Siapa bilang lari itu cuma buat ngejar diskonan di flash sale? Kenalan sama Nasser Hakami, nih, pelari asal Saudi yang bikin kita mikir ulang soal definisi “lari dari kenyataan”. Dia bukan cuma lari di atas aspal, tapi mendaki gunung, melewati lembah, sampai bikin iri kambing gunung saking jagonya.
Nasser Hakami: Antara Tuwaiq dan Mont Blanc
Nasser Hakami, pria 40 tahun yang tinggal di Riyadh, punya hobi yang bikin kita bertanya-tanya: “Ini orang nggak capek apa, ya?”. Dia bukan cuma sekadar lari pagi di sekitar komplek, tapi juga ikut lomba lari gunung yang levelnya udah kayak ujian masuk surga. Mulai dari AlUla Trail Race sampai Ultra-Trail Chiangmai di Thailand udah dijabanin. Kayaknya, dia punya dendam pribadi sama gravitasi, deh.
Tapi, yang paling bikin geleng-geleng kepala adalah prestasinya di Ultra-Trail du Mont-Blanc (UTMB). Lari sejauh 171 kilometer dengan total tanjakan 10.000 meter? Itu mah bukan lari, tapi napak tilas pendaki Everest. Dan yang lebih gilanya lagi, dia ngaku jadi orang Arab pertama yang nyelesein ginian. Gokil!
Buat sebagian orang, mungkin lari itu cuma olahraga. Buat Nasser, ini kayak terapi jiwa. “Passion dan ambisi mendorong saya ke olahraga ini, karena saya mencintai gunung sejak muda dan saya mencintai alam pegunungan,” katanya. “Saya menemukan diri saya di dalamnya — hasrat saya pada alam, dan ini cara saya untuk melarikan diri dari tekanan hidup.” Melarikan diri dari tekanan hidup dengan lari 171 km? Oke, fix, definisi “coping mechanism” kita beda.
Mountain Running: Bukan Sekadar Lari, Tapi Juga Filosofi Hidup
Nggak semua orang paham kenapa ada orang yang rela nyiksa diri lari di gunung. Udah jalannya nggak rata, oksigen tipis, cuaca ekstrem pula. Tapi, buat Nasser, justru di situlah letak kenikmatannya. Katanya, lari gunung itu udah ngebentuk karakternya jadi lebih baik. “Ini telah memberi saya pandangan jauh ke depan, mengajari saya untuk berpikir di luar kotak dan menemukan solusi untuk setiap masalah,” jelasnya.
Bayangin aja, lagi lari nanjak, tiba-tiba ada batu gede ngehalangin jalan. Kalau di kehidupan normal, mungkin kita udah ngomel-ngomel sambil nyalahin pemerintah. Tapi, kalau lagi lari gunung, mau nggak mau kita harus cari cara buat ngelewatin batu itu. Sama kayak masalah hidup, kan? Nggak bisa dihindari, tapi bisa dicari solusinya.
Iqal dan Bisht di Puncak Mont Blanc: Ketika Tradisi Bertemu Tantangan
Satu hal yang bikin Nasser Hakami makin keren adalah caranya dia merepresentasikan budaya Saudi di setiap lomba. Di garis finish UTMB, dia dengan bangga mengenakan pakaian tradisional Saudi — iqal dan bisht. Bukan cuma buat gaya-gayaan, tapi juga buat nunjukkin identitasnya sebagai orang Arab. “Saya senang mewakili Kerajaan dan orang Arab, dan saya mewujudkannya melalui pakaian Saudi yang saya kenakan dengan bangga. Interaksi penonton sangat menyentuh,” ujarnya.
Ini nih yang namanya totalitas. Udah lari sejauh itu, masih sempet-sempetnya mikirin penampilan. Kayaknya, Nasser Hakami ini punya stok iqal dan bisht yang disimpen khusus buat dipake di garis finish lomba lari gunung. Kita jadi penasaran, kira-kira dia nyucinya gimana, ya? Apa ada laundry khusus buat pakaian tradisional yang abis dipake lari di gunung?
Kendala dan Mimpi: Ketika Sponsor Jadi Penentu Nasib
Meskipun udah banyak prestasi yang diraih, Nasser Hakami nggak lepas dari berbagai kendala. Medan yang berat, kondisi cuaca yang ekstrem, dan kurangnya sponsor jadi tantangan tersendiri buat dia. Tapi, dia nggak nyerah gitu aja. “Semangat saya untuk apa yang saya lakukan membuat saya mengatasi (tantangan ini). Ketika Anda menikmati apa yang Anda cintai, tidak ada yang dapat menghentikan Anda untuk menjadi kreatif,” katanya.
Nah, ini nih yang sering jadi masalah buat atlet-atlet di Indonesia juga. Potensi ada, semangat membara, tapi dukungan finansial minim. Padahal, kalau ada sponsor yang mau ngedukung Nasser Hakami, mungkin dia bisa lari lebih jauh lagi. Bahkan, dia punya mimpi buat ngewakilin Saudi di lomba lari terpanjang di dunia yang ada di Amerika Serikat. “Jika (saya dapat menemukan) sponsor yang mendukung mimpi ini,” harapnya.
Tuwaiq: Gunung Inspirasi dan Sumber Kekuatan
Buat Nasser Hakami, Tuwaiq Mountain bukan cuma sekadar gunung biasa. Tapi, gunung ini adalah sumber inspirasi dan tempat dia berlatih. “Tuwaiq Mountain adalah sumber inspirasi bagi saya, dan banyak sesi latihan panjang saya diadakan di sana. Saya menarik kekuatan saya dari gunung ini,” katanya.
Kita jadi mikir, apa jangan-jangan di puncak Tuwaiq Mountain itu ada semacam buff atau item tersembunyi yang bisa nambah stamina dan kekuatan? Atau mungkin, Nasser Hakami ini punya ritual khusus sebelum lari, kayak meditasi di puncak gunung sambil nyanyiin lagu kebangsaan Saudi? Entahlah, cuma dia yang tahu.
Lari Gunung: Lebih dari Sekadar Olahraga
Kisah Nasser Hakami ini ngingetin kita bahwa olahraga itu nggak cuma soal kesehatan fisik, tapi juga soal mental dan spiritual. Lari gunung bukan cuma soal ngalahin jarak dan ketinggian, tapi juga soal ngalahin diri sendiri. Soal nyari makna hidup di tengah alam yang liar dan nggak terduga.
Jadi, Kapan Kita Lari?
Setelah baca kisah Nasser Hakami ini, mungkin kita jadi mikir buat nyobain lari gunung. Tapi, inget, ya, jangan langsung sok-sokan lari ke Everest. Mulai aja dari gunung yang deket rumah, atau minimal lari di taman sambil ngejar layangan putus. Siapa tahu, dengan lari, kita bisa nemuin “Tuwaiq Mountain” versi kita sendiri.
Intinya, Nasser Hakami ini udah ngebuktiin bahwa dengan semangat dan kerja keras, nggak ada yang nggak mungkin. Asal ada kemauan, lari dari Tuwaiq sampai Mont Blanc pun bisa. Tinggal cari sponsor yang mau ngebayarin tiket pesawat sama laundry iqal dan bisht-nya aja, sih.