Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Jugband Blues: Ayah Penulis Surat Kabar Terkejut Jadi Bagian dari ‘Sonic Mayhem’ Pink Floyd

Taylor Swift Dominasi SiriusXM: Hadirkan “Taylor’s Channel 13” Jelang Album Baru

Genosida Budaya Gaza: Warisan yang Terlupakan, Identitas Terhapus

Bayangkan kamu lagi asyik main game kesukaan. Level demi level berhasil ditaklukkan, skill semakin terasah. Tapi tiba-tiba, server down. Semua progres hilang, akun lenyap. Begitulah kira-kira perasaan warga Gaza saat ini. Bukan cuma nyawa yang melayang, tapi juga warisan budaya yang perlahan tapi pasti ikut terkubur. Ini bukan sekadar perang, tapi juga “cultural homicide” yang nggak kalah mengerikan.

Konflik Israel-Palestina memang sudah jadi langganan berita. Kita semua tahu, ribuan nyawa melayang akibat serangan udara. Tapi di balik angka-angka statistik yang bikin miris, ada cerita lain yang jarang terungkap: hilangnya identitas sebuah bangsa. Gaza, dengan sejarahnya yang panjang dan kaya, kini menghadapi ancaman nyata, bukan hanya fisik, tapi juga budaya.

Serangan militer Israel bukan cuma meratakan bangunan, tapi juga menghancurkan memori dan semangat sebuah peradaban. Menurut laporan UNESCO, lebih dari 110 situs bersejarah dan budaya hancur sebagian atau seluruhnya. Masjid Agung Gaza, Masjid Ibn Uthman abad ke-14, Pasar Al-Qissariyya, Museum Istana Pasha, dan Pusat Kebudayaan Rashad Shawa, cuma sebagian kecil dari daftar panjang yang bikin hati cenat-cenut.

Antara Bom dan Warisan: Kisah Pilu Pelabuhan Anthedon

Salah satu kehilangan terbesar adalah Pelabuhan Anthedon kuno. Bayangkan, pelabuhan ini sudah berdiri sejak abad ke-8 SM dan diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Dulu, Anthedon adalah pusat perdagangan yang ramai, saksi bisu sejarah Gaza yang beragam. Sekarang? Tinggal puing-puing yang nggak lagi menggema dengan hiruk pikuk masa lalu. Mirisnya, semua ini terjadi akibat serangan bom yang menghancurkan situs tak tergantikan ini.

Kerusakan ini bukan cuma soal bangunan yang roboh. Masjid, gereja, situs arkeologi, dan pusat kebudayaan adalah jantung dari memori kolektif, identitas, dan rasa memiliki masyarakat Palestina. Ketika Gereja St. Porphyrius, yang berdiri selama lebih dari 1.600 tahun, diserang dan berubah jadi puing, kerusakannya jauh lebih dari sekadar batu bata. Ini adalah serangan terhadap warisan pluralistik Gaza, yang selama ini jadi benteng keberagaman agama dan budaya.

Begitu juga dengan Masjid Al-Omari, masjid tertua di Gaza yang berasal dari zaman Ottoman. Masjid ini bukan cuma tempat ibadah, tapi juga pusat budaya yang melayani generasi warga Gaza selama berabad-abad. Sekarang, kondisinya memprihatinkan. Kita semua mungkin bertanya-tanya, “Apa yang tersisa dari Gaza setelah semua ini?”

Gaza: Dulu Pusat Peradaban, Kini…

Gaza sering disebut sebagai salah satu wilayah yang terus dihuni tertua di dunia. Kehidupan budaya di sana berkembang pesat melalui periode Kanaan, Romawi, Bizantium, Mamluk, dan Ottoman. Sayangnya, perang yang meningkat setelah 7 Oktober 2023 telah menghancurkan kesinambungan ini. Kementerian Kebudayaan Palestina memperkirakan lebih dari 300 situs warisan terkena dampak, dan 138 di antaranya rusak parah. Angka yang bikin geleng-geleng kepala.

Salah satu yang paling menyedihkan adalah kehancuran Perpustakaan dan Arsip Nasional Gaza. Di dalamnya tersimpan ribuan manuskrip kuno dan dokumen bersejarah. Teks-teks berharga yang dirawat dengan susah payah selama beberapa generasi, kini tinggal abu. Ini bukan cuma soal bangunan yang hancur, tapi juga penghapusan sistem pengetahuan kolektif yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu Gaza yang penuh cerita.

Teater dan Balai Budaya Al-Qamar, yang dulunya jadi tempat berkumpulnya penyair, penulis, dan seniman, kini juga rata dengan tanah. Teater ini bukan sekadar bangunan, tapi jantung dari denyut nadi budaya Gaza. Di sinilah pertunjukan, pertemuan sastra, dan pertukaran intelektual berkembang pesat. Hilangnya tempat ini seperti kehilangan separuh jiwa Gaza.

Strategi Tersembunyi di Balik Airstrike?

Para ahli menduga, kehancuran ini bukan sekadar efek samping perang, tapi bagian dari strategi sistematis yang disengaja. Penargetan berulang terhadap situs budaya dalam serangan udara Israel menunjukkan upaya terkoordinasi untuk memutuskan hubungan rakyat Palestina dengan warisan mereka dan menghapus memori kolektif mereka. Ngeri kan? Devastasi yang terus berlanjut ini semakin sering disebut sebagai “genosida budaya” dalam diskursus internasional.

Hukum internasional dengan jelas mengutuk penghancuran warisan budaya selama konflik. Konvensi Den Haag 1954, yang mewajibkan perlindungan situs budaya di masa perang, telah dilanggar secara terang-terangan. UNESCO telah berulang kali mengeluarkan peringatan, menekankan bahwa serangan terhadap warisan Gaza merupakan pelanggaran langsung terhadap konvensi ini. Tapi, peringatan ini sepertinya cuma jadi angin lalu.

Meskipun ada seruan internasional untuk menahan diri, kehancuran terus berlanjut. Setiap hari yang berlalu menandai hilangnya harta budaya tak tergantikan lainnya. Masjid bersejarah Beit Hanoun kini tinggal puing-puing. Dinding dan benteng kuno Khan Yunis hampir lenyap. Hotel dan Museum Al-Mathaf, yang dulunya jadi tempat perlindungan warisan seni Gaza, menderita kerusakan parah. Lingkungan Al-Shuja’iya, yang terkenal dengan rumah-rumah bersejarah dan jalan-jalan berbatu, kini hancur berantakan. Sisa-sisa arkeologis di dekat Pelabuhan Gaza, yang diyakini berasal dari ribuan tahun lalu, telah hancur total.

Ketika Sejarah Tinggal Kenangan…

Situs-situs ini bukan sekadar peninggalan masa lalu, tapi representasi warisan kolektif masyarakat Gaza dan, secara luas, umat manusia. Kehilangan mereka adalah pukulan bukan hanya bagi penduduk setempat, tapi juga bagi komunitas global, yang memiliki tanggung jawab bersama untuk melindungi harta karun semacam itu. Sama seperti kita menjaga Borobudur atau Candi Prambanan.

Tantangan ke depan bukan cuma soal rekonstruksi fisik. Infrastruktur Gaza telah hancur, membuat proses pembangunan kembali jadi tugas yang hampir mustahil. Pertanyaannya bukan cuma soal memulihkan bangunan, tapi menghidupkan kembali memori budaya yang terkubur di bawah reruntuhan. Banyak ahli berpendapat bahwa kebangkitan kembali warisan Gaza secara utuh mungkin mustahil. Penghancuran manuskrip tak ternilai harganya, artefak langka, dan benda-benda keagamaan berusia berabad-abad telah membuat restorasi mereka jadi tidak mungkin.

Menjaga Warisan, Menjaga Kemanusiaan

Tragedi yang terjadi di Gaza memaksa kita untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman: ketika kita berbicara tentang melindungi kehidupan manusia, kita juga harus berkomitmen untuk menjaga kehidupan budaya yang ada di jantung masyarakat. Tanpa sejarah dan warisan, sebuah masyarakat perlahan kehilangan identitasnya. Kehilangan budaya di Gaza bukan cuma soal bangunan yang roboh, tapi penghapusan jiwa sebuah bangsa.

Saat anak-anak Gaza tumbuh dewasa, mereka nggak lagi punya perpustakaan tempat belajar tentang akar mereka. Para seniman juga nggak punya platform untuk mengekspresikan diri. Seluruh komunitas akan kehilangan ruang suci tempat mereka berdoa, berkumpul, dan bersosialisasi selama beberapa generasi. Kehancuran ini bukan cuma kehilangan struktur fisik, tapi penghapusan jiwa kolektif. Dunia nggak akan mudah melupakan genosida budaya Gaza. Sejarah, pada waktunya sendiri, akan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas tindakan amnesia historis ini.

Previous Post

Joey Jordison: Album Vimic Rilis Setelah Kickstarter Sukses, Fans Terharu!

Next Post

NYT Connections: Bocoran Jawaban & Petunjuk Biar Gak Boncos di September 2025!

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *