Siapa bilang berantakan itu nggak keren? Band New York bernama Geese ini membuktikan sebaliknya. Bayangkan, dalam empat tahun terakhir, mereka sukses menabrakkan rock, jazz, dan entah genre apa lagi, sampai akhirnya menemukan formula ajaib di album terbaru mereka, Getting Killed. Ini seperti masak mie instan pakai bumbu rendang – absurd, tapi nagih!
Geese: Antara Ambisi dan Keraguan Ala Anak SMA
Geese, yang terbentuk saat para anggotanya masih SMA, punya daya tarik unik. Mereka itu seperti anak-anak muda yang super berbakat tapi insecure. Mereka energik karena merasa dinilai potensinya oleh pendengar, tapi juga kayak takut nggak bisa memenuhi ekspektasi. Inilah yang kemudian menciptakan ketegangan yang bisa kita rasakan dalam musik mereka. Ambil contoh, lagu “Cowboy Nudes” dari album 3D Country. Lagu itu punya chorus yang soulful abis, tapi di sisi lain juga ada teriakan-teriakan yang mungkin bakal disensor sama eksekutif label rekaman zaman apapun. Ibaratnya, Geese ini kayak lagi PDKT sama gebetan, tapi sambil ngupil. Grogi maksimal!
Vokalis Geese, Cameron Winter, punya suara yang unik. Mirip orang lagi ngomel-ngomel di balik tembok apartemen, tapi entah kenapa malah bikin penasaran. Dia bisa menarik perhatian dengan cara yang bikin kaget, lalu tiba-tiba bikin kita baper. Nggak ada musisi lain yang bisa mengucapkan “fuck these people” dengan begitu bermakna dalam sebuah piano ballad, seperti yang dia lakukan di single solonya, “$0.” Ini seperti lagi curhat sama teman di warung kopi, sambil nyeruput kopi yang pahitnya bikin melek.
Heavy Metal: Ketika Kegalauan Jadi Emas
Kesuksesan solo album Winter, Heavy Metal, seharusnya bisa jadi petunjuk bagi Geese. Band lain yang kurang imajinatif mungkin akan memilih untuk menjinakkan keanehan mereka dan fokus pada lagu-lagu yang lebih “ramah radio.” Tapi Geese bukan band seperti itu. Mereka justru semakin aneh, semakin berani, dan hasilnya adalah Getting Killed, album terkuat mereka sejauh ini. Album ini seperti roller coaster emosi, kadang paranoid, kadang penuh cinta, tapi selalu intens. Kita seolah diajak masuk ke dalam kepala orang yang lagi mengalami quarter-life crisis.
Mungkin kita bertanya-tanya, kenapa Geese memilih jalur yang begitu aneh? Bukankah lebih baik mengikuti pakem musik yang sudah terbukti sukses? Jawabannya mungkin ada di dalam DNA mereka sebagai anak band yang terbentuk di usia muda. Mereka tumbuh di era digital yang serba cepat dan penuh dengan informasi. Mereka melihat sendiri bagaimana tren musik datang dan pergi begitu cepatnya. Jadi, daripada mengejar sesuatu yang fana, mereka memilih untuk menciptakan sesuatu yang unik dan otentik, meskipun itu berarti harus keluar dari zona nyaman.
Getting Killed: Ketika Bom Ada di Dalam Mobil
Chorus pertama di Getting Killed adalah teriakan parau yang nggak jelas: “THERE’S A BOMB IN MY CAR.” Chorus kedua malah asyik mengulang dua kata paling abadi dalam musik pop: “baby” dan “forever,” masing-masing diucapkan dengan gaya karaoke singer yang pura-pura nggak lihat gebetannya masuk ruangan. Ini seperti lagi main game, di mana kita harus menghadapi berbagai macam tantangan dan rintangan. Tapi alih-alih menyerah, kita justru semakin bersemangat untuk menaklukkannya.
Kolaborasi Maut dengan Kenny Beats: Mengacak-acak Struktur Rock
Bekerja sama dengan produser Kenneth Blume (yang dulunya dikenal sebagai Kenny Beats), Geese menjelajahi sound yang berisik dan groove-based. Mereka menolak struktur musik rock tradisional, tapi tetap mengikuti dinamika ketegangan dan pelepasan. Musik mereka tidak lagi terbebani oleh sejarah band-band New York pendahulu mereka. Mereka membuka masa depan mereka selebar-lebarnya. Gaya musik mereka lebih mengutamakan repetisi siklik daripada hook yang dibuat-buat, ledakan melodi yang membangkitkan beberapa lirik Winter yang paling mengesankan. Ini seperti lagi nge-hack sistem, di mana kita membongkar semua aturan yang ada dan menciptakan sesuatu yang baru.
Di lagu “100 Horses” yang funky dan penuh firasat, Winter berperan sebagai seorang jenderal di masa perang: “All people must die scared or else die nervous,” katanya. Dalam konteks lagu, berita itu disampaikan sebagai semacam hiburan; dalam konteks album, itu adalah salah satu pilihan yang lebih jelas untuk sebuah single. Lirik ini sungguh bikin merinding. Seperti lagi nonton film distopia, di mana nggak ada harapan dan semua orang ditakdirkan untuk mati.
Geese memang band yang aneh. Mereka nggak takut untuk bereksperimen, menabrakkan berbagai macam genre, dan menciptakan sesuatu yang unik. Mereka adalah representasi dari generasi muda yang nggak mau diatur dan selalu mencari cara untuk mengekspresikan diri. Getting Killed adalah bukti bahwa berantakan itu bisa jadi keren, asalkan ada ide dan eksekusi yang kuat. Album ini mungkin nggak cocok untuk semua orang, tapi kalau kamu mencari sesuatu yang beda dan menantang, Geese adalah band yang wajib kamu dengar.
Antara Seni dan Kegilaan: Geese Adalah Kita Semua?
Mendengarkan Geese itu seperti melihat diri sendiri di cermin. Kita semua punya ambisi, keraguan, dan kegelisahan. Kita semua pernah merasa ingin berteriak, tapi juga ingin dicintai. Geese nggak takut untuk menunjukkan semua sisi itu dalam musik mereka. Mereka adalah band yang jujur, autentik, dan nggak berusaha untuk menjadi sesuatu yang bukan diri mereka. Mungkin itulah kenapa mereka begitu relatable, meskipun musik mereka terdengar aneh dan nggak biasa. Mereka mengingatkan kita bahwa nggak apa-apa untuk menjadi diri sendiri, meskipun itu berarti harus jadi sedikit gila.
Jadi, tunggu apa lagi? Pasang headphone-mu, putar Getting Killed, dan biarkan Geese membawamu ke dunia yang aneh, intens, dan penuh kejutan. Siapa tahu, kamu malah menemukan sesuatu yang baru tentang dirimu sendiri. Atau setidaknya, kamu bisa punya bahan obrolan seru di warung kopi.