Farseer: Ketika Band Lain Masih Sibuk Cari Jati Diri, Mereka Udah Bikin ‘Portals To Cosmic Womb’ yang Bikin Otak Meledak!
Di tengah gempuran band yang kadang merasa cukup dengan rebahan estetis, Farseer justru memilih jalur ekstrem. Bayangkan saja, alih-alih terjebak nostalgia debut yang psychedelic, mereka malah pulang kuliah dan mendaki gunung musikalitas setinggi Everest. Hasilnya? Portals To Cosmic Womb, sebuah album yang siap membukakan pintu ke dimensi lain, mungkin dimensi di mana headphone bisa bicara dan meminta maaf karena terlalu sering dipakai mendengarkan musik berat. Ini bukan sekadar album, ini adalah deklarasi bahwa Farseer tidak main-main, bahkan mungkin tidak bercanda sama sekali saat menciptakan karya baru yang jauh lebih gelap dan kompleks ini.
Dari Kandang Ayam Hingga Gerbang Kosmik: Kisah Farseer yang Bukan Kaleng-Kaleng
Kisah Farseer, band asal Cary, pinggiran kota Chicago, bisa dibilang mirip dongeng modern. Brendan McCarthy (gitar/vokal), Ted Ballantine (gitar), George Burrows (bass), dan Kyle Curtis (drum) sudah main musik bareng sejak kelas 8 SMP. Ini bukan lagi sekadar band teman, ini adalah ikatan persahabatan yang ditempa bertahun-tahun lamanya, sebuah fondasi kokoh yang tidak banyak band bisa miliki. Kebersamaan mereka ini bukan hanya sebatas di panggung atau studio saja, melainkan juga tumbuh bersama di lingkungan yang sama.
Namun, baru setelah kembali ke Chicago pasca-kuliah, kuartet ini memutuskan untuk serius. Dengan niat bulat mengaplikasikan kolaborasi bertahun-tahun mereka ke satu proyek tunggal yang terfokus, Farseer akhirnya terbentuk pada tahun 2016. Mereka mungkin sudah melewati fase “band garasi” dengan segala eksperimennya, dan kini saatnya mereka tampil di arena yang lebih besar.
Debut self-titled mereka di tahun 2019, yang berdurasi empat puluh enam menit, adalah sebuah sajian progressively psychedelic stoner sludge. Album tersebut menjadi fondasi yang cukup solid, menunjukkan potensi yang menjanjikan dari para musisi ini. Sejak saat itu, para penggemar mulai melirik dan bertanya-tanya, ke mana arah musikalitas mereka akan berlabuh.
Debut ini bagaikan sebuah buku pertama, yang meski belum sempurna, namun sudah cukup untuk membuat pembaca penasaran akan bab selanjutnya. Farseer berhasil menciptakan identitas awal yang kuat, mencampuradukkan berbagai elemen genre yang cukup populer pada masanya. Namun, mereka tahu bahwa evolusi adalah kunci untuk bertahan di belantara industri musik.
Kini, enam tahun berselang, dengan line-up yang tetap utuh dan solid, Farseer bersiap meluncurkan album kedua mereka: Portals To Cosmic Womb. Enam tahun bukan waktu yang singkat, waktu yang cukup untuk meramu, merenung, dan tentu saja, berevolusi. Ini bukan lagi sekadar mencoba-coba, ini adalah hasil dari dedikasi dan perjalanan panjang.
Artwork sampul album yang Burke-ish karya Ryan T. Hancock, logo yang lebih dewasa dan tidak terlalu “stoner,” serta daftar referensi band seperti Mastodon, Opeth, dan Elder, mengisyaratkan keseriusan yang lebih tinggi. Sepertinya Farseer telah melakukan level up dalam setiap aspek kreatif mereka. Ekspektasi pun meningkat tajam, membuat banyak pendengar penasaran dengan kelahiran karya terbaru mereka ini.
Ritual Penjelajahan Suara: Evolusi Farseer yang Bikin Geleng-Geleng
Mengenyampingkan sebagian besar elemen psychedelic dan stoner-rock, suara Farseer telah berevolusi menjadi lebih matang. Kini, musik mereka berakar kuat pada deathly progressive sludge dan atmosfer post-metallic yang lebih gelap. Rasanya seperti sebuah transformasi dari gamer yang suka eksplorasi santai menjadi dark souls player yang fokus pada tantangan berat.
Hal yang paling mencolok dari Portals To Cosmic Womb adalah absennya trek instrumental yang melamun. Pada album debut, lagu-lagu seperti ini cukup mendominasi, memberikan ruang bagi pendengar untuk tenggelam dalam atmosfir. McCarthy juga tidak lagi bermain-main dengan vokal bersihnya di album ini.
Di sini, ia secara konsisten menggunakan growl-nya yang sangat efektif dan powerful, terdengar seperti Mikael Åkerfeldt yang sedikit lebih serak. Pilihan ini menunjukkan konsistensi dan fokus pada vibe yang lebih intens. Ini bukan lagi sekadar vokal pengisi, melainkan instrumen vital yang membentuk karakter lagu.
Heroisme gitar McCarthy dan Ballantine berganti-ganti, kadang mengalir dengan riff berat dan substansial ala Mastodon, seperti dalam “The Supreme Note of Suffering.” Di lain waktu, mereka mengalir seperti anak sungai yang membentuk melodi rumit, dengan akord yang dipetik lembut dan lead yang membangun suasana Wayfarer-esque, seperti yang terdengar di “The Abomination Renders the Poor Man Speechless.” Duet gitar ini memang patut diacungi jempol.
Di bawah melodi gitar yang rumit ini, yang ditangkap dengan indah melalui mastering Brad Boatright, terdapat bass line Burrows yang berat dan berliku. Permainan bass-nya seperti fondasi kokoh yang menopang seluruh arsitektur musik Farseer. Sementara itu, drum Kyle Curtis menggelegar maju saat riff memerintah, dan surut kembali saat atmosfer menuntut, menunjukkan kepekaan dinamis yang luar biasa. Farseer membimbing pendengar melalui “rawa kosmik” yang liriknya meresap dalam genangan realitas yang terdistorsi.
Rawa kosmik ini bergelembung dengan ketakutan eksistensial, dihuni oleh absurditas modernitas masyarakat yang memicu kecemasan, mengintai dalam bayangan Cthulhuian. Tema lirik yang gelap dan filosofis ini semakin memperkuat nuansa musik mereka yang mendalam. Ini bukan sekadar musik untuk kepala mengangguk, ini adalah musik untuk pikiran yang merenung.
Menguak Misteri ‘Portals To Cosmic Womb’: Track-by-Track yang Bikin Auto-Repeat
Portals To Cosmic Womb benar-benar meneteskan sorotan di setiap sudutnya, ibarat harta karun yang tak habis-habis. Contohnya “Endless Waves of Obliteration,” yang sesuai namanya, bergelombang antara riff super berat yang terjalin dengan vokal growl yang menggeram dari kedalaman. Ada juga bagian chugs ala Gojira yang menggerakkan, sebelum beralih ke interlude yang didominasi bass dan drum, dihiasi dengan lead bernuansa Timur yang lembut. Chorus-nya? Dijamin bakalan bersemayam di kepala, bikin auto-repeat tanpa disuruh.
Lalu, ada favorit pribadi sang pengulas, “Gentleman’s Bookshelf,” yang dibuka dengan drum berdenyut dan riff pendorong yang disiram banjir tremolo post-metal berkilauan. Sebelum kemudian masuk mode Leviathan penuh untuk bagian vokal McCarthy, sebuah upgrade yang signifikan dari segi intensitas. Trek ini kemudian menyelam ke interlude yang kaya dengan drum fill rumit, bass line yang mengalun, dan lead yang secara halus menyiratkan kesedihan.
Sebelum kembali membangun intensitas untuk diakhiri dengan keagungan ala Mastodon, “Gentleman’s Bookshelf” adalah rollercoaster emosi. Setelah menghabiskan waktu dengan album debut mereka, Farseer yang sekarang terasa sangat matang. Kemampuan mereka dalam menulis lagu yang bermakna namun tetap mudah diingat telah meningkat pesat. Ini menjadikan Portals To Cosmic Womb seperti seorang dark mistress yang misterinya terus terurai dengan setiap putaran selanjutnya.
Ketika Kesempurnaan Hampir Sempurna: Sedikit ‘Kejutan’ di Ujung Perjalanan
Seolah dibangun dari cetak biru desain Opethic, Farseer merancang Portals To Cosmic Womb dengan alur yang hampir tanpa cela. Enam lagu yang terangkum dalam durasi empat puluh menit yang sangat terkelola, menemukan Farseer menggabungkan bagian terbaik dari instrumental melamun mereka ke dalam komposisi yang kokoh. Layaknya pasang surut air laut, lagu-lagu ini naik dan turun dengan intensitas dramatis, menjaga pendengar tetap terpaku.
Namun, selalu ada satu riak di air yang tenang, dan itu adalah lagu penutup album, “The Daneri House.” Meskipun tidak ada yang salah secara inheren dengan lagu tersebut, bahkan bagian flanger modulation pada gitar di enam puluh detik terakhir sangat menyenangkan, memberikan ending yang spasi dan hampir Pink Floydian. Ini adalah lagu paling progresif di album, dengan vokal growl-nya yang mengawali dan time signature kompleks.
Sayangnya, lagu ini terasa memutus pengalaman yang telah diberikan Farseer sepanjang album. Seharusnya “The Daneri House” lebih pas ditempatkan setelah “Gentleman’s Bookshelf.” Dengan begitu, “The Abomination Renders the Poor Man Speechless” bisa menjadi penutup yang menggema, mengakhiri album dengan kesan yang lebih koheren. Ini adalah kritik membangun, sebuah plot twist kecil yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk proyek mendatang.
Proyeksi Bintang: Mengapa Farseer Layak Jadi Playlist Wajibmu
Farseer yang telah “memasak” ide-ide kreatifnya selama enam tahun terakhir telah menghasilkan produk yang jauh lebih baik. Portals To Cosmic Womb benar-benar menghancurkan segala anggapan tentang “sophomore slump” atau kemerosotan di album kedua. Ini adalah bukti bahwa menunggu itu sepadan, dan bahwa proses pematangan adalah kunci kualitas. Jika Farseer terus menapaki jalur yang mereka tetapkan di sini, kemungkinan besar tawaran kontrak rekaman akan segera berdatangan.
Dengan Portals To Cosmic Womb, Farseer kini memasuki jajaran seniman besar Chicago sebagai pesaing yang genuine, dan yang patut diperhatikan. Mereka tidak hanya membawa musik, tetapi juga sebuah visi. Meskipun September terlihat akan menjadi salah satu bulan rilis terbaik tahun ini, Farseer tidak diragukan lagi akan menjadi salah satu titik terang tidak hanya di bulan Agustus, tetapi juga di sepanjang tahun 2025. Album ini adalah masterpiece yang patut jadi playlist wajib.