh harapan: meskipun polarisasi politik dapat meretakkan hubungan paling fundamental, kekuatan kata-kata—terutama yang terangkai dalam sebuah buku—mungkin masih menjadi jembatan. Dalam pertarungan ideologi yang terasa tak berujung ini, menawarkan sebuah buku mungkin bukan sekadar ajakan membaca, melainkan sebuah uluran tangan yang mencoba membangun kembali koneksi, satu halaman pada satu waktu.

Previous Post

Black Ops 7 Bocor: Mech & Jet Pack Guncang Meta FPS

Next Post

Inggris Usung Ambisi Raksasa: Siap Ubah Masa Depan

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *