Otak manusia itu aneh. Kita bisa lupa nama orang yang baru saja dikenalkan, tapi lirik jingle iklan jadul atau dialog dari game lawas tetap terngiang-ngiang. Persis seperti hardisk eksternal yang isinya nggak penting-penting amat, tapi sayang kalau dihapus. Kenapa ya?
Beberapa kutipan dialog dari video game memang langsung dikenali oleh banyak penggemar. Mulai dari “hadouken!” di Street Fighter, “remember, no Russian” di Call of Duty, hingga “would you kindly?” di BioShock. Frase-frase itu begitu ikonik hingga menjadi bagian dari leksikon gaming. Dijadikan meme di media sosial pun, hampir semua orang paham referensinya.
Tapi ada juga frase-frase aneh, terkadang dari game-game obscure, yang entah kenapa bisa nempel di kepala. Contohnya, saya masih ingat sebagian besar dialog dari game strategi Perang Dunia II, Commandos: Behind Enemy Lines, padahal sudah 20 tahun nggak memainkannya. Anehnya, kenapa saya lebih gampang ingat ucapan Samuel Brooklyn ketimbang lokasi dompet atau earphone yang sering raib entah ke mana?
Untungnya, saya nggak sendirian. Setelah curhat di Bluesky, ratusan gamer mengaku punya pengalaman serupa. Ada yang terngiang-ngiang kutipan dari game terkenal tapi kurang populer, ada pula yang terobsesi dengan dialog absurd dari game yang nyaris terlupakan. Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan: kenapa ya otak kita lebih memilih menyimpan “sampah” daripada hal-hal penting?
Memori Sampah di Kepala Gamer: Kenapa Bisa Begitu?
Salah satu alasannya mungkin karena repetisi. Dalam game action-adventure 20 jam yang dipenuhi NPC, kita akan mendengar “bark” (potongan dialog singkat NPC untuk memberikan informasi atau ekspresi) berulang-ulang. Makanya, banyak orang hafal semua yang diucapkan merchant di Resident Evil 4 – “What’re ya buyin’?” bisa terdengar ratusan kali selama permainan. Kalau kata orang Jawa sih, *karena kebacut*.
Selain repetisi, ada juga faktor *echolalia*, yaitu pengulangan kata atau suara tertentu sebagai tindakan menenangkan diri. Game dibangun dengan ritme dan repetisi, jadi wajar kalau kita mengadopsi elemen-elemen tersebut ke dalam hidup. Ibaratnya, dengerin lagu yang sama terus-terusan sampai hafal liriknya di luar kepala.
Dialog game juga bisa menjadi *inside joke* dengan teman, memperkuat ikatan dan kenangan bersama seperti halnya mengutip dialog film. Pengguna Bluesky bernama Steve O’Gorman menulis tentang F-Zero GX: “Cara Samurai Goroh mengucapkan ‘You stole the prize money from us last time’ sambil mengayunkan tangannya entah kenapa membekas di grup pertemanan saya selama 20+ tahun.”
Efek Samurai Goroh: Ketika Game Jadi Lebih dari Sekadar Hiburan
Dalam video game, pengalaman subjektif kita seringkali sama berharganya dengan narasi yang disajikan. Terkadang, merasa menjadi satu-satunya pemain yang pernah bertemu karakter obscure atau mendengar dialog tertentu bisa menciptakan koneksi personal dengan game tersebut. *Rasanya kayak nemu harta karun tersembunyi yang nggak semua orang tahu*.
Saya sendiri nggak merasa punya koneksi mendalam dengan Samuel Brooklyn, meski sudah berkali-kali mengirimnya ke kematian sambil berteriak “No problem, man.” Tapi jelas, ada sesuatu yang terjadi saat saya memainkan game itu. Entah saya terhibur dengan kontras antara keseriusan melawan Nazi dan frase-frase repetitif yang konyol. Atau jangan-jangan, saya memang lagi nggak ada kerjaan aja selain main game.
Kita nggak pernah tahu pasti kenapa momen tertentu bisa menjadi memorable, atau kenapa kutipan dari Gilmore Girls, Twin Peaks, atau Scarface bisa tersimpan di alam bawah sadar. Tapi setidaknya, kita nggak sendirian dengan koleksi audio aneh kita.
“Wizard Needs Food Badly!”: Ketika Dialog Game Jadi Mantra Hidup
Beberapa pemain bahkan mengadopsi dialog game ke dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa responden mengaku selalu berpikir “wizard needs food badly” setiap kali membuka kulkas. Ini bukan sekadar lucu-lucuan, tapi juga menunjukkan bagaimana game bisa mempengaruhi cara kita berpikir dan berinteraksi dengan dunia.
Coba bayangkan, lagi macet di jalan, terus tiba-tiba kepikiran “all your base are belong to us.” Atau pas lagi presentasi, nggak sengaja keceplosan “it’s a-me, Mario!” Kan, nggak lucu. Tapi di situlah letak uniknya – dialog game bisa menjadi bagian dari identitas dan pengalaman kita.
Fenomena ini juga menjelaskan kenapa beberapa game punya tempat khusus di hati para pemain. Worms, Grand Theft Auto, House of the Dead, dan Monkey Island seolah dipenuhi dialog memorable, entah karena lucu atau memang absurd. *Kadang, absurditas justru jadi daya tarik tersendiri*.
Lalu, Apa yang Harus Dimainkan dan Dibaca Minggu Ini?
Setelah membahas memori sampah di kepala, mari kita alihkan perhatian ke game dan bacaan menarik minggu ini. Siapa tahu, ada yang bisa menambah koleksi “sampah” di otak Anda.
Pertama, ada Star Wars Outlaws yang kini hadir dalam versi Nintendo Switch 2. Game ini menawarkan cerita *scoundrel-turned-resistance hero* yang seru, jauh dari mistisisme Jedi yang klise. Desain dunianya juga memukau, menangkap futurisme klasik Ralph McQuarrie. Cocok buat yang pengen membawa galaksi Star Wars ke mana-mana.
Kedua, Eurogamer membahas topik kontroversial soal boss runbacks. Apakah jarak antara checkpoint dan pertarungan boss yang jauh itu sadis atau bagian dari ritme game? Kalau menurut saya sih, nyebelin banget! Tapi silakan baca sendiri argumennya di Eurogamer.
Terakhir, ada zine retro gaming Forgotten Worlds yang kembali dengan edisi khusus Sega. Zine ini membahas era “blue skies” Sega di akhir 80-an dan awal 90-an, ketika game-game arcade dan konsolnya selalu menampilkan dunia yang cerah dan penuh warna. Nostalgia banget buat penggemar Sega!
Pertanyaan Terakhir: Apakah Video Game Bisa Mempengaruhi Politik?
Minggu ini, ada pertanyaan dari Amanda S yang bertanya soal buku tentang koneksi video game dan politik. Jawabannya, ada beberapa, tapi nggak banyak. Beberapa judul membahas soal adiksi game, tapi ada juga yang lebih fokus ke aspek sosiopolitik.
Saya merekomendasikan Kill All Normies karya Angela Nagle, Play Like a Feminist karya Shira Chess, dan Everything to Play For karya Marijam Did. Ada juga Games of Empire karya Nick Dyer-Witheford dan Greig de Peuter, serta Blood, Sweat, and Pixels karya Jason Schreier yang membahas ekonomi industri game.
Jadi, apakah video game bisa mempengaruhi politik? Jawabannya kompleks. Tapi yang jelas, game bukan sekadar hiburan. Ia bisa menjadi media ekspresi, alat propaganda, atau bahkan sumber inspirasi untuk perubahan sosial.