Oke, siap! Mari kita bedah bagaimana Slayer, band metal legendaris, bisa jadi ikon yang mengguncang dunia musik. Jangan kaget ya, ini bukan sekadar kebisingan, tapi sebuah fenomena!
Slayer: Lebih dari Sekadar Thrash Metal
Bicara soal thrash metal, nama Slayer langsung muncul di benak. Tapi, jangan batasi mereka hanya di genre itu. Pengaruh mereka merambah jauh, mulai dari death metal hingga black metal, bahkan subgenre ekstrem lainnya. Slayer itu seperti bumbu pedas yang bikin semua masakan jadi lebih nendang! Mereka berani, kontroversial, dan punya attitude yang nggak kompromi.
Gitaris Kerry King dengan santai bilang, “Pertanyaan itu lebih cocok buat fans.” Tapi intinya, kehadiran Slayer selalu memicu frenzy. Coba saja sebut nama Slayer, langsung deh pada teriak “SLAYYYYYAAAARGHH!” di mana-mana. Ini bukan sekadar band, tapi sebuah cultural touchstone. Bayangkan saja, ada International Day Of Slayer tiap tanggal 6 Juni! Ini bukti nyata pengaruh mereka yang sudah lintas batas musik.
Awalnya, Slayer kesulitan menembus skena musik Los Angeles yang didominasi band-band glam metal seperti Ratt, Dokken, dan Mötley Crüe. Vokalis sekaligus bassist Tom Araya ingat betul, mereka nggak cocok dengan imej band-band yang berusaha tampil seperti perempuan. Mereka lebih memilih jadi diri sendiri, sama seperti fans mereka. Akibatnya, mereka sering dilarang tampil di klub karena nekat melakukan hal-hal yang dilarang.
Debut panggung Slayer terjadi di South Gate Park Auditorium, Los Angeles, saat Halloween 1981. Tapi, mereka lebih nyaman di Orange County daripada Hollywood. Orange County jadi markas thrash metal, jauh dari hair metal yang identik dengan Hollywood. Bahkan Metallica juga sempat eksis di sana sebelum pindah ke Bay Area. Bisa dibilang, mereka ikut membesarkan skena thrash metal di Orange County.
Meskipun ada persaingan, Kerry mengakui bahwa di awal karir, mereka semua berteman. Tapi namanya juga anak muda, pasti ada saja rasa ingin saling mengungguli. Mereka selalu berusaha mendapatkan demo band lain seperti Metallica dan menjadikan itu sebagai motivasi untuk bikin musik yang lebih keren. Persaingan sehat ala anak band, biar makin semangat berkarya!
Lagu Slayer pertama yang masuk rekaman adalah “Aggressive Perfector” di kompilasi Metal Massacre III (1983). Ini menyusul langkah Metallica dan Overkill yang sudah lebih dulu muncul di seri Metal Massacre. Kemudian, mereka merilis album debut Show No Mercy di label yang sama. Kerry ingat, mereka rekaman tengah malam sampai jam 6 pagi demi dapat harga studio yang lebih murah.
Saat Show No Mercy dirilis, Kerry dan Jeff Hanneman (gitar) masih 19 tahun, sementara Dave Lombardo (drum) baru 18 tahun. Mereka cuma remaja-remaja polos yang berusaha mencari tempat di dunia ini. Awalnya, banyak yang membenci album itu. Butuh waktu lama sampai orang-orang bisa menerima musik mereka. Tapi, gitaris Exodus, Gary Holt, langsung jatuh cinta pada Show No Mercy dan merasa Slayer punya semangat yang sama dengan mereka.
Haunting The Chapel: Transisi Menuju Kegelapan
EP Haunting The Chapel (1984) menjadi lompatan besar bagi Slayer. Namun, album Hell Awaits (1985) yang membuat Slayer menemukan jati dirinya. Kerry mengakui bahwa album ini sangat dipengaruhi oleh Mercyful Fate, band metal okultis asal Denmark. Mereka masih dalam tahap mencari identitas, jadi wajar kalau masih meniru idola. Tapi, Hell Awaits tetap menjadi langkah maju dalam hal penulisan lagu dan musikalitas.
Reign In Blood: Mahakarya yang Mengguncang Dunia
Album ketiga Slayer, Reign In Blood (1986), diproduseri oleh Rick Rubin. Album ini sangat berbeda dari Hell Awaits. Reign In Blood lebih straightforward, brutal, dan nggak basa-basi. Album ini langsung menjadi classic dan masih dianggap sebagai salah satu album metal terpenting sepanjang masa. Padahal, durasinya cuma 28 menit! Singkat, padat, dan mematikan!
Yang lucu, saat latihan, durasi album ini sekitar 33-34 menit. Tapi, saat direkam, durasinya jadi 28 menit. Ini karena mereka sudah terbiasa memainkan lagu-lagu itu, dan Dave Lombardo terkenal suka mempercepat tempo. Kerry mengakui bahwa Reign In Blood adalah blueprint untuk sound Slayer yang classic. Album ini adalah awal dari identitas Slayer yang kita kenal sekarang.
Meskipun nggak sesukses Master Of Puppets-nya Metallica, Reign In Blood berhasil menembus Top 100 Billboard. Konser-konser mereka juga semakin liar dan kacau. Gitaris Overkill, Bobby “Blitz” Ellsworth, ingat pernah melihat seseorang melompat dari balkon saat konser Slayer di Los Angeles. Itu cara mereka menunjukkan kegembiraan! Benar-benar total chaos!
Kontroversi dan Kesuksesan di Balik Reign In Blood
Lirik-lirik Slayer, terutama “Angel Of Death” yang ditulis oleh Jeff Hanneman, menuai kontroversi. Lagu ini menceritakan tentang Josef Mengele, dokter Nazi yang melakukan eksperimen mengerikan di kamp konsentrasi. Columbia Records menolak mendistribusikan album ini karena liriknya yang dianggap kontroversial. Slayer dituduh mengagungkan Nazi, padahal mereka cuma menyajikan fakta sejarah.
Menurut Kerry, lagu itu ditulis seperti dokumenter, bukan pujian untuk Nazi atau Josef Mengele. Slayer nggak pernah takut menulis tentang hal-hal kontroversial. Jeff Hanneman sangat tertarik dengan Perang Dunia II. Kontroversi ini justru membuat nama Slayer semakin dikenal. Dave Lombardo sempat keluar dari band karena merasa nggak dibayar dengan layak.
Setelah merilis Reign In Blood, Slayer memutuskan untuk mengambil arah yang berbeda dengan album South Of Heaven (1988). Mereka nggak mau bikin Reign In Blood jilid dua. Mereka ingin bikin album yang lebih heavy dengan tempo yang lebih lambat. Eksperimen ini berlanjut di album Seasons In The Abyss (1990). Album ini sukses besar dan membuat Slayer semakin mendunia.
Sayangnya, tahun 90-an nggak terlalu bersahabat bagi Slayer. Dave Lombardo kembali keluar, dan mereka kesulitan beradaptasi dengan perubahan tren musik. Mereka sempat mencoba nu metal di album Diabolus In Musica (1998), tapi hasilnya kurang memuaskan. Mereka kembali dengan God Hates Us All (2001) yang lebih brutal.
Setelah itu, Dave Lombardo kembali bergabung selama beberapa album sebelum akhirnya keluar lagi. Jeff Hanneman meninggal dunia pada tahun 2013. Album terakhir Slayer, Repentless (2015), didedikasikan untuk Jeff. Slayer mengumumkan tur perpisahan pada tahun 2018 dan menggelar konser terakhir pada tahun 2019.
Tapi, ternyata itu bukan yang terakhir. Mereka tampil di beberapa festival pada tahun 2023 dan menggelar beberapa konser headlining pada tahun 2024. Kerry menegaskan bahwa Slayer nggak akan tur lagi. Mereka cuma akan tampil di acara-acara khusus. “Slayer nggak akan tur lagi. Kami cuma tampil di acara-acara spesial biar orang-orang bisa nonton,” tegas Kerry.
Terlepas dari semua itu, Slayer sudah mengukir sejarah sebagai salah satu band metal paling berpengaruh sepanjang masa. Pengaruh mereka akan terus terasa di dunia musik. Intinya, Slayer itu band yang nggak pernah takut untuk jadi diri sendiri. Mereka berani, kontroversial, dan punya musik yang mengguncang dunia. Jadi, teruslah teriakkan “SLAYYYYYAAAARGHH!” di mana pun kalian berada!