Dark Mode Light Mode

Disjointed Rollout Traps C2PA Content Credentials in Indonesian

Dunia digital saat ini ibarat hutan belantara informasi. Saking lebatnya, terkadang kita sulit membedakan mana fakta, mana ilusi, apalagi kalau sudah berurusan dengan foto dan gambar. Bayangkan, sebuah foto viral di media sosial. Apakah itu benar-benar terjadi, atau sekadar hasil editan AI yang canggih? Nah, di sinilah kita butuh pahlawan… atau setidaknya, sebuah sistem yang bisa membantu kita memverifikasi keaslian konten.

C2PA: Harapan di Tengah Kekacauan Informasi?

Content Authenticity Initiative (CAI) dan C2PA (Coalition for Content Provenance and Authenticity) hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Ide dasarnya sederhana: memberikan metadata ke setiap gambar yang menunjukkan asal-usulnya dan riwayat editnya. Mirip sidik jari digital yang tak bisa dipalsukan. Leica dan Nikon sudah mulai menerapkan teknologi ini sejak 2022, disusul Sony dan Fujifilm di tahun 2024. Panasonic bahkan bergabung dengan CAI untuk memperkuat aliansi transparansi. Ini terdengar menjanjikan, bukan?

Namun, di sinilah masalah mulai muncul. Implementasi C2PA ternyata tidak semulus yang diharapkan. Samsung, misalnya, hanya menambahkan metadata C2PA jika gambar tersebut diedit menggunakan AI. Jika fotonya "murni" tanpa sentuhan AI, metadata tidak ditambahkan sama sekali. Ibaratnya, hanya foto yang "berdosa" saja yang diberi tanda, sementara yang "suci" dibiarkan bebas berkeliaran tanpa identitas.

Pendekatan ini, terus terang, agak nyeleneh. Bukankah seharusnya semua foto memiliki metadata, terlepas dari apakah sudah diedit atau belum? Idealnya, jika sebuah gambar tidak memiliki tag C2PA, kita seharusnya langsung curiga. Ini akan mencakup semua kemungkinan penggunaan AI dan penghapusan tag. Tiba-tiba, itu tidak masalah!

Google juga ikut-ikutan dengan menambahkan C2PA ke dalam mesin pencarinya. Namun, efektivitasnya masih dipertanyakan. Bayangkan mencari gambar di Google dan harus mengecek satu per satu apakah ada metadata C2PA atau tidak. Lumayan bikin pegal mata, kan?

Kenapa C2PA Jadi Kurang Greget?

Salah satu penyebabnya adalah perubahan fokus CAI. Awalnya, mereka ingin membuktikan bahwa sebuah foto itu nyata dan tidak diedit. Namun, seiring dengan maraknya AI, mereka mulai fokus untuk membuktikan bahwa sebuah gambar itu dibuat oleh AI. Padahal, membuktikan keaslian foto jauh lebih mudah daripada membuktikan ketidakasliannya. Ibaratnya, lebih mudah membuktikan bahwa seseorang itu jujur daripada membuktikan bahwa dia berbohong.

Digimarc Labs bahkan merilis ekstensi Chrome yang bisa menampilkan metadata C2PA secara langsung di browser. Keren, kan? Tapi, sayangnya, hampir tidak ada foto online yang memiliki metadata C2PA. Ini seperti punya mobil balap super cepat, tapi tidak ada jalan yang layak untuk memacu kecepatannya.

Jadi, kita punya alat yang canggih untuk memverifikasi keaslian foto, tapi tidak ada foto yang memiliki metadata yang bisa diverifikasi. Ini seperti punya detektor hantu super canggih, tapi tidak ada hantu yang muncul. Ironis, bukan?

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Para produsen kamera pun bingung. Mereka masih berdebat tentang cara terbaik untuk mengimplementasikan C2PA secara kohesif. Banyak yang memilih untuk "wait and see". Produsen kamera menunggu media untuk menerapkan sistem, dan media menunggu produsen kamera untuk lebih luas mendukung metadata. Jadi intinya, saling tunggu menunggu. Kalau begini terus, kapan majunya?

Ini seperti lingkaran setan. Semua orang menunggu orang lain untuk bergerak terlebih dahulu. Padahal, yang dibutuhkan adalah inisiatif dari salah satu pihak. Atau mungkin, semua pihak harus bergerak bersamaan.

Sistem C2PA sebenarnya adalah cara terbaik untuk memverifikasi keaslian foto. Tapi, tanpa dorongan yang kuat, sistem ini akan terus terbenam dalam lumpur ketidakpastian. Bayangkan seperti mendorong gerobak yang penuh muatan di jalan berlumpur. Butuh tenaga ekstra, dan yang lebih penting, kemauan untuk sampai tujuan.

Masa Depan C2PA: Masih Ada Harapan?

Lantas, apakah C2PA akan menjadi sekadar mimpi di siang bolong? Tentu saja tidak! Masih ada harapan. Yang dibutuhkan adalah kesadaran dari semua pihak, mulai dari produsen kamera, pengembang software, media, hingga pengguna akhir.

Kita sebagai pengguna juga bisa berperan aktif dengan menuntut agar setiap gambar yang kita lihat memiliki metadata C2PA. Semakin banyak orang yang peduli, semakin besar tekanan yang akan diberikan kepada para pemangku kepentingan untuk segera mengimplementasikan C2PA secara luas.

Jangan lupa untuk selalu kritis dan skeptis terhadap informasi yang kita terima. Di era digital yang serba cepat ini, kemampuan untuk memverifikasi keaslian konten adalah keterampilan yang sangat berharga. Dan mungkin, dengan sedikit usaha, kita bisa membuat dunia digital menjadi tempat yang lebih jujur dan transparan.

Pada akhirnya, keaslian itu penting. Bayangkan sebuah mahakarya seni yang ternyata palsu. Nilai dan maknanya pasti akan berkurang drastis. Begitu pula dengan informasi. Informasi yang tidak akurat atau dimanipulasi bisa menimbulkan dampak yang sangat buruk. Jadi, mari kita jaga keaslian informasi, demi masa depan yang lebih baik. C2PA mungkin bukan solusi sempurna, tetapi setidaknya, ini adalah langkah awal yang penting.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Koordinasi dengan Polri dalam Penindakan Tambang Raja Ampat: Pemerintah Hadapi Konsekuensi

Next Post

Gracie Abrams, Garth Brooks, Mike Love di Songwriters Hall of Fame: Pengakuan Tinggi Industri Musik