Dark Mode Light Mode

Game Baru dari Pencipta Counter-Strike: Inilah yang Akan Mengubah Wajah FPS

Udah bosen kan sama game FPS yang gitu-gitu aja? Yang isinya cuma ngejar level, buka senjata baru, terus repeat sampai bosen? Tenang, kamu gak sendirian kok. Kayaknya, ada secercah harapan di tengah gurun game yang itu-itu aja.

Kejayaan Call of Duty 4 dan Efek Grind yang Menjalar

Call of Duty 4: Modern Warfare memang legendaris, tapi sistem perk dan progression-nya, yang mengharuskan kita grinding XP demi membuka senjata dan kemampuan baru, jadi titik balik yang agak dubious dalam sejarah game FPS. Dulu, tahun 2007, memang bukan hal baru sih grinding demi reward, tapi Modern Warfare membuatnya terasa tangible. “Capai level 19… untuk membuka M60E4.” Bayangkan, 18 tahun kemudian, hampir semua game multiplayer FPS besar dirancang dengan unlockable items, level karakter, seasonal challenges, dan berbagai digital obtainables lainnya. Tujuannya? Biar pemain betah, dikasih incentive kecil-kecilan biar terus online.

Tapi, kalau kita abaikan motif komersial yang sinister, game kayak gini bikin kreativitas dan imajinasi jadi terbatas. Kalau developer udah nemuin cara paling efektif buat bikin pemain ketagihan, dan mempertahankan attachment itu jadi tujuan utama, ya mereka bakal bikin game yang ada di dalam model itu-itu aja. Kapan terakhir kali kamu main game multiplayer FPS baru yang terasa orisinal, dan tetap seru walau tanpa unlockables, tiers, dan rewards? Pertanyaan bagus, kan?

Alpha Response: Angin Segar dari Pencipta Counter-Strike

Minh Le, atau lebih dikenal sebagai ‘Gooseman,’ adalah otak di balik Counter-Strike saat umurnya masih 20 tahun. Awalnya cuma mod untuk Half-Life pertama, tapi game dan Le langsung direkrut sama Valve. Enam tahun kemudian, Le keluar buat bikin Tactical Intervention, yang sayangnya udah almarhum. Setelah itu, dia kerja sama Facepunch di Rust, lalu Pearl Abyss di MMORPG Black Desert Online. Sekarang, 25 tahun sejak CS 1.0, Le balik lagi ke dunia multiplayer shooters. Bareng tim di Ultimo Ratio, dia lagi bikin Alpha Response, game FPS co-op PvE yang baru.

Dalam Alpha Response, kamu dan tiga temanmu bakal jadi tim SWAT elit yang diterjunkan ke map. Saat early access, ada dua map yang terinspirasi dari kota Porto di Portugal. Komandanmu bakal ngasih misi, kadang penyelamatan sandera, kadang menjinakkan bom, atau mempertahankan mobil pengangkut uang. Kalian semua mulai dengan loadout senjata yang sama dan kerja sama buat nembakin musuh dan nyelesain misi. Setelah semua bom dijinakkan, misalnya, komandan bakal ngasih tahu kalau ada VIP yang diserang dan butuh dikawal.

Kayak di Counter-Strike, kamu bisa pakai uang yang didapetin buat beli senjata baru, ganti armor, beli suntikan health, dan isi ulang amunisi. Tim langsung naik mobil dan ngebut ke tujuan selanjutnya. Tapi, ini bukan hardcore, tactical shooter kayak Ready or Not. Gaya Alpha Response lebih mirip lightgun games tahun 90-an: Time Crisis, Virtua Cop, Silent Scope, Lethal Enforcers. Warnanya cerah, senjatanya berisik, animasinya spektakuler, dan darahnya muncrat ke mana-mana. Cepat, seru, dan dirancang buat quickfire matches, shooter yang bisa kamu mainin sendiri atau bareng teman selama 60 menit.

Bukan Soal Grinding, Tapi Soal Keseruan

Gak ada microtransaction, dan game-nya gak gratis. Memang ada sistem level-up, tapi hampir semua senjata udah tersedia dari awal, dan gak ada perks, loadouts, atau skins yang harus dibuka. Keseruan Alpha Response sama sekali gak ada hubungannya sama apa yang kamu buka. Ini bukan soal ‘metagame’, tapi soal the game itu sendiri.

“Saya gak suka game yang mengharuskan kamu log in ke banyak akun dan ngumpulin berbagai macam currency,” jelas Le. “Saya rasa itu cuma buat game yang pengen nyedot waktu pemain. Konsep ‘player retention’ yang lagi digandrungi sama triple-A games, menurut saya itu gak sehat. Saya menghargai waktu pemain. Saya gak suka bikin orang grinding buat membuka sesuatu.”

“Saya rasa kalau pemain balik lagi, itu harusnya karena mereka emang pengen main misinya dan menikmati game-nya, bukan buat grinding. Kalau ada yang main game kami selama sepuluh jam terus berhenti, itu udah sukses. Saya gak pengen orang main sampai 100 jam.”

Menggabungkan yang Terbaik dari Berbagai Dunia

Sebelum Le gabung sama Ultimo Ratio, ide dasar Alpha Response udah ada. Terinspirasi dari Payday, game ini emang dirancang sebagai co-op shooter dengan map yang besar. Tapi, butuh struktur tambahan. Selama dua tahun terakhir, Le dan tim udah ngasih bentuk ke etika desain mereka.

“Saya nanya apakah kita bisa bikin Alpha Response sedikit lebih mirip Counter-Strike,” kata Le, “terutama soal weapon progression, karena itu bakal cocok sama game kayak gini. Kita berhasil menggabungkan elemen dari Payday dan Counter-Strike, tapi juga dari Left 4 Dead. Kami juga suka sama Ready or Not dan beberapa tactical shooters, tapi kami pengen firefight-nya lebih menarik. Di game kayak gitu, biasanya yang menang yang refleksnya paling bagus. Kami pengen dimensi tambahan.”

Sasarannya? Pemain yang Pengen Nostalgia

“Kami pengen nyasar audience yang sedikit lebih tua, orang-orang yang suka sama arcade shooters. Kebanyakan developer kami umurnya 30-an awal. Makanya, game ini terinspirasi dari banyak hal yang kami mainin dulu, kayak old Ghost Recon dan Rainbow Six Vegas. Kami agak old school dalam hal ini. Desain kami terinspirasi dari game yang kami mainin di awal tahun 2000-an.”

Selain estetika dan temponya, Alpha Response juga beda dari mainstream multiplayer FPS karena game ini totally PvE. Sebaliknya, game ini terasa seperti bagian dari gelombang baru online shooters berbasis kolaborasi, penerus spiritual Left 4 Dead yang menyalurkan energi game zombie Valve ke dalam setup dan mekanisme yang berbeda.

Lebih dari Sekadar Tembak-tembakan

Grinding bikin pemain jadi fokus sama diri sendiri. Kalau semuanya tentang XP, leveling up, dan naik tier buat dapetin senjata dan perks baru, ya semua orang bakal main buat dirinya sendiri. Dengan menghilangkan semua itu, Le dan Ultimo Ratio bisa fokus ke cara lain yang lebih bermakna buat bikin Alpha Response terasa rewarding.

“Saat kamu nembak orang, kamu dapet kepuasan ‘dia kena’,” jelas Le. “Semuanya tentang visual feedback dan audio feedback, dan denger peluru kena musuh. Itu emang gak realistis, kamu gak bakal denger suara kayak gitu, tapi buat saya itu penting banget. Saya selalu fokus buat mastiin feedback saat kamu kena musuh terasa enak, tapi juga saat kamu miss. Saat kamu kena tembok, saya pengen efek visualnya juga memuaskan.”

“Ragdoll biasanya membosankan. Setiap kali kamu ngebunuh orang, ya gitu-gitu aja. Game yang saya mainin dulu kayak Time Crisis dan Virtua Cop, mereka menata animasi kematiannya. Saya selalu ngerasa itu memuaskan banget. Mungkin ada yang bilang itu gak realistis, tapi saya selalu suka sama nuansa dramatis dan over-the-top itu.”

Impian yang Lebih Besar

“Impian utama saya adalah punya banyak level yang ada di berbagai belahan dunia,” lanjut Le. “Saya juga pengen memanfaatkan kendaraan yang kita punya lebih maksimal. Sekarang emang udah ada, tapi belum dimanfaatin sepenuhnya. Saya pengen ada misi, misalnya, di mana satu pemain nyetir dan yang lain sniping dari helikopter. Dengan fokus ke misi dan mekanisme inti dan bikin itu semua seru, kami berharap pemain bisa nemuin kesenangan di situ dan gak pengen membuka sesuatu.”

Walaupun udah early access sejak Oktober 2024, mungkin ini pertama kalinya kamu denger tentang Alpha Response. “Kami salah langkah dengan masuk early access tanpa punya wishlist yang cukup,” jelas Le. “Jadi, algoritma Steam bakal naruh game kamu di paling bawah dan bikin orang susah buat nemuinnya. Makanya, gak ada yang tahu kalau game kami itu ada.” Tapi, walaupun masih early access, Alpha Response adalah salah satu shooter paling orisinal dan seru yang bisa kamu mainin tahun ini.

Update besar baru aja dirilis, dan berhasil ningkatin jumlah pemain dari literally empat orang jadi 1.516 orang. Sekarang, masih banyak perubahan yang pengen dibikin sama Le dan Ultimo Ratio. Modernisasi dan peningkatan interface jadi prioritas utama, selain nambahin teammate yang dikendalikan CPU buat solo play dan memoles visualnya. Tapi, Le bilang Alpha Response bisa keluar versi 1.0 secepatnya musim panas 2026.

“Ngehabisin lima atau enam tahun buat ngembangin proyek secara internal terus ngerilisnya ke dunia dan berharap bakal sukses, menurut saya itu susah banget,” pungkas Le. “Saya selalu mikir cara terbaiknya adalah ngebuka game itu ke komunitas di tahap awal.”

Alpha Response: Sebuah Pelajaran Berharga

Intinya, Alpha Response ngasih kita pelajaran berharga: game itu harusnya seru karena game-nya itu sendiri, bukan karena kita harus grinding demi membuka sesuatu. Kalau kamu bosen sama game FPS yang itu-itu aja, Alpha Response mungkin bisa jadi angin segar yang kamu cari. Siapa tahu, kan?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Indonesia Akan Resmikan 103 Koperasi Desa Model pada 21 Juli: Transformasi Ekonomi Pedesaan Dimulai

Next Post

Stasiun Pangkalan AirPort: Akankah Apple Kembali Merajai Pasar Router Wi-Fi?