Popular Now

Jugband Blues: Ayah Penulis Surat Kabar Terkejut Jadi Bagian dari ‘Sonic Mayhem’ Pink Floyd

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Taylor Swift Dominasi SiriusXM: Hadirkan “Taylor’s Channel 13” Jelang Album Baru

Game Dev NZ: Rebate Pajak Permanen Dorong Pertumbuhan, Menteri Umumkan Pendanaan Code Naik Jadi $5 Juta

Dunia gaming Indonesia lagi rame nih. Bukan cuma soal siapa jagoan Mobile Legends atau Free Fire, tapi juga soal duit. Katanya, pemerintah lagi royal banget ngasih “jatah” ke industri game. Pertanyaannya, beneran bikin level up, atau malah jadi cheat code yang bikin game jadi nggak seru?

Industri Game: Dari Warnet ke Gedung Bertingkat

Dulu, gamer Indonesia identik dengan anak warnet bau apek. Sekarang? Beda cerita. Banyak studio game lokal yang mulai unjuk gigi, bahkan ada yang sampai dilirik investor asing. Dari yang awalnya cuma iseng bikin game di kamar, sekarang udah bisa buka kantor dengan karyawan puluhan orang. Ini semua berkat apa? Salah satunya, ya, karena sokongan dana dari pemerintah.

Tapi, jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti pemerintah langsung nyawer duit ke semua studio game. Ada mekanisme yang namanya Game Development Sector Rebate (GDSR), alias potongan pajak buat perusahaan yang bikin game. Tujuannya sih mulia, biar industri game lokal bisa bersaing sama game dari luar negeri. Tapi, implementasinya gimana?

Katanya, tahun lalu pemerintah udah ngasih sekitar Rp360 miliar ke perusahaan game. Tapi, dari total dana yang disediain, masih ada sisa yang nggak kepake. Kenapa? Apakah karena perusahaan game-nya nggak niat, atau karena syaratnya ribet kayak quest di game MMORPG?

Yang jelas, dana ini punya dampak signifikan. Janzen Madsen, pendiri Splitting Point Studios, bahkan bilang kalo sebelum ada GDSR, cuma 5% karyawannya yang berbasis di Indonesia. Sekarang, udah 50/50 berkat GDSR. Artinya, dana ini nggak cuma buat perusahaan game, tapi juga buat nyiptain lapangan kerja.

Weta Workshop, studio efek visual yang terkenal berkat film Lord of the Rings, juga ikut-ikutan bikin game “cosy” tentang Hobbit. Meskipun nggak semua ulasannya positif, tapi tetep aja bikin nama Indonesia makin dikenal di dunia gaming internasional.

Rebate: Berkah atau Beban?

Menurut Direktur Eksekutif NZGDA (asosiasi pengembang game Selandia Baru), setiap satu dolar yang diinvestasiin lewat GDSR, pemerintah dapet balik sekitar 4,74 dolar lewat pajak. Artinya, ini investasi yang menguntungkan. Tapi, kenapa masih ada dana yang nggak kepake?

Salah satu alasannya, mungkin karena perusahaan game lokal masih banyak yang belum tau soal GDSR ini. Atau, mereka tau, tapi males ngurus persyaratannya yang kayak labirin. Padahal, kalo dana ini kepake semua, efeknya bisa lebih besar lagi buat ekonomi Indonesia.

Lance Burgess, CFO PikTok dan direktur NZGDA, punya beberapa usulan buat pemerintah. Pertama, bikin skema rebate ini jadi permanen. Kedua, naikin batas maksimal rebate buat tiap perusahaan jadi Rp60 miliar. Ketiga, naikin rebate dari 20% jadi 25% biar setara sama industri film. Keempat, tambahin dana buat Centre of Digital Excellence (Code), hub buat startup game di Dunedin.

Mimpi Jadi Unicorn Game

Menteri Sains, Inovasi, dan Teknologi Selandia Baru, Shane Reti, udah ngumumin kalo dana buat Code dinaikin jadi sekitar Rp75 miliar. Katanya, program Code dapet dua kali lebih banyak aplikasi daripada yang bisa mereka danain. Dengan naikin dana, mereka berharap bisa dukung lebih banyak inovator buat go global.

Reti juga bilang kalo industri game Selandia Baru lagi on track buat nyampe pendapatan Rp15 triliun di tahun 2027. Sebagian besar dari pendapatan itu berasal dari ekspor. Ini artinya, industri game punya potensi besar buat jadi sumber devisa negara.

Tapi, ada satu masalah yang masih jadi PR. Industri game masih didominasi sama laki-laki kulit putih. Meskipun udah ada peningkatan, tapi tetep aja belum seimbang. Di tahun 2022, cuma 22% karyawan di industri game yang perempuan. Sekarang, udah naik jadi 28%. Karyawan Māori juga naik dari 2% jadi 5%. Angka buat LGBTQ dan neurodiverse juga naik.

83% perusahaan game di Selandia Baru dimiliki sama orang lokal. Tapi, dari segi pendapatan, persentasenya mungkin lebih rendah. Soalnya, beberapa perusahaan besar kayak Grinding Gear Games dan Ninja Kiwi udah dijual ke investor asing. Ini jadi pertanyaan, apakah industri game lokal beneran bisa mandiri, atau cuma jadi ladang buat investor asing?

Saatnya Level Up!

Intinya, industri game punya potensi besar buat jadi mesin ekonomi baru. Tapi, potensi ini nggak bakal bisa maksimal kalo nggak ada dukungan yang tepat dari pemerintah. GDSR adalah langkah awal yang bagus, tapi masih banyak yang perlu dibenerin. Pemerintah perlu lebih proaktif buat sosialisasi GDSR, permudah persyaratannya, dan naikin batas maksimal rebate.

Selain itu, pemerintah juga perlu fokus buat diversifikasi industri game. Jangan cuma fokus sama game yang laku di pasaran, tapi juga dukung game yang punya nilai edukasi atau budaya. Dengan begitu, industri game nggak cuma jadi sumber duit, tapi juga jadi sarana buat nyiptain identitas bangsa.

Industri game Indonesia punya semua yang dibutuhin buat jadi pemain kelas dunia. Sumber daya manusia yang kreatif, pasar yang besar, dan dukungan pemerintah yang makin baik. Sekarang, tinggal gimana kita manfaatin semua itu buat level up dan jadi yang terbaik.

Previous Post

Crypto dan Perbankan: Dampak Regulasi Baru Era Trump untuk Gen Z & Millennials

Next Post

Dragon Shield Gandeng Magic: The Gathering, Hadirkan Koleksi Eksklusif Ikonik!

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *