Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Jugband Blues: Ayah Penulis Surat Kabar Terkejut Jadi Bagian dari ‘Sonic Mayhem’ Pink Floyd

Wolves: Hardcore Inggris yang Menggebrak Batas dengan Mathcore dan Melodi

EBUS Kian Dipercaya: Diagnosis Kanker Paru Lebih Akurat

Memecah Kode Biomarker: Biopsi Bronkoskopik vs. CT-Guided, Siapa Juaranya?

Dulu, mendiagnosis kanker paru-paru dan menentukan rencana perawatannya kadang terasa seperti sedang mencoba memecahkan misteri kuno dengan peralatan seadanya. Kita bicara tentang era di mana sampel jaringan hanya dibutuhkan untuk penentuan stadium penyakit, belum sejauh analisis biomarker yang rumit. Namun, di zaman modern yang serba cepat ini, kebutuhan akan sampel jaringan yang memadai untuk pengujian biomarker telah menjadi kunci utama, mengubah lanskap diagnosis dan penanganan kanker paru. Pertanyaannya kemudian, di antara teknik biopsi yang ada, siapa yang bisa diandalkan untuk menjadi “juara bertahan” dalam duel mendapatkan sampel yang berkualitas?

Kemajuan pesat dalam pengobatan kanker paru telah membawa serta opsi terapi target yang jauh lebih presisi. Dengan meningkatnya program skrining kanker paru, para profesional medis dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana mendiagnosis pasien sejak dini, dan setelah diagnosis ditegakkan – baik itu kanker lokal, lokal lanjut, atau bahkan metastasis – bagaimana mendapatkan sampel jaringan yang tidak hanya untuk diagnosis semata, tetapi juga untuk pengujian biomarker yang memadai, dan semua itu dilakukan dengan cara paling aman? Bidang pulmonologi intervensi, bak superhero baru di kancah medis, telah melesat maju dalam satu dekade terakhir, seiring dengan evolusi pilihan pengobatan.

Kemunculan teknologi seperti bronkoskopi robotik atau navigasi pada sekitar tahun 2018 menjadi titik balik. Ini ibarat mendapatkan “upgrade skill” yang signifikan, memungkinkan para dokter tidak hanya mendapatkan diagnosis akurat tapi juga menjamin keamanan pasien. Teknologi ini dirancang untuk memastikan jumlah jaringan yang cukup untuk pengujian molekuler, sebuah langkah krusial dalam era terapi personalisasi. Uji klinis VERITAS, yang baru-baru ini diterbitkan di New England Journal of Medicine, menunjukkan bahwa bronkoskopi robotik memiliki keandalan diagnostik setara dengan biopsi CT-guided. Namun, ada satu pertanyaan krusial yang belum terjawab: bagaimana dengan hasil diagnostik untuk pengujian molekuler?

Untuk menjawab teka-teki ini, sebuah panel ahli multidisiplin dari American Association of Bronchology and Interventional Pulmonology (AABIP) dan Early Detection and Screening Committee of the International Association for the Study of Lung Cancer (IASLC) menerbitkan pedoman praktik klinis di Journal of Thoracic Oncology. Dr. Abhinav Agrawal, direktur sistem pulmonologi intervensi di Northwell Health dan salah satu penulis utama laporan tersebut, membeberkan temuannya. Pedoman ini hadir sebagai “kompas” baru, membimbing dokter melalui labirin pilihan diagnosis kanker paru, dengan fokus pada keselamatan dan kecukupan sampel untuk biomarker.

Petualangan Mencari Nodule: Lebih Aman, Lebih Akurat?

Pedoman ini secara cerdas membagi pertanyaan ke dalam dua kategori utama, dimulai dengan nodul paru perifer. Ini adalah benjolan kecil di tepi paru-paru yang sering kali menjadi pusat perhatian. Pertanyaannya, bagaimana cara terbaik mendekati nodul ini? Opsi apa saja yang tersedia, bagaimana profil keamanannya, dan yang terpenting, seberapa besar peluang mendapatkan sampel yang cukup untuk pengujian molekuler?

Ketika berbicara tentang biopsi nodul paru perifer, bronkoskopi terpandu, terutama dengan bantuan robotik, menjadi sorotan utama. Studi menemukan bahwa bronkoskopi robotik jauh lebih aman dibandingkan pendekatan standar saat ini, yaitu biopsi CT-guided. Ini karena bronkoskopi tidak melewati pleura, membran yang melapisi paru-paru, sehingga menurunkan risiko pneumotoraks atau paru-paru kolaps. Temuan ini juga didukung oleh data dari uji klinis VERITAS, yang mengonfirmasi bahwa keamanan adalah nilai jual utamanya.

Yang lebih menarik lagi, pedoman ini berhasil menjawab pertanyaan yang selama ini menggantung: kecukupan diagnostik dan jumlah jaringan yang bisa diperoleh. Menggabungkan bronkoskopi robotik dengan forceps atau kriobiopsi (biopsi beku) terbukti tidak hanya dapat menginformasikan diagnosis, tetapi juga memberikan informasi yang cukup untuk pengujian biomarker. Ini adalah “cheat code” yang memungkinkan dokter menyusun rencana perawatan personalisasi, mirip dengan meramu ramuan khusus untuk setiap pasien.

Drama di Mediastinum: EBUS Menjadi Bintang Utama

Bagian kedua dari pedoman ini membahas pertanyaan yang lebih tradisional: biopsi kelenjar getah bening mediastinal atau hilus menggunakan ultrasound endobronkial (EBUS). Sekitar 20 tahun lalu, sebelum EBUS populer, mediastinoskopi adalah pilihan utama. Namun, komunitas medis telah melihat pergeseran besar ke biopsi kelenjar getah bening yang dipandu EBUS, mengingat sensitivitas serta nilai prediktif positif dan negatif yang tinggi. Ini seperti beralih dari ponsel jadul ke smartphone terbaru.

Pedoman tersebut menegaskan bahwa EBUS adalah prosedur yang lebih aman karena sifatnya yang kurang invasif, sebuah temuan yang sudah mapan dan kembali ditegaskan. Yang mengejutkan, meskipun kurang invasif, teknologi EBUS telah berkembang pesat dengan jarum yang lebih canggih dan kemampuan kriobiopsi mediastinal. Ini memungkinkan pengambilan potongan jaringan yang lebih besar, membuat pengujian biomarker dari EBUS sebanding dengan mediastinoskopi. Kecuali dalam skenario tertentu yang jarang terjadi, biopsi kelenjar getah bening yang dipandu EBUS kini menjadi pendekatan pertama bagi pasien dengan dugaan kanker paru atau yang membutuhkan jaringan tambahan untuk pengujian molekuler.

Jadi, apakah mediastinoskopi masih punya peran di era ini? Tentu saja, seperti side quest dalam game, ada beberapa situasi khusus. Misalnya, jika ada kelenjar getah bening abnormal yang terlihat pada pencitraan, tetapi EBUS menunjukkan hasil negatif, mediastinoskopi mungkin diperlukan untuk memastikan tidak ada “false negative.” Peran lainnya adalah untuk pasien dengan nodul paru kanker paru sel kecil, di mana mediastinoskopi secara tradisional digunakan untuk memastikan tidak ada penyakit mikroskopis di mediastinum. Namun, ini adalah skenario yang langka. Di luar itu, biopsi kelenjar getah bening yang dipandu EBUS telah menjadi standar pelayanan, baik dari sudut pandang diagnostik, keselamatan, dan sekarang, hasil molekuler.

Mengukur Kecukupan Sampel: Misi Mustahil atau Kemajuan Realistis?

Menentukan apakah biopsi bronkoskopi cukup memadai untuk kebutuhan biomarker saat ini adalah salah satu aspek paling menantang dari pedoman ini. Data panel onkogen dari tahun 2010 mungkin sudah tidak relevan lagi dengan panel yang lebih luas yang tersedia sekarang. Lapangan ini terus berkembang, seperti software yang selalu mendapatkan update baru. Untuk mengatasi hal ini, pedoman hanya menyertakan data dari 10 tahun terakhir, yaitu sejak panel gen yang diperluas tersedia, dan tidak menyertakan makalah yang lebih lama agar tidak mengacaukan analisis data.

Bagaimana dengan keandalan sampel ini untuk Next-Generation Sequencing (NGS)? Kabar baiknya adalah kemampuan untuk menggunakan sampel yang semakin kecil untuk melakukan NGS terus meningkat. Para profesional medis semakin mahir dalam mendapatkan biopsi yang lebih besar secara minimal invasif, seperti biopsi metastasis menggunakan pendekatan EBUS-guided, tanpa memerlukan sayatan. Pada saat yang sama, tim laboratorium semakin baik dalam mendapatkan pengujian molekuler dari potongan jaringan yang lebih kecil. Hasil pengujian biomarker sangat baik, meskipun tidak pernah 100%. Ini menjadikannya pendekatan lini pertama yang andal, memberikan pasien jawaban dari perspektif pengujian biomarker untuk memandu terapi target.

Meskipun kemajuannya luar biasa, masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Uji klinis VERITAS, meskipun merupakan uji coba terkontrol acak pertama yang membandingkan biopsi bronkoskopi, tidak menggunakan navigasi robotik melainkan navigasi elektromagnetik tradisional. Ada persepsi bahwa navigasi robotik, terutama jika dikombinasikan dengan pencitraan canggih, bisa menjadi lebih baik lagi. Data retrospektif memang menunjukkan hasil diagnostik di atas 90% untuk bronkoskopi robotik, lebih tinggi dari kisaran 70% hingga 80% yang terlihat pada uji coba VERITAS untuk biopsi CT-guided atau bronkoskopi navigasi elektromagnetik. Ini berarti lebih banyak data diperlukan untuk memastikan bahwa teknologi yang semakin maju ini benar-benar menghasilkan hasil yang lebih baik bagi pasien.

Selain itu, pertanyaan tentang alat apa yang bisa digunakan untuk mendapatkan lebih banyak jaringan masih terbuka. Kriobiopsi, misalnya, telah menunjukkan peningkatan, tetapi data kriobiopsi sebagian besar bersifat retrospektif. Diperlukan lebih banyak studi untuk melihat apakah ada perbedaan dalam hal alat yang digunakan untuk mendapatkan jumlah jaringan dan apakah itu berdampak pada manfaat klinis bagi pasien. Di samping hasil diagnostik, pertimbangan biaya juga penting. Penggunaan alat dan teknologi yang lebih bijaksana dapat mencegah peningkatan beban biaya perawatan kesehatan.

Pesan untuk Oncolog: Waktu adalah Emas

Bagi para onkolog, pedoman ini membawa “plot twist” besar. Biopsi CT-guided secara tradisional dianggap sebagai standar emas karena ketersediaan dan rekomendasi NCCN sebelumnya. Namun, lanskap telah berubah. Kemajuan dalam teknik bronkoskopi kini memungkinkan dokter tidak hanya mendiagnosis nodul tetapi juga menentukan stadium pasien. Jika ada dugaan keterlibatan mediastinal, dokter dapat memperoleh diagnosis, mendapatkan jaringan untuk pengujian molekuler, dan menentukan stadium patologis segera setelah prosedur.

Pentingnya diskusi multidisiplin antara pulmonolog atau ahli bedah toraks dan onkolog untuk mengevaluasi kebutuhan pengujian biomarker tidak bisa diremehkan. Tidak semua pasien kanker paru stadium I membutuhkan pengujian biomarker, tetapi jika ada penyakit lokal lanjut, maka pengujian biomarker sangat penting. Teknologi saat ini memungkinkan biopsi nodul yang lebih kecil, mengidentifikasi kanker paru, dan menyusun rencana perawatan komprehensif sesegera mungkin, serta menilai apakah pasien akan mendapat manfaat dari terapi target.

Idealnya, biopsi pasien perlu didiskusikan di tumor board untuk melihat apakah pengujian biomarker diperlukan. Jika ditemukan adenokarsinoma lokal lanjut, pengujian NGS dapat diminta segera, bukan menunggu pasien bertemu onkolog terlebih dahulu. Ini adalah strategi yang telah membantu mempercepat waktu dari diagnosis ke pengobatan. Bagi onkolog komunitas yang mungkin tidak memiliki akses langsung, penting untuk mengembangkan alur kerja yang dapat mengurangi waktu tunggu ini.

Ini adalah waktu yang cerah bagi pasien, berkat kemajuan signifikan dalam pengobatan kanker paru. Melalui upaya kolaboratif AABIP dan IASLC, bidang pulmonologi intervensi bertekad untuk memastikan bahwa diagnostik dan pendekatan diagnostik mereka sejalan dengan kemajuan yang terlihat dalam terapi target. Pedoman dan ringkasan di masa depan akan terus membantu memandu pengobatan bagi para onkolog, pulmonolog, dan internis, memastikan diagnosis dini kanker paru dan pemberian pengobatan sesegera mungkin.

Previous Post

NASA SpaceX Kirim Bahan Bakar untuk Mimpi Antariksa

Next Post

Half-Life 3: Kisah Tak Berujung yang Menggantungkan Harapan

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *