Dark Mode Light Mode

DPR Akan Merancang UU Khusus tentang Penyadapan: Potensi Pelanggaran Privasi Mengemuka

Dunia digital kita ini ibarat hutan rimba yang luasnya tak terukur, dan kadang kita lupa bahwa setiap langkah kita bisa jadi terpantau. Nah, kabar terbaru dari Gedung DPR RI sedikit banyak mengingatkan kita soal itu.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana membuat undang-undang khusus yang mengatur tentang penyadapan. Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyampaikan bahwa hal ini sudah masuk dalam agenda legislasi DPR sejak periode sebelumnya. Jadi, ini bukan ide yang tiba-tiba muncul saat lagi minum es teh di kantin.

Panitia kerja revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sepakat untuk tidak memasukkan kewenangan penyadapan bagi penegak hukum dalam draf revisi KUHAP saat ini. Alasan utamanya? Kekhawatiran penyalahgunaan wewenang. Bayangkan kalau setiap orang sedikit-sedikit langsung disadap, bisa-bisa kita curhat sama roommate aja jadi was-was.

Menurut Habiburokhman, yang juga seorang politisi dari Partai Gerindra, sudah ada anggaran negara yang dialokasikan untuk membahas masalah penyadapan ini. “Bahkan, kami sudah melakukan beberapa kunjungan kerja, artinya sudah ada anggaran negara yang dikeluarkan untuk membahas tentang penyadapan,” ujarnya, seperti dikutip dari pernyataan resmi di situs web DPR pada Sabtu, 12 Juli 2025. Anggaran negara memang paling enak kalau dipakai buat bahas yang penting-penting gini.

Revisi KUHAP sebelumnya memang sempat memasukkan ketentuan mengenai penyadapan. Namun, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) meminta agar ketentuan tersebut dihapus dari rancangan undang-undang. Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Refa, khawatir penyadapan untuk kepentingan penyidikan bisa disalahgunakan. Ya, namanya juga kekuasaan, kalau tidak diawasi ketat, bisa kebablasan.

“Dalam upaya paksa untuk tindak pidana umum yang ada dalam KUHAP ini, penyadapan harus dihilangkan,” kata Sapriyanto saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2025. Intinya, jangan sampai KUHAP jadi all-in-one untuk segala urusan penyadapan.

Dia menunjuk bahwa penyadapan sudah diatur dalam beberapa undang-undang lain, termasuk Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Kepolisian. “Biarkan itu berada dalam ranah undang-undang masing-masing, tidak perlu dimasukkan ke dalam KUHAP,” katanya. Jadi, jangan tumpang tindih, bikin bingung aja.

UU Penyadapan: Perlukah Kita Lebih Waspada?

Mengingat potensi penyalahgunaan penyadapan, wajar jika banyak pihak merasa khawatir. Regulasi yang jelas dan ketat sangat diperlukan agar penyadapan tidak menjadi alat untuk menindas atau mengintimidasi. Kita semua tentu tidak mau kan, tiba-tiba jadi tokoh utama dalam film thriller gara-gara urusan penyadapan ini?

Maka dari itu, Sapriyanto mengusulkan agar upaya paksa yang tercantum dalam RUU KUHAP dibatasi pada penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, pemeriksaan surat, penggeledahan, penyitaan, dan/atau pencegahan terhadap tersangka yang berada di luar wilayah Indonesia. Jadi, lebih fokus pada hal-hal yang memang krusial dan tidak membuka celah untuk penyalahgunaan.

Batasan Penyadapan: Antara Keamanan dan Privasi

Pembahasan tentang RUU Penyadapan ini mau tidak mau membawa kita pada pertanyaan mendasar: bagaimana menyeimbangkan antara keamanan negara dan hak privasi warga negara? Ini bukan perkara mudah, karena keduanya sama-sama penting. Ibaratnya, kita mau rumah aman, tapi nggak mau juga dikurung di dalam bunker selamanya.

Penting untuk diingat bahwa penyadapan adalah alat yang sangat kuat. Jika tidak diatur dengan baik, alat ini bisa digunakan untuk memata-matai lawan politik, membungkam kritik, atau bahkan memeras orang lain. Oleh karena itu, proses pembuatan RUU Penyadapan ini harus dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik. Jangan sampai kita kecolongan, tiba-tiba ada UU yang isinya nggak pro rakyat.

Pro dan Kontra UU Penyadapan: Siapa yang Untung, Siapa yang Rugi?

Tentu saja, RUU Penyadapan ini tidak akan lolos tanpa perdebatan. Ada yang mendukung karena merasa perlu untuk memberantas kejahatan yang semakin canggih. Ada juga yang menolak karena khawatir akan pelanggaran hak asasi manusia.

Argumen yang mendukung biasanya menekankan pada efektivitas penyadapan dalam mengungkap kasus-kasus besar, seperti terorisme, korupsi, dan narkoba. Dengan penyadapan, penegak hukum bisa mendapatkan informasi yang akurat dan real-time, sehingga bisa mencegah terjadinya kejahatan atau menangkap pelaku dengan lebih cepat. Tapi, tentu saja, ini harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai prosedur yang ketat. Jangan sampai malah jadi bumerang.

UU Penyadapan: Jangan Sampai Jadi Alat Politik

Pada akhirnya, RUU Penyadapan ini harus dibuat dengan tujuan yang jelas: untuk melindungi masyarakat dari kejahatan, bukan untuk kepentingan politik tertentu. Jika RUU ini sampai disalahgunakan, maka dampaknya bisa sangat buruk bagi demokrasi dan kebebasan sipil. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara harus melek dan ikut mengawasi proses pembuatan RUU ini. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari. Ingat, kekuatan ada di tangan kita untuk menyuarakan pendapat dan memastikan bahwa RUU ini benar-benar bermanfaat bagi kepentingan bersama.

RUU Penyadapan ini adalah isu penting yang perlu kita perhatikan bersama. Jangan sampai kita cuek bebek dan baru sadar ketika hak privasi kita sudah terancam. Mari kita kawal proses pembuatan RUU ini agar menghasilkan aturan yang adil, transparan, dan melindungi hak-hak kita sebagai warga negara. Karena, sejatinya, privacy matters.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Sheep Esports - AL Flandre: Juara Dunia Sudah Lewat, Fokus Masa Kini Saja

Next Post

Pojok Petrolhead: Tombak Sadair Koenigsegg, Ancaman dari Indonesia