Dark Mode Light Mode
Super Mario World: Judul Ini Mengisyaratkan Film Mario Berikutnya

Francis Rossi Status Quo: Hasrat Disukai Tak Padam, Meski Didera Finansial dan Neurosis Mendalam

Implikasi Tujuh Program Prioritas Papua Barat 2026

Francis Rossi Status Quo: Hasrat Disukai Tak Padam, Meski Didera Finansial dan Neurosis Mendalam

Siapa bilang musik rock sudah mati? Dengerin cerita Status Quo dulu, deh. Band legendaris ini, jauh sebelum The Beatles menggemparkan dunia, sudah nongkrong bareng. Mereka sering diremehkan karena musiknya yang katanya "gitu-gitu aja", tapi percayalah, Status Quo adalah fondasi rock Inggris, sama pentingnya kayak The Rolling Stones atau The Who. Bayangin aja, mereka udah manggung pas kaset masih jadi raja jalanan!

Dari Sekolah ke Panggung Dunia: Kisah Awal Status Quo

Francis Rossi dan Alan Lancaster, dua anak sekolahan yang gabut, iseng bikin band bernama The Spectres tahun 1962. Setahun kemudian, John Coghlan gabung sebagai drummer. Formasi "Frantic Four" lengkap setelah Rick Parfitt muncul di Butlin's Minehead tahun 1966. Rossi mengaku terinspirasi The Beatles. "Semua orang suka mereka," katanya. "Dulu gue pengen banget disukai. Masih pengen sih, sedikit. Sedih ya? Tapi ya udah, kami coba niru mereka." Lebih dari 60 tahun kemudian, meski tanpa Parfitt (meninggal dunia di usia 68 tahun pada tahun 2016), Rossi tetap semangat nge-rock. "Gue nggak tahu lagi harus ngapain. Udah terobsesi, jadi ya jalan terus."

Rossi sendiri nggak suka ngomongin masa lalu. Tapi, mau gimana lagi? Status Quo lagi siap-siap merilis ulang album Live! (1977) yang direkam di Glasgow. Album itu menggambarkan puncak kejayaan mereka sebagai band rock. Kekuatan dan energi mereka brutal kayak The Stooges, tapi tanpa nihilisme, plus album dan single yang sukses berat.

Boogie Sampai Mati: Formula Ajaib Status Quo

Single pertama mereka, Pictures of Matchstick Men (1968), agak-agak psikedelik gitu. "Kami nggak nyaman jadi bintang pop yang dandan heboh," kata Rossi. "Manajer tur kami, Bob Young, nyaranin buat ganti gaya. Ya udah, kami panjangin rambut, buang baju-baju aneh, ganti celana jeans dan kaos. Dan musik boogie ternyata pas banget buat kami." Gaya boogie mereka, versi hard rock dari 12-bar blues, bisa didengerin di lagu-lagu kayak Whatever You Want atau Roll Over Lay Down.

Rossi bilang gaya boogie ini mirip sama musik shuffle Italia yang dia dengerin pas kecil di London Selatan. "Banyak hal dalam hidup kita yang shuffle, bahkan lagu anak-anak. Mars juga gitu. Gue suka banget, dari dulu sampai sekarang." Selain itu, mereka juga dengerin musik di kampus-kampus tempat mereka manggung. "Dulu kami sering manggung bareng Fleetwood Mac di kampus," kata Rossi. "Kami bisa duduk di pinggir panggung dan mereka main der-der, der-der, selama satu setengah jam. Kami pengen kayak gitu, jadi kayak mereka."

Lebih Dari Sekadar Boogie: Lirik yang Tersembunyi

Status Quo sering dicap sebagai band "main keras, nggak pake mikir, boogie doang". Bahkan sempat diparodikan sama Alberto y Lost Trios Paranoias tahun 1978. Tapi, musik mereka lebih dari itu. Lagu Down Down (1975) yang jadi nomor 1, dengan banyak bagian yang berbeda, kayak Paranoid Android-nya musik boogie 12-bar. Atau coba dengerin What You're Proposing, salah satu dari dua lagu Top 20 (satunya lagi Living on an Island) tentang alienasi akibat kecanduan kokain. Living on an Island yang ditulis Parfitt, terang-terangan nyeritain tentang nungguin orang dateng ke Jersey bawa narkoba buat dia. What You're Proposing yang ditulis Rossi, lebih implisit, tapi temanya jelas banget. "Dulu gue percaya sama omongan media, katanya lirik lagu kami nggak ada artinya," kata Rossi. "Tapi pas gue baca lagi, gue mikir, ‘Oh, ini tentang istri pertama gue, ini tentang si anu.' Kayaknya nggak keren deh kalo gue bilang, ‘Gue mau nulis tentang ini sekarang.'"

Jaga Kekompakan, Jangan Sampai Bubar!

Rilisan ulang album Live! ini isinya rekaman lengkap dari tiga malam konser di Glasgow Apollo bulan Oktober 1976. Sebenarnya, konser itu bisa direkam di mana aja dan kapan aja di pertengahan tahun 70-an. Soalnya, setlist mereka nggak banyak berubah selama bertahun-tahun. "Kami punya setlist yang bagus, jadi kami pakai terus," kata Coghlan. "Jadi gue nggak perlu ngeliat daftar lagu." Selain itu, Status Quo kerja keras banget selama bertahun-tahun, kayak mesin juggernaut. "Mereka nggak takut kerja keras, dan mereka fokus," kata Bob Young, manajer tur mereka. "Kami cuma salah satu band yang suka manggung," kata Coghlan.

Salah satu hal unik tentang Status Quo adalah para anggotanya hampir selalu nulis lagu bareng. Dan mereka nggak nyari penulis lagu yang jauh-jauh. Nama Young ada di banyak lagu hits Status Quo, yang mungkin bikin dia jadi manajer tur dengan penghasilan tertinggi dalam sejarah rock. Young ketawa dengernya, tapi dia mengakui itu mungkin benar: "Akhirnya gue jadi manajer tur, penulis lagu, dan pemain harmonika."

Perpecahan dan Penyesalan: Ketika Persahabatan Diuji

Tapi, lama kelamaan, kerja sama nulis lagu dengan orang lain nunjukkin kalo mereka nggak akur satu sama lain. "Seharusnya kami istirahat, mungkin tiga atau empat bulan," kata Coghlan. Tapi, mereka nggak ngelakuin itu. Coghlan akhirnya keluar tahun 1982, nendang drumnya pas lagi rekaman dan pergi tanpa ngomong apa-apa, karena udah muak sama teman-teman bandnya. Lancaster, yang udah ngebentuk band ini bareng Rossi, keluar setelah tur End of the Road tahun 1984. Dan Parfitt selalu merasa nggak aman dengan statusnya di band. Dia merasa selalu jadi nomor 2 setelah Rossi, yang berdiri di tengah panggung dan nyanyiin sebagian besar lagu.

"Dia sahabat terbaik gue, tapi ada orang yang ‘ngomporin' dia," kata Rossi. "Ada orang yang tahu itu kelemahan dia. Dan makin lama, makin parah. Gue selalu nganggap kami berdua, karena kami pasangan yang hebat. Dan gue rasa kami agak nggak adil sama yang lain. Kami suka duduk di mobil dan gandengan tangan, pakai baju yang sama, cuma buat ngecengin orang. Dan gue rasa ada orang yang sengaja ngerusak hubungan kami."

Neurodivergen? Pengakuan Mengejutkan Rossi

Rossi emang orang yang unik. "Francis selalu jadi dirinya sendiri," kata Young. "Dia bakal ngomong apa aja yang dia mau; dia nggak punya filter." Di otobiografinya, Rossi nyebutin kebiasaannya ngomong hal-hal yang nggak pantas dan bikin orang tersinggung, dan dia nggak keliatan sedih pas orang yang dia sayang meninggal, termasuk Parfitt. Gue nyebutin kalo gue juga punya sifat kayak gitu, dan gue terobsesi sama itu sampai akhirnya didiagnosis neurodivergen dan tahu kalo itu perilaku yang umum: kurangnya rasa sedih itu berhubungan sama object impermanence tentang orang. Apa dia pernah dites, gue nanya sehalus mungkin?

Dia nggak keliatan kaget, malah tertarik. "Ini pertama kalinya ada orang yang ngebahas ini sama gue. Sekarang banyak hal yang muncul di pikiran gue, karena itu bisa ngejelasin…" Dia mulai nyeritain tentang kematian ibu dan ayahnya. Dia nyolek-nyolek badan ibunya buat mastiin kalo dia udah beneran meninggal. Pas dia dikasih tahu ayahnya meninggal, dia malah pengen mastiin soal jadwal kerjanya: "Gue nanya, ‘Mobilnya dateng jemput gue?' Dan gue ngerasa dingin. Tapi kalo gue ada di situasi kayak gitu dan gue dikasih tahu apa yang harus gue lakuin, gue nggak bisa ngelakuinnya. Gue harusnya sedih, gue harusnya ngomong hal-hal tertentu. Dan gue malah mikir, ‘Gue nggak boleh ngomong itu, itu nggak pantas.' Menarik banget apa yang lo bilang. Gue nggak pernah mikirin itu sebelumnya."

Rossi, yang udah 76 tahun di bulan Mei, nggak bakal nyerah dalam waktu dekat. Dia nyebutin rencananya buat beberapa tahun ke depan, dan bilang kalo dia masih suka banget manggung di depan penonton. Dia juga ngomong sesuatu yang familiar dari generasi orang tua gue, orang-orang kelas pekerja yang tumbuh jadi nyaman, tapi sadar akan masa lalunya. "Yang bikin gue khawatir terus-terusan adalah: apa gue punya cukup uang kalo gue berhenti sekarang dan nggak ada lagi pemasukan? Gue takut banget sama itu."

Tentu aja Francis Rossi nggak bakal mati miskin. Tapi, komentar itu nunjukkin kalo dia orang yang lebih kompleks dari yang ditunjukin sama celana jeans, rompi, dan kedipan matanya ke kamera. Sama kayak Status Quo, band yang lebih kompleks dari yang dipahami sama orang-orang yang bilang mereka cuma punya satu lagu.

Kesimpulan: Legacy Musik Rock yang Abadi

Jadi, inget ya, musik rock nggak cuma soal gebukan drum dan gitar yang berisik. Ada cerita, sejarah, dan bahkan sedikit filosofi di baliknya. Status Quo adalah buktinya. Mereka mungkin bukan band yang sempurna, tapi mereka genuine, pekerja keras, dan punya passion yang nggak pernah padam. Dan itu yang bikin mereka jadi legenda.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Super Mario World: Judul Ini Mengisyaratkan Film Mario Berikutnya

Next Post

Implikasi Tujuh Program Prioritas Papua Barat 2026